Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (20): Sang Pemersatu

in Sejarah

Last updated on March 3rd, 2019 02:16 pm


Temujin memaksa setiap rakyatnya hidup dengan gaya militer. Setiap 10 orang wajib bergabung dalam satu regu yang latar belakang anggotanya dari suku, klan, atau keluarga yang berbeda. Di dalamnya mereka wajib saling menolong. Hukuman mati bagi yang melanggarnya.

Ilustrasi wajah Temujin Khan. Photo: bashibozuk/Deviant Art

Meski Temujin telah mendorong para pengikutnya untuk melaksanakan perkawinan antar suku dan adopsi, namun cara itu dinilai masih belum cukup untuk dapat menyatukan orang-orang dengan latar belakang suku, garis keturunan, klan, atau pun keluarga yang berbeda-beda. Jika sistem kekerabatan tetap dibiarkan terpelihara, maka kelompok yang lebih besar bagaimanapun akan tetap kokoh dengan identitas kesukuannya. Oleh karena itu, pada tahun 1203, setahun setelah penaklukan Tatar, Temujin mengeluarkan kebijakan reformis lainnya, dan bahkan lebih radikal, terhadap pasukan dan suku-suku pengikutnya.

Temujin menerapkan cara baru dalam penempatan dan pengorganisiran setiap prajuritnya. Setiap 10 orang prajurit akan ditempatkan dalam sebuah regu, atau Arban dalam bahasa Mongol. Ketika sudah tergabung dalam sebuah regu, mereka akan menjadi saudara. Tidak peduli asal-usul suku atau kerabat mereka, ketika sudah tergabung di dalamnya, maka mereka diperintahkan untuk hidup dan berjuang bersama dengan loyal seperti saudara. Sebagaimana keluarga sendiri, tidak ada seorang pun di antara mereka yang boleh meninggalkan saudara seregunya untuk menjadi tawanan bagi pihak lawan. Masih seperti konsep kekeluargaan Mongol yang biasanya menjadikan kakak tertua sebagai pemilik otoritas bagi kelompoknya, di dalam Arban, prajurit tertua akan mengambil posisi sebagai pemimpin. Namun jika pun bukan prajurit tertua, mereka masih diperkenankan untuk memilih seorang pemimpin berdasarkan kesepakatan di antara mereka sendiri.

Kemudian setiap 10 regu akan tergabung dalam sebuah kompi, atau disebut Zagun. Dari 100 orang anggota kompi, salah satunya akan dipilih sebagai pemimpin mereka. Dan seperti halnya keluarga besar yang bersatu untuk membentuk suatu garis keturunan, 10 kompi Mongol akan membentuk satu batalion, atau Mingan, yang berarti jumlahnya adalah 1.000 orang. Dari 10 batalion, maka itu akan diorganisir dalam sebuah divisi, atau Tumen, yang jumlahnya menjadi 10.000 orang. Setiap pemimpin Tumen akan dipilih secara langsung oleh Temujin yang paling tahu kualifikasi yangdibutuhkan untuk memimpin organisasi sebesar itu.

Dalam kehidupan sehari-hari, Temujin tetap mengizinkan seorang ayah, anak lelaki, saudara laki-laki, atau sepupu untuk dapat berkumpul bersama-sama. Tetapi dalam konteks militer, mereka dipaksa untuk terjun ke dalam unit-unit baru yang tidak dapat diganggu gugat. Di bawah ancaman hukuman mati bagi yang melanggar, Temujin telah menghancurkan sistem tradisi lama yang terikat dengan klan, suku, dan identitas-identitas etnis lainnya. Pada saat reorganisasi ini dilakukan, Temujin dilaporkan telah memiliki 95 Mingan, tetapi karena beberapa unit tidak semua jumlah anggotanya terpenuhi, maka jumlah total pasukannya mungkin paling rendah adalah 80.000 orang.

Seluruh suku Mongol –atau tepatnya pengikut Temujin karena faktanya mereka terdiri dari berbagai suku, meski di kemudian hari mereka semuanya disebut orang-orang Mongol – kini menjadi terintegrasi dalam kesatuan militer. Di bawah sistem baru ini, semua anggota suku — tanpa memandang usia atau jenis kelamin — diwajibkan melakukan sejumlah pengabdian publik. Bagi mereka yang tidak mampu bertugas dalam militer, mereka diwajibkan untuk memberikan yang setara dengan satu hari kerja per minggu untuk proyek-proyek publik atau layanan untuk khan.

