Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (25): Penaklukkan Suku Naiman (2)

in Sejarah

Last updated on March 9th, 2019 03:51 pm


Temujin menunjukkan kualtas dirinya sebagai seorang jenius perang, dia menciptakan taktik-taktik perang baru. Meski jumlah pasukannya sedikit, taktik yang dia lakukan membuat lawan kebingungan dan kehilangan orientasi. 

Lukisan prajurit Mongol karya Rashid al-Din dalam Sejarah Dunia. Dipublikasikan kembali dalam buku karya Peter Jackson yang berjudul The Mongols and the West.

Pertempuran puncak untuk menguasai seluruh padang rumput Mongolia terjadi pada tahun 1204, atau Tahun Tikus, di sekitar 500 km ke arah barat dari Gunung Burkhan Khaldun. Pada hari-hari menjelang pertempuran, Temujin melakukan uji coba satuan organisasi militer barunya berdasarkan konsep unit kelipatan sepuluh, sebagaimana telah dijelaskan pada artikel sebelumnya.[1] Kemudian ketika perang berlangsung, alih-alih melakukan pertempuran habis-habisan, yang mungkin malah membuatnya dapat dengan mudah dikalahkan – karena pasukan Mongol jumlahnya lebih sedikit, dalam menghadapi suku Naiman, Temujin menggunakan taktik menyerang dan lari menggunakan unit-unit pasukan yang kecil.

Dalam serangan tahap pertama, sesaat sebelum datangnya cahaya matahari Temujin memerintahkan anak buahnya untuk maju dengan formasi – dengan apa yang disebutnya – “semak belukar tertiup angin.” Para prajurit dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil, kemudian sebanyak sepuluh regu menyebar ke beberapa arah yang berbeda secara diam-diam sambil menjaga tubuh mereka tetap rendah di tengah kegelapan dini hari. Cara ini mencegah pasukan Temujin dapat terlihat jelas berapa jumlahnya, dan selain itu, gerakan ini juga merupakan persiapan untuk menyerang ke satu arah namun dari banyak arah. Setelah menyerang, masing-masing regu melarikan diri ke arah yang berbeda, meninggalkan musuh yang terluka dan mereka tidak dapat membalas karena mereka sudah keburu menghilang.

Setelah serangan sporadis formasi semak belukar selesai, Temujin menyerang dengan formasi kedua, yakni Formasi Danau. Formasi ini menempatkan pasukan dalam satu shaf panjang untuk menembakkan panah. Setelah shaf pertama selesai memanah, giliran shaf kedua yang maju untuk memanah, kemudian shaf ketiga, dan seterusnya dalam siklus yang terus berputar. Formasi ini mirip dengan gelombang air di danau, mereka menghantam dan kemudian menghilang secepat mereka muncul, masing-masing gelombang, pada gilirannya, kembali ke belakang untuk membentuk gelombang lainnya.   

Dengan Formasi Danau yang shafnya memanjang ke samping dan menembakkan panah, pasukan Naiman dipaksa untuk mengubah barisan mereka menjadi barisan panjang ke belakang yang lebarnya tipis dan menyempit. Begitu formasi pasukan Naiman berbentuk seperti itu, Temujin mengubah taktiknya ke taktik ketiga, yakni Formasi Pahat. Temujin menyusun pasukannya untuk kontak secara langsung dari bagian depan pasukan musuh yang lebarnya telah menyempit dengan kekuatan maksimum dan mulai memahat barisan pasukan lawan yang memanjang ke belakang sedikit demi sedikit namun dengan luar biasa tajam dan pasti.

Taktik itu tampaknya, setidaknya sebagian, merupakan gabungan teknik pertempuran dan strategi berburu yang lebih tua. Namun dengan ketidakmampuan musuh yang terus-menerus terjadi karena mereka kebingungan untuk mencerna dengan apa yang sedang terjadi, itu menandakan bahwa Temujin telah melakukan beberapa inovasi dan menjadikan formasi-formasi tersebut sebagai sesuatu yang orisinal diciptakan olehnya. Temujin telah menciptakan jenis baru cara berperang pasukan padang rumput pada bentuk variasi yang dapat digunakan dalam skala yang lebih besar.

