Mozaik Peradaban Islam

Ustmaniyah Menyerang Wina (1): Hubungan Habsburg-Ustmaniyah

in Monumental

Last updated on November 27th, 2018 10:03 am

“Hubungan antara Kekaisaran Habsburg — atau Austria — dan Kesultanan Ustmaniyah (Ottoman) sebelum tahun 1683 berlangsung dalam bentuk antipati selama lebih dari 250 tahun. Permusuhan di antara mereka sangat akut karena wilayah mereka berbatasan langsung.”

–O–

Artikel ini akan membahas seputar peristiwa Penyerangan Wina (ibu kota Kekaisaran Habsburg/Austria)  yang kedua oleh Kesultanan Ustmaniyah (Ottoman) pada tahun 1683, dan pertempuran-pertempuran yang mengikutinya. Bagaimanapun peristiwa ini merupakan salah satu titik balik dalam sejarah Islam, yang mana pengaruhnya sangat besar.

Lukisan karya Frans Geffels dari abad ke-17 yang menggambarkan penyerangan Ottoman ke Wina pada tahun 1683.

Artikel ini akan fokus kepada tiga pembahasan: (1) hubungan Habsburg-Ottoman sebelum tahun 1683, (2) pengepungan dan pertempuran di dan di sekitar Wina, dan (3) akibat-akibat setelah perang. Sebagai penutupan, akan dibahas tiga sudut pandang pendapat yang seringkali diperdebatkan: (1) kemenangan Hapsburg berhasil menghentikan ekspansi Ottoman ke Eropa, (2) peristiwa ini merupakan awal dari keruntuhan Kesultanan Ottoman, dan (3) penyerangan Wina merupakan babak baru (pada masanya) dari benturan peradaban antara Islam dan Kristen.[1]

 

Hubungan Habsburg-Ottoman

Hubungan antara Kekaisaran Habsburg — atau Austria — dan Kesultanan Ottoman sebelum tahun 1683 berlangsung dalam bentuk antipati selama lebih dari 250 tahun. Permusuhan di antara mereka sangat akut karena wilayah mereka berbatasan langsung (meskipun sempat terjadi pergeseran).

Kesultanan Ottoman didirikan pada tahun 1299, dan pada 100 tahun pertama keberadaannya, wilayah kekuasaan mereka telah meluas sampai ke wilayah Balkan. Kemudian, setelah Ottoman menaklukan ibukota Kekaisaran Romawi Timur di Konstantinopel pada tahun 1453, kekuatan besar Muslim yang baru ini hendak membuka wilayah kekuasaannya secara lebih luas lagi ke dalam Eropa. Keluarga Habsburg — yang menduduki takhta Kekaisaran Romawi Suci dari tahun 1438 hingga 1740 — tentu saja melihat Ottoman sebagai ancaman. Menurut sejarawan Eamon Gearon, ketegangan di antara mereka lebih disebabkan karena persoalan kekuasaan, penaklukan, dan prestise, bukan karena persoalan agama (Islam dan Kristen).

Serangan Ottoman tahun 1683 ke Wina bukanlah pertama kalinya. Lebih dari 150 tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 1529 dan 1532, pasukan  Ottoman yang dipimpin oleh Sultan Suleiman Agung telah mencoba menaklukan Wina. Pada waktu itu Suleiman yang telah sukses menaklukan beberapa wilayah di Eropa berkeinginan untuk menembus lebih jauh ke wilayah kekuasaan Kristen.

Wilayah kekuasaan Ottoman dari masa ke masa. Infografis: freeman-pedia.com

Tiga tahun sebelumnya, pada tahun 1526, di dalam tubuh Kekaisaran Habsburg terjadi perebutan kekuasaan di antara Ferdinand dengan John Zapolya. Zapolya yang terdesak dan hampir kalah mengirimkan utusannya untuk menemui Suleiman untuk meminta bantuan. Ferdinand yang mengetahui hal itu juga mengirimkan utusannya untuk mengajukan perdamaian dengan Ottoman. Bagaimanapun, setelah melalui diskusi yang panjang secara bergantian dengan para diplomat itu, Suleiman pada akhirnya memutuskan untuk membantu Zapolya.

