Mozaik Peradaban Islam

Ustmaniyah Menyerang Wina (2): Sultan Mehmed IV

in Monumental

Last updated on November 29th, 2018 02:22 pm

“Mehmed IV naik tahta pada usia enam tahun. Praktis kekuasaan secara de facto dikuasai pihak lain, yakni Keluarga Köprülü. Atas inisiatif mereka, Ottoman mendeklarasikan perang terhadap Kekaisaran Kristen Habsburg.”

–O–

Pada 2 Januari 1642, Mehmed putra dari Sultan Ibrahim dilahirkan. Pada tahun 1648, Ibrahim mengalami gangguan mental, sehingga Mehmed yang masih berusia enam tahun terpaksa naik tahta untuk menggantikan ayahnya menjadi Sultan Dinasti Ustmaniyah (Ottoman). Di kemudian hari dia disebut Sultan Mehmed IV. Karena usianya yang masih sangat muda, maka kekuasaan secara de facto diambil alih oleh faksi-faksi yang dipimpin oleh nenek dan ibunya. Sementara itu, para pemimpin korps Janissari (pasukan elit Ottoman) mendominasi pengelolaan administrasi negara.[1]

Selama periode ini, pemberontakan meletus di Konstantinopel dan Anatolia, dan serangkaian Perdana Menteri telah gagal untuk mengatasi krisis keuangan yang terjadi dalam kesultanan. Pada saat-saat seperti inilah Keluarga Köprülü tampil ke depan untuk memberikan bantuan domestik sementara dan mengantarkan Ottoman ke dalam serangkaian periode kemenangan melawan Venesia di Mediterania dan melawan Austria dan Polandia di Balkan. Maka selanjutnya Perdana Menteri pada era Mehmed IV akan didominasi oleh anggota Keluarga Köprülü yang piawai dalam mengatur keuangan dan administrasi negara. Sementara itu, Mehmed sendiri, ketimbang mengurus urusan negara, lebih suka menghabiskan waktunya untuk berburu. Untuk alasan inilah maka Mehmed IV juga dijuluki Avcı, yang artinya adalah “Sang Pemburu”.[2]

Di bawah kepemimpinan Keluarga Köprülü aktivitas dan kemampuan militer Ottoman meningkat pesat. Selain itu kemampuan mereka dalam mengelola keuangan dan administrasi juga berjalan dengan efektif. Di bawah para Perdana Menteri yang berasal dari Keluarga Köprülü, Ottoman melakukan serangkaian penaklukan ke Hongaria (1660 dan 1663), Crete (1669), dan Polandia-Lithuania (1672).[3]

 

Deklarasi Perang terhadap Wina

Setelah selama 150 tahun lebih berdamai dengan Kekaisaran Habsburg, pada tahun 1680-an Ottoman mulai mempertimbangkan kembali hubungan mereka. Selain karena merasa memiliki keuangan dan militer yang kuat, bagaimanapun, Wina – ibu kota Kekaisaran Habsburg – adalah sasaran ekonomi yang menarik. Sejak sekitar awal tahun 1200-an, dengan kekuatan yang dimiliki Wina, di Sungai Danube, Kekaisaran Habsburg dapat mengendalikan rute perdagangan di seluruh tengah dan selatan Eropa.[4]

Sementara itu di Eropa, isu agama mulai mencuat, yakni mengenai kemungkinan pecahnya perang antara orang-orang Kristen dan Islam, meskipun secara umum tidak selalu dikaitkan dengan Ottoman. Bagi Ottoman sendiri, tanpa mesti menjual isu perang agama, bagaimanapun Wina menawarkan sisi ekonomi yang menggiurkan. Tetapi sebaliknya, di Eropa Tengah dan Barat, sebagian besar pembicaraan berputar di sekitar benturan antar kekaisaran yang diakibatkan karena adanya perselisihan agama. Alasan terpenting untuk mengangkat isu ini adalah karena, pihak Habsburg, membutuhkan dukungan keuangan dan militer dari negara-negara Eropa lainnya.[5]

Di sisi Ottoman, Perdana Menteri yang berkuasa pada waktu itu, Kara Mustafa Pasha, menilai bahwa Kekaisaran Habsburg sedang berada dalam kondisi lemah karena sedang dilanda beberapa persoalan internal dan menghadapi rivalitas dengan negara tetangga. Atas penafsirannya tentang situasi politik yang menyebabkan Habsburg melemah,[6] maka pada 31 Maret 1683 Ottoman secara resmi mendeklarasikan perang terhadap Wina. Deklarasi tersebut dikeluarkan oleh Sultan Mehmed IV, yang mana sebenarnya lebih merupakan inisiatif dari Kara Mustafa Pasha.[7]