Pekerjaan publik ini termasuk merawat prajurit, mengumpulkan kotoran hewan untuk bahan bakar, memasak, merias, memperbaiki senjata, atau bahkan menyanyi dan menghibur untuk pasukan. Dalam organisasi baru ini, semua orang dianggap memiliki tulang yang sama. Temujin, yang sewaktu bocah menghadapi penolakan berulang kali karena dianggap berstatus lebih rendah, kini menghapus perbedaan antara tulang hitam (keturunan campuran) dan tulang putih (bangsawan). Semua pengikutnya sekarang, dari mana pun asalnya, bersatu di bawah kepemimpinannya.

Para sejarawan seringkali berspekulasi tentang bagaimana atau dari mana Temujin mendapatkan ide pengelompokan rakyatnya – Arban, Zagun, dan seterusnya. Beberapa suku Turki sebelumnya diketahui telah menggunakan sistem organisasi militer serupa berdasarkan unit yang berkelipatan sepuluh, dan Temujin mungkin mengadaptasinya dari mereka. Namun, Temujin tidak hanya memanfaatkan sistem itu untuk taktik militer dalam perang, tetapi dia juga menggunakannya sebagai struktur permanen bagi kehidupan seluruh masyarakatnya.

Setelah melakukan reorganisir terhadap pasukannya, Temujin juga melembagakan satu perubahan lainnya, yang tampaknya kecil. Sambil mengatur pemerintahannya di Avarga di Sungai Kherlen, dia memutuskan untuk membuat wilayah tertutup yang menjadi tanah air bagi suku Mongol di daerah hulu Sungai Onon, Kherlen, dan Tuul di sekitar gunung suci Burkhan Khaldun, tempat dulu dia mencari perlindungan sewaktu dikejar-kejar oleh suku Merkid. “Jangan sampai ada yang mendirikan perkemahan di hulu Tiga Sungai,” perintahnya.

Dengan perintah itu, nantinya tanah air Mongol itu tertutup bagi semua orang luar, kecuali untuk keluarga Kekaisaran Mongol yang akan kembali ke sana untuk melaksanakan seremoni dan pertemuan-pertemuan keluarga. Selain itu, dalam dua abad berikutnya, keluarga kekaisaran juga ketika meninggal akan dikuburkan di sana. Bangsa Mongol secara keseluruhan selalu menganggap gunung-gunung di sekitar ketiga sungai itu berasal sebagai tanah air mereka, tetapi dengan hukum baru ini, ia menjadi pusat ritual tertutup bagi Kekaisaran Mongol. Tanah di sekitar Burkhan Khaldun sekarang secara resmi disakralkan dalam kosmografi Mongol, yang bukan hanya dianggap sebagai pusat bumi, tetapi juga pusat alam semesta.

Alih-alih menggunakan nama etnis atau kesukuan tunggal, Temujin kemudian secara bertahap sering menyebut pengikutnya sebagai “Orang-orang Dinding Kulit”, yang mengacu kepada bahan untuk membuat tenda, atau Ger dalam bahasa Mongol. Penggunaan istilah ini baru muncul setelah Temujin mengalahkan suku Tatar. Mungkin ini adalah sebuah indikasi pertama bahwa dia memiliki ambisi untuk menyatukan semua orang di padang rumput, dengan demikian dia mesti mencari suatu persamaan tertentu. Penduduk nomaden padang rumput seluruhnya menggunakan Ger sebagai tempat tinggal mereka.

Dengan kekalahan dan bergabungnya suku Tatar yang begitu perkasa, serta kelompok-kelompok yang lebih kecil seperti klan Tayichiud dan Jurkin, Temujin memperoleh prestise yang signifikan di dunia politik padang rumput, suatu tingkat kekuatan yang tidak pernah diduga oleh Ong Khan, penguasa terbesar wilayah tengah padang rumput Mongolia yang juga sekaligus ayah angkat Temujin. Ketika Temujin mengonsolidasikan kekuasaannya terhadap para pengikutnya yang berjumlah sangat besar, dia akan menghadapi tantangan besar lain yang akan menguji sistem barunya. Langkah Temujin selanjutnya akan membuat saingan seumur hidup Temujin, Jamuka, merapat dan membangun aliansi dengan Ong Khan untuk memerangi kekuatan dan popularitas Temujin yang semakin meningkat dengan pesat.[1] (PH)

Bersambung ke:

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (21): Melamar Putri Ong Khan

Sebelumnya:

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (19): Peleburan Mongol-Tatar

Catatan Kaki:


[1] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 2.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*