Tidak jelas apa alasan sebenarnya dari Suleiman pada waktu itu, yang paling mungkin adalah Suleiman berkeinginan memanfaatkan konflik internal tersebut untuk keuntungannya sendiri, yaitu perluasan wilayah kekuasaan ke Eropa yang lebih jauh. Selain itu di dalam buku hariannya Suleiman menyatakan bahwa Zappolya tidak lain hanyalah “raja boneka” bagi Ottoman. Dalam pertemuannya dengan Zapolya, sebelum penyerangan ke Wina, Zapolya bahkan diperlakukan selayaknya bawahan saja. Dilaporkan Zapolya sampai mencium tangan Suleiman dua kali untuk menunjukkan penghormatan dan ketertundukkan.

Pada tahun 1529, Suleiman memimpin pasukannya untuk menyerang Wina. Catatan sejarah Kristen menyatakan jumlah pasukan Ottoman mencapai 250.000-300.000 orang, yang mana tampaknya itu meragukan dan terlalu dibesar-besarkan. Sejarawan Roger Bigelow Merriman mengatakan bahwa jumlah pasukan Ottoman yang masuk akal tidak akan lebih dari 75.000 orang. Serangan pertama ini berakhir dengan kegagalan karena buruknya cuaca – hujan terus menerus – dan juga memang sistem pertahanan kota Wina sangat baik, dinding kotanya sangat kuat, sehingga tidak dapat ditembus oleh meriam.

Pada serangan kedua tahun 1532, Ottoman kembali gagal. Salah satu penyebabnya lagi-lagi karena persoalan cuaca, di dalam  buku hariannya Suleiman menyatakan bahwa ketika penyerangan, “kabut sangat tebal, sehingga untuk berbicara satu sama lainpun tidak memungkinkan.” Suleiman pulang dengan tangan hampa, dan untuk menyelamatkan citra kerajaannya, di Konstantinopel dia menyelenggarakan pesta kemenangan selama lima hari. Kepada rakyatnya dia mengatakan bahwa pasukannya sudah masuk ke dalam kota untuk menumpas orang-orang Kristen, tapi pertempuran tidak sampai pecah karena raja musuh lebih memilih untuk bersembunyi.

Tetapi bagaimanapun Ferdinand tidak menjadi besar kepala, dia masih khawatir suatu saat Ottoman akan menyerang kembali, bagaimanapun pada saat itu Ottoman merupakan kekuatan raksasa. Maka dia segera mengirimkan diplomat terbaiknya untuk menemui Suleiman. Ferdinand cukup paham, Suleiman perlu menyelamatkan mukanya atas dua kali kekalahan, terutamanya di hadapan bangsa Eropa. Kepada diplomatnya Ferdinand memerintahkan untuk selalu menyanjung Suleiman dan mengangkat harga dirinya.

Diplomasi berlangsung sukses, sang diplomat dengan piawai mampu merendahkan dirinya, dan secara terbuka menyetujui tuntutan Ottoman dan meninggikan harga diri orang Turki itu. Mengenai kondisi dan persyaratan yang diajukan Ottoman kepada Ferdinand, dia menerimanya dan menganggap itu bukan persoalan besar. Suleiman memberikan perdamaian yang diminta kepada Ferdinand, berkata “Tidak selama tujuh tahun, selama dua puluh lima tahun, selama seratus tahun, tetapi selama dua abad, tiga abad, bahkan selamanya, jika Ferdinand sendiri tidak melanggarnya.”

Adapun terkait nasib Zapolya, Suleiman tidak mengabaikannya. Zapolya diberi wilayah kekuasaan di Habsburg, dan Ferdinand menyetujui bahwa di sana nanti akan ada dua kerajaan yang berdiri masing-masing. Untuk menjaga tidak terjadi pelanggaran teritorial di antara dua kerajaan itu, Suleiman berjanji akan mengutus bawahannya untuk mengawasi supaya hal itu tidak terjadi. Para diplomat secara formal meninggalkan Kesultanan Ottoman pada 14 Juli 1533, namun surat resmi dari Suleiman baru diterima oleh Ferdinand tiga minggu kemudian.[2] (PH)

Bersambung ke:

Ustmaniyah Menyerang Wina (2): Sultan Mehmed IV

Catatan Kaki:

[1] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 216.

[2] Roger Bigelow Merriman, Suleiman The Magnificent 1520-1566, (Harvard University Press: Massachusetts, 1944), hlm 97-125

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*