Mozaik Peradaban Islam

Ziarah Makam Wali (8): Syekh Siti Jenar (1)

in Budaya Islam

Last updated on July 4th, 2018 08:59 am

“Aku adalah perbendaharaan tersembunyi. Maka Aku ingin dikenal, lalu Ku-ciptakan makhluk agar Aku dikenal. Ungkapan hadis qudsi ini telah mengilhami pandangan Syekh Abdul Jalil bahwa semua yang ada adalah Dzat Allah semata. Allah tidak menciptakan alam semesta dengan dzat lain, melainkan dengan Dzat-Nya sendiri, yang dengan itu Allah menyaksikan diri-Nya. Inilah manunggaling kawulo-Gusti yang telah mengundang kontroversi tak berkesudahan. Pandangan bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhannya karena mereka semua adalah hijab Tuhan.”

–O– 

Kedekatan seorang hamba dengan Tuhan meniscayakan kepasrahan secara total kepada-Nya, termasuk pasrah pada tindakan-Nya. Hamba tersebut secara perlahan akan mendaki ragam tingkatan (maqamat) yang mungkin semakin tak terjangkau oleh akal manusia yang tak mengalaminya. Tarikan demi tarikan spiritual (jadzb) hasil olah ruhani melambungkan dirinya, dan—untuk sementara—ia akan kehilangan kesadaran insaniah, lalu masuk ke wilayah ketuhanan. Akibatnya, ia akan berlaku tidak selayaknya manusia biasa. Membaca segala sesuatu melalui kaca mata batiniah, bukan sebagaimana yang kasat mata. Keadaan spiritual semacam ini tak jarang menjadikan orang lain salah memahami tindakannya, lalu menyimpulkan dengan kaca mata lahiriah.

Kenyataan di atas di alami oleh nabi dan ulama sufi, seperti hikayat perjumpaan Nabi Musa as. dan Khidir. Nabi Musa melihat alam dan keadaan sekitarnya dengan pandangan lahiriah, sementara Nabi Khidir jauh melesat menggunakan mata batinnya. Atau, kisah eksekusi yang dialami oleh Al-Hallaj yang dihukum gantung oleh para ulama ortodoks kala itu karena mengucapkan kalimat kontroversial dengan mengatakan “ana al-Haqq (akulah kebenaran).” Sisi lahiriah yang tampak berseberangan, namun sejatinya pandangan manusia yang belum sampai pada kebenaran yang disampaikannya. Demikian ini juga pernah terjadi di Jawa dengan Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang sebagai lakonnya.

Nama aslinya adalah Ali Hasan alias San Ali alias Syekh Abdul Jalil alias Syekh Lemah Abang. Ia berasal dari Cirebon. Beberapa riwayat mengatakan ia memiliki nasab yang bersambung hingga Nabi Muhammad saw. melalui jalur Fatimah, Imam Husen, Ali Zainal Abidin, Muhammad Baqir, Datuk Isa Tuwu yang tinggal di Malaka, Syekh Datuk Saleh. Namun, ada pula yang mengatakan ia adalah putra Sunan Gunung Jati yang sangat tekun mempelajari ilmu-ilmu keislaman, terutama mistik. Ia berguru kepada Sunan Ampel, dan termasuk salah seorang murid yang tekun dan begitu cintanya dengan ilmu sampai-sampai tidak mau menikah.[1] Sumber lain mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar adalah putra Sunan Ampel sekaligus muridnya.

Selain nama dan julukan di atas, Syekh Siti Jenar juga dikenal dengan Syekh Jabaranta. Ketika memasuki usia remaja ia meninggalkan Nusantara menuju Persia dan Bagdad untuk menimba ilmu. Konon, ia belajar Islam kepada mullah Syiah muntazhar yang menurut keterangan di kalangan murid Tarekat Akmaliyah bernama Abdul Malik al-Bagdadi yang kelak menjadi mertuanya. Di sana ia sempat berumah tangga dan mempunyai beberapa anak, di antaranya Ki Datuk Bardun atau Datuk Bardut. Dari Baghdad ia melanjutkan pengembaraannya ke Gujarat. Dari Gujarat ia kembali ke Malaka selama beberapa tahun, lalu kembali ke Baghdad, dan akhirnya melabuhkan diri dan menetap di Jawa, tepatnya di Amparan Jati atau Gunung Jati, Cirebon.

Selama menuntut ilmu, Syekh Lemah Abang begitu mendalami ilmu tasawuf dan sangat pakar dalam pembahasan tersebut. kecenderungannya pada tasawuf mengantarkannya untuk belajar kepada Syekh Ahmad yang menganut aliran Tarekat Akmaliyah yang memiliki sambungan sanad sampai ke Abu Bakar ash-Shiddiq. Selain itu, ia juga memperdalam Tarekat Sathariyah yang diperoleh dari saudara sepupunya, dari Syekh Datuk Kahfi. Pada akhirnya, pemahaman mendalam dalam bidang tasawuf membuat dirinya berpandangan lain daripada yang lain. Ilmu tasawuf di tangannya diformulasikan sedemikian rupa dengan ilmu mantiq dan filsafat. Sehingga ilmu tasawuf yang berpijak pada metode intuitif yang bersifat rahasia dengan serta merta berubah menjadi ilmu yang terbuka untuk dijadikan bahasan filosofis. Syekh Lemah Abang beranggapan bahwa pengetahuan makrifat yang bersifat suprarasional yang bersifat rahasia harus bisa dijelaskan secara rasional yang bisa diterima akal.[2] Dengan cara ini, ia telah melakukan miak wirana atau membuka rahasia tertinggi yang sesungguhnya hanya boleh dibabar kepada orang-orang khusus (khawash).