Pada 1 April 1683, Sultan Mehmed IV dan pasukannya meninggalkan Edirne, bekas ibukota Ottoman, dan mencapai Beograd pada awal Mei, di mana Janissari, artileri, dan sebagian besar kavaleri yang berasal dari provinsi di Asia Kecil dan provinsi-provinsi Arab menyusul ikut bergabung. Sultan Mehmed kemudian memutuskan untuk tinggal di Beograd dan menunjuk Perdana Menteri Kara Mustafa Pasha untuk menjadi komandan utama pasukan.[8]

Selanjutnya pasukan yang melakukan perjalanan dipimpin oleh Kara Mustafa Pasha. Belajar dari kesalahan yang dilakukan Sultan Suleiman 150 tahun sebelumnya, yakni ketika pasukannya tiba di Wina pada akhir bulan September, yaitu ketika musim gugur mulai menjadi basah dan dingin, yang mana itu membuat pergerakan pasukan Ottoman menjadi terhambat, maka pada kali ini pasukan Ottoman tiba di Wina pada 14 Juli 1683.[9]

Pasukan Ottoman berjumlah cukup besar, yakni sekitar 150.000 orang, meskipun bukan berarti seluruhnya adalah prajurit. Sebagian besar pasukan Ottoman justru terdiri dari non-kombatan, mereka adalah para personel pendukung: orang-orang yang membuat ekspedisi seperti ini dapat berjalan, mulai dari koki hingga tim pembantu yang bertugas untuk melayani kebutuhan para prajurit.[10] Komposisi para prajurit Ottoman hanya terdiri dari orang-orang Krimea Tatar.[11]

Ilustrasi Pasukan Ottoman di luar tembok kota Wina. Lukisan karya
August Querfurt (1696–1761) , dibuat tahun 1750-an.

Kunci kemenangan Ottoman dalam ekspansi-ekspansi militer sebelumnya adalah karena mereka menggunakan senjata lapangan (field guns) – sejenis meriam namun dengan ukuran yang lebih kecil  sehingga mudah untuk dipindah-pindahkan – dalam setiap pertempurannya. Dalam perang kali ini mereka membawa 130 pucuk senjata lapangan. Sementara itu, ketika di era Suleiman, Ottoman menyerang Wina dengan meriam besar yang berat, yang terjebak oleh hujan dan lumpur. Alasan lain mengapa sekarang mereka membawa senjata lapangan yang lebih ringan adalah karena mereka tidak berencana untuk untuk menghancurkan kota, melainkan sebatas menekan Wina selama beberapa hari dengan jumlah pasukan yang teramat banyak sebagai bentuk teror agar mereka mau menyerah. [12]

Senjata lapangan (field guns) peninggalan Kesultanan Ustamaniyah dari era Perang Dunia II. Photo: tapatalk.com

Sebuah kota yang diluluhlantakan oleh pasukan artileri akan menjadi tidak terlalu berharga. Selain itu, jika suatu penduduk menyerah sebelum pertempuran – menurut peraturan yang berlaku pada waktu itu – maka pasukan penyerang tidak berhak untuk merampas harta benda sebanyak apabila penduduknya melakukan perlawanan. Metode seperti ini lebih menguntungkan bagi komandan pasukan, dan meskipun para prajurit hanya mendapat lebih sedikit, tetapi setidaknya ini jauh lebih aman bagi nyawa mereka.[13] (PH)

Bersambung ke:

Ustmaniyah Menyerang Wina (3): Pengepungan

Sebelumnya:

Ustmaniyah Menyerang Wina (1): Hubungan Habsburg-Ustmaniyah

Catatan Kaki:

[1] “Mehmed IV”, dari laman https://www.britannica.com/biography/Mehmed-IV, diakses 26 September 2018.

[2] Ibid.

[3] Gábor Ágoston dan Bruce Masters, Encyclopedia of the Ottoman Empire (Facts On File, Inc. : 2009), hlm 583.

[4] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 217.

[5] Ibid.

[6] Gábor Ágoston dan Bruce Masters, Loc.Cit.

[7] Eamon Gearon, Loc.Cit.

[8] Gábor Ágoston dan Bruce Masters, Ibid., hlm 583-584.

[9] Eamon Gearon, Loc.Cit.

[10] Ibid., hlm 217-218.

[11] Gábor Ágoston dan Bruce Masters, Ibid., hlm 584.

[12] Eamon Gearon, Ibid., hlm 218.

[13] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*