Namun yang paling penting dari itu semua, masing-masing prajurit harus mampu bekerja sama dengan efektif dan memiliki kepatuhan total terhadap komandan mereka. Pasukan Mongol kini tidak lagi menyerang secara individual tanpa strategi yang mana seringkali hanya mengandalkan kekuatan dan keterampilan individu, namun mereka telah menjadi suatu formasi yang kuat dan menyatu dalam sebuah koordinasi. Pepatah Mongol mengatakan, “Jika dia menyuruhku masuk ke dalam api atau air, aku akan melakukannya. Aku melakukan untuknya.” Pepatah tersebut bukan hanya mencerminkan sebuah ide belaka, namun telah menjadi kenyataaan sebagaimana dapat dilihat dengan cara perang orang Mongol yang baru, dan itu berhasil membuat suku Naiman kocar-kacir.

Pada pertempuran ini, pasukan Mongol unggul, tetapi Temujin tidak tergesa-gesa untuk meraih kemenangan. Di saat seluruh pasukannya mengharapkan serangan akhir yang menentukan, Temujin malah memerintahkan mereka untuk beristirahat dan tidur dengan nyenyak. Di sisi lain, pasukan Naiman kebingungan dan mengalami disorientasi, dan jalur komunikasi mereka telah terputus. Pasukan yang putus asa itu mulai melarikan diri pada malam harinya. Temujin menahan pasukannya untuk tidak mengejar mereka.[2]

Malam itu gelap dan tidak ada cahaya rembulan, dan satu-satunya jalan keluar adalah di sisi belakang gunung yang curam. Karena tidak dapat melihat dengan jelas, orang-orang itu beserta kuda-kudanya jatuh tergelincir ke dalam ngarai yang dalam.[3] Dokumen Sejarah Rahasia Bangsa Mongol, menggambarkan kejadian ini dengan kata-kata, “Mereka jatuh sampai tulang mereka patah dan mati karena saling terhantam sampai mereka seperti tumpukan kayu busuk.”[4]

Keesokan paginya, pasukan Mongol dengan mudah membereskan sisa-sisa pasukan Naiman dan mengeksekusi Tayang Khan. Di antara prajurit musuh yang berhasil melarikan diri adalah Guculuk Khan, putra Tayang Khan, dia lari sampai jauh ke Pegunungan Tian Shan, daerah Khitan Hitam. Sementara itu Jamuka lari ke dalam hutan. Kini sudah tidak ada lagi suku lainnya yang dapat menampung Jamuka untuk mencari perlindungan. Segelintir kelompok suku Merkid yang tersisa dengan mudah dapat ditelan oleh suku Mongol yang sedang tumbuh dengan pesat.

Jamuka yang kini berusia 40 tahun hidup sebagai bandit yang terbuang dengan sejumlah kecil pengikut yang mencari makan untuk diri mereka sendiri dengan berburu hewan liar. Nasibnya kini benar-benar terbalik, Jamuka yang dulunya golongan aristokrat bangsawan Mongol, kini menghadapi nasib yang sama dengan Temujin kecil ketika dia ditinggal mati oleh ayahnya.

Pada tahun 1205, atau Tahun Sapi, setahun setelah kemenangan Temujin atas suku Naiman, pengikut Jamuka putus asa dan pasrah untuk kalah, mereka kemudian menangkap Jamuka dan menyerahkannya kepada Temujin. Terlepas dari permusuhan sengit di antara kedua pria itu, Temujin menghargai kesetiaan di atas segalanya. Ketimbang memberi hadiah kepada orang-orang yang membawa Jamuka kepadanya, Temujin memerintahkan mereka semua untuk dieksekusi di depan pemimpin mereka yang telah mereka khianati.[5] (PH)

Bersambung ke:

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (26): Akhir Hidup Jamuka

Sebelumnya:

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (24): Penaklukkan Suku Naiman (1)

Catatan Kaki:


[1] Selengkapnya lihat “Bangsa Mongol dan Dunia Islam (20): Sang Pemersatu”, dari laman https://ganaislamika.com/bangsa-mongol-dan-dunia-islam-20-sang-pemersatu/, diakses 8 Maret 2019.

[2] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 3.

[3] Ibid.

[4] Igor de Rachewiltz, The Secret History of the Mongols: A Mongolian Epic Chronicle of the Thirteenth Century (Western Washington University, 2015), hlm 115.

[5] Jack Weatherford, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*