“Ustmaniyah selama dua bulan melakukan pengepungan dan blokade terhadap Wina. Kedua belah pihak sama-sama kelaparan sampai-sampai memakan kucing dan tikus. Menjelang kemenangan Ustmaniyah, tanpa diketahui, puluhan ribu tentara Kristen Eropa hendak datang memberikan bantuan.”
–O–
Begitu mendengar berita tentang pasukan Ustmaniyah (Ottoman) yang mendekat ke Wina, Kaisar Habsburg, Leopold I, dan orang-orang istananya, melarikan diri disertai 60.000 warga Wina lainnya. Kaisar Leopold meninggalkan Wina pada 7 Juli 1683 menuju ke Linz (sekarang Austria di sisi Sungai Danube) dan Passau (sekarang Jerman, di sisi Sungai Danube).[1] Pada waktu yang bersamaan, ketika orang-orang melarikan diri dari Wina, puluhan ribu petani lokal dari sekitar kota justru berhamburan memasuki dinding kota untuk perlindungan. Di balik dinding kota, prajurit yang bersiap untuk mempertahankan kota hanya berjumlah 15.000 orang, sekitar sepersepuluhnya pasukan Ottoman.[2]
Pada 15 Juli, selang satu hari setelah kedatangan pasukan Ottoman, Wina telah dikepung dan diblokade. Sejak hari itu sampai dua bulan ke depan, Wina terus menerus diserang oleh senjata api Ottoman. Selama proses itu, Ottoman memusatkan serangan mereka ke dinding kota yang berada di antara Burg Bastion dan Löbl Bastion. Namun, tidak seperti pada tahun 1529 ketika di masa Sultan Suleiman, kali ini Ottoman tidak memiliki senjata artileri berat. Bagaimanapun, 130 pucuk senjata lapangan (field guns) – sejenis meriam namun dengan ukuran yang lebih kecil sehingga mudah untuk dipindah-pindahkan – milik Ottoman tidak memadai untuk melawan 260 meriam dan mortir milik pasukan pertahanan kota Wina. Tetapi, pasukan Wina pun sebenarnya kekurangan amunisi, yang mana cukup menjelaskan kenapa mereka hanya menembakkan satu atau dua tembakan per harinya selama pengepungan terjadi.[3]
Untuk menyiasatinya, Ottoman kini menggunakan prajurit yang ahli dalam serangan bawah tanah, yakni dengan cara menggali terowongan kecil dan kemudian meledakkan tembok dari bawah tanah. Namun pasukan Wina bersikeras bertahan, mereka melakukan serangan bawah tanah balasan, memperbaiki tembok, dan menghentikan penerobosan.[4] Perwira yang diberi tanggung jawab atas pertahanan memerintahkan agar setiap prajurit yang ditemukan tertidur di posnya harus ditembak di tempat. Ini mungkin tampak tidak bermoral, tapi secara efektif dapat membuat para prajurit menjadi lebih waspada.[5]
Selama proses ini, pasukan dan penduduk kota Wina mulai kehabisan makanan dan air bersih, sehingga mereka mulai memakan apa saja yang bisa dimakan, termasuk kucing dan tikus. Dilaporkan, setengah dari pasukan pertahanan di dinding kota telah tewas dalam proses pengepungan ini. Sementara itu, di luar dinding, semangat pasukan Ottoman juga menurun karena kemenangan cepat yang mereka harapkan tidak juga kunjung datang. Meskipun tidak sampai memakan tikus, tetapi persediaan makanan mereka juga mulai habis, dan terlebih, dengan musim dingin yang sudah semakin mendekat, mereka membutuhkan kemenangan yang cepat. Selama proses pengepungan, sekitar 20.000 pasukan Ottoman telah tewas.[6]
Bagaimanapun, dengan segala jerih payahnya, pada 2 September pasukan Ottoman pada akhirnya berhasil mengambil alih Burg Ravelin, salah satu titik pertahanan kota Wina yang berparit. Kemudian pada 6 September, dinding Burg Bastion juga berhasil diledakkan dari bawah tanah. Saat ini pasukan Wina sudah kehilangan sekitar separuh kekuatan mereka dan juga dilemahkan oleh penyakit disentri dan kurangnya makanan. Mereka tinggal menunggu datangnya serangan akhir menentukan yang mematikan dari Ottoman. Tetapi sayangnya itu tidak terjadi, Kara Mustafa sebaliknya malah membariskan pasukannya di luar dinding tanpa masuk ke dalam, dia berusaha membuat penduduk kota untuk menyerah duluan tanpa melakukan perlawanan. Sebuah keputusan yang kelak akan dia sesali, dia tidak tahu bahwa di luar sana puluhan ribu pasukan bantuan sedang menuju ke Wina.[7]
Di tengah situasi kritis seperti itu, Leopold I, meskipun dia tampak seperti mengabaikan Wina, namun sebenarnya dia pergi untuk mencari bantuan dari negara lain. Tanpa disangka pihak Ottoman, berbagai negara Eropa berkomitmen untuk mengirim pasukan untuk membantu Habsburg. Di antara mereka yang akan datang adalah pasukan dari Bavaria, Sachsen, Franconia, dan beberapa kerajaan Jerman lainnya. Bersama mereka juga datang 18.000 pasukan kavaleri Polandia yang dikomandoi langsung oleh raja mereka, John III Sobieski. Sobieski sebelumnya dalam beberapa kesempatan sudah bertempur dengan Ottoman, dan para prajurit Turki benar-benar takut kepadanya.[8]
Sementara itu, Raja Louis XIV dari Prancis menolak untuk memberikan bantuan, karena sudah dari sejak era Sultan Suleiman (sekitar 150 tahun sebelumnya), Prancis bersekutu dengan Ottoman.[9] Pada masanya persekutuan ini dianggap kontroversial, negara-negara Kristen bahkan menyebutnya dengan istilah “The Unholy Alliance” (persekutuan tidak suci), karena bertentangan dengan Spanyol dan Kekaisaran Suci Romawi.[10] Leopold menjadi geram karenanya dan benar-benar mengingat penolakan dari Prancis ini.[11] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Gábor Ágoston dan Bruce Masters, Encyclopedia of the Ottoman Empire (Facts On File, Inc. : 2009), hlm 584.
[2] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 218.
[3] Gábor Ágoston dan Bruce Masters, Loc.Cit.
[4] Ibid.
[5] Eamon Gearon, Ibid., hlm 219.
[6] Ibid., hlm 218-220.
[7] Gábor Ágoston dan Bruce Masters, Loc.Cit.
[8] Eamon Gearon, Ibid., hlm 220.
[9] Ibid.
[10] Kallie Szczepanski, “Admiral Hayreddin Barbarossa”, dari laman https://www.thoughtco.com/admiral-hayreddin-barbarossa-195756, diakses 7 Maret 2018.
[11] Eamon Gearon, Loc.Cit.