Setelah beberapa lama tinggal di Amparan Jati, Syekh Jabaranta pindah ke Cirebon Girang. Di sana ia mempunyai banyak pengikut. Dari Cirebon Girang ia pindah lagi ke Pengging, Jawa Tengah. Di tempat baru ini pula ia memiliki murid yang banyak. Bahkan tidak sedikit pejabat tinggi kerajaan dan tokoh berpengaruh yang menjadi muridnya, misalnya: Ki Ageng Kebo Kenongo Bupati Pengging, Pangeran Panggung, Sunan Geseng, Ki Lonthang, Ki Datuk Pardung, Ki Jaka Tingkir Sultan Pajang, Ki Ageng Butuh, Ki Mas Manca, Ki Gedeng Lemah Putih, Pangeran Jagasatru, Ki Gedeng Tedang, Pangeran Anggaraksa, Ki Buyut Kalijaga, Ki Gedeng Sampiran, Ki Gedeng Trusmi, Ki Gedenga Carbon Girang, Pangeran Cuci Manah, Pangeran Carbon, dan lain sebagainya.

Setelah melihat kekuatan yang begitu meluas, ia pun kembali lagi ke Cirebon Girang. Kenyataan yang tak bisa terelakkan bahwa muridnya semakin banyak, bahkan tidak hanya dari Jawa, mereka juga datang dari Sumatera sehingga membuat Sultan Demak (Trenggono) marah. Terutama karena Syekh Lemah Abang telah mendukung muridnya, Ki Kebo Kenongo, mendirikan kerajaan di Pengging dan memisahkan dari Kerajaan Demak. Akan tetapi usaha ini tidak berhasil. Demikian pula Pangeran Carbon di Cirebon pun diperintahkan untuk merebut tahta, tapi juga tidak berhasil. Kerisauan-kerisauan ini semakin memuncak tatkala dikabarkan banyak para pengikut Sunni yang berafiliasi pada mazhab Syafi’i berpindah ke Syiah, yang merupakan bawaan Syekh Jabaranta dari Bagdad. Sampai pada puncaknya, Syekh Jabaranta pun diadili oleh para wali karena dianggap telah mengajarkan ajaran sesat dan mendaku diri sebagai Tuhan.

Kronik-kronik yang beraroma politis tidak lepas dari perjalanan para wali yang berperan dalam islamisasi Jawa. Misalnya diceritakan dalam Suluk Walisana, bagaimana intrik politik dalam pertikaian antara para pemuka wali yang menyebabkan beberapa tokohnya menjadi korban. Seperti kasus Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang, yang konon harus mengalami eksekusi mati di tangan para wali yang lain. Meski beberapa penulis, seperti Agus Sunyoto dan Muhammad Sholihin merasa keberatan dengan mitologi semacam ini, yang disebut Agus sebagai ulah Belanda.

Sejak semula Syekh Lemah Abang dikenal sebagai penyebar ajaran Sasahidan yang berpijak pada konsep manunggaling kawulo-Gusti. Ia diketahui sebagai penggagas kelompok baru dengan mengubah konsep feodalistik kawulo (hamba, budak) menjadi egaliter melalui pembukaan hunian-hunian baru yang disebut Lemah Abang. Dari komunitas masyarakat egaliter inilah yang dinisbatkan kepada Syekh Lemah Abang kemudian berkembang menjadi varian Abangan.  Hal ini sebagaimana realitas yang berkembang, seperti dinyatakan Agus Sunyoto, yang berkonflik bukan Syekh Siti Jenar lawan Wali Songo, tapi Siti Jenar dengan Sultan Trenggono, putra Raden Patah yang pendiri Kesultanan Demak itu.

Syekh Lemah Abang yang merupakan hasil didikan Baghdad itu merasa jengah melihat orang-orang Jawa begitu feodalnya hingga memperlakukan para penguasanya layaknya Tuhan. Sebagai contoh, kalau menghadap raja, rakyat harus sujud. Lalu kata “ing sun” yang artinya aku hanya berhak diucapkan oleh raja, rakyat hanya boleh memakai kata “kawulo” yang artinya budak. Nah, Syekh Siti Jenar merasa prilaku itu “mengotori” ketauhidan seorang muslim. Ia lantas mbalelo (berontak), dengan cara sengaja mempraktikkan kata “ing sun” untuk dirinya dan para pengikutnya serta menolak mentah-mentah untuk bersujud kepada raja. Hal ini dalam pandangan politik Sultan Trenggono merupakan perilaku subversif, sehingga ia dikejar-kejar dan dianggap musuh negara dan agama.[3]

Pada hakikatnya, semua manusia sama di hadapan Tuhan. Tak ada raja, tak ada bupati, tak ada punggawa, dan tak ada pangeran. Semua yang ada pada manusia sejatinya tak ada. Hanya pinjaman yang dipinjami oleh Sang Empunya yang Hakiki. Hanya pancaran yang dipancarkan oleh Sang Sumber Cahaya. Dan yang ada hanya Sang Maha Mawjud. Tanpa wujud mutlak Tuhan, seluruh makhluk tidak akan mewujud. Dalam diri manusia tak ada kualitas tanpa ada pemberi kualitas itu sendiri. Dan kualitas kedirian makhluk dan yang membedakan hakikat dirinya tiada lain adalah ketundukan dan ketakwaan kepada Tuhannya. [KHI]

Bersambung ke:

Ziarah Makam Wali (8): Syekh Siti Jenar (2)

Sebelumnya:

Ziarah Makam Wali (7): Sunan Drajat di Lamongan

Catatan Kaki:

[1] Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,  2005), hlm. 365

[2] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo., hlm. 319

[3] Hendijo, “Agus Sunyoto: Mitologisasi Wali Songo itu Ulah Belanda” dalam http://arsipindonesia.com akses 30 Juni 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*