Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (66): Berapa Jumlah Korban Mongol di Asia Tengah?

in Sejarah

Last updated on July 1st, 2019 02:23 pm

Sejarawan mencatat, jumlah korban yang dibunuh oleh Mongol mencapai 15 juta orang. Ini artinya, dalam satu waktu tertentu di suatu kota di Asia Tengah, setiap prajurit Mongol harus membunuh 350 orang. Mungkinkah?

Foto Ilsutrasi: Universal History Archive / UIG via Getty Images

Kisah tentang kekejian bangsa Mongol di Asia Tengah, telah banyak digambarkan oleh para sejarawan. Sementara penghancuran banyak kota di Asia Tengah memang benar-benar terjadi, namun jumlah korban yang digambarkan oleh mereka bukan hanya dibesar-besarkan, bahkan cenderung tidak masuk akal. Sejarawan Persia melaporkan bahwa pada pertempuran Nishapur, orang-orang Mongol telah membantai sejumlah 1.747.000 korban, sebuah jumlah yang presisi.[1]

Di kota Herat, orang Mongol dilaporkan telah membunuh 1.600.000 orang. Dalam klaim lainnya yang lebih berlebih-lebihan, Minhaj al- Din Ustman bin Siraj al- Din Juzjani – seorang sejarawan Muslim yang mulai menulis tentang sejarah Mongol pada tahun 1260-an di wilayah Kesultanan Delhi, dia menulis berdasarkan kesaksian orang-orang yang masih hidup dan telah hijrah ke India –[2] mengatakan, bahwa korban di Herat mencapai 2.400.000. Juzjani dalam tulisan-tulisannya memang cenderung menuliskan sentimen anti-Mongol.[3]

Belakangan, para cendekiawan yang lebih konservatif mengatakan bahwa dalam rentang waktu invasi Mongol ke Asia Tengah selama lima tahun, mereka telah membunuh 15 juta orang. Dengan jumlah sebesar ini, apabila dihitung secara sederhana, maka setiap prajurit Mongol haruslah membunuh lebih dari seratus orang. Bahkan apabila dihitung lebih detail dengan memasukkan jumlah penduduk di kota-kota lainnya yang lebih padat, maka setiap prajurit Mongol harulah membunuh 350 orang agar jumlah tersebut tercapai. Seandainya memang demikian banyak jumlah orang-orang yang tinggal di kota-kota di Asia Tengah pada saat itu, mestinya mereka dapat dengan mudah mengalahkan pasukan Mongol yang menyerang.

Meskipun jumlah bombastis korban Mongol telah diterima sebagai fakta dan disampaikan dari generasi ke generasi, sebenarnya itu tidak memiliki dasar. Dalam kenyataannya, misalnya saja ketika seseorang akan menyembelih sapi dalam jumlah yang sangat banyak, apabila hal ini terjadi pada manusia, maka ini akan sangat sulit, karena mereka harus menunggu giliran untuk disembelih dengan sikap yang pasrah sebagaimana layaknya hewan.

Secara keseluruhan, jumlah yang memungkinkan bagi satu prajurit Mongol untuk membunuh orang adalah sekitar 50 orang dalam satu waktu. Dengan rasio seperti itu, rakyat seharusnya banyak yang dapat melarikan diri dan bangsa Mongol tidak akan bisa menghentikan mereka. Berdasarkan penelitian terhadap reruntuhan kota-kota yang telah ditaklukkan oleh bangsa Mongol, itu menunjukkan bahwa korban jarang melampaui sepersepuluh total populasi kota.

Selain itu, secara geologis, dengan kondisi tanah gurun yang kering di daerah-daerah ini, terbukti bahwa daerah tersebut dapat menyimpan tulang selama ratusan dan kadang-kadang ribuan tahun, namun di sana tidak satupun ditemukan jejak jasad manusia berjumlah jutaan yang dikatakan telah dibantai oleh bangsa Mongol.

Ketimbang digambarkan sebagai seorang pembantai manusia, Genghis Khan akan lebih tepat digambarkan sebagai penghancur suatu kota. Dalam strategi perangnya, Genghis Khan dilaporkan seringkali menghancurkan suatu kota untuk memancing rasa takut kota-kota lainnya, atau untuk balas dendam.

Selain itu, dalam sebuah upaya massif dan sangat sukses untuk membentuk kembali aliran perdagangan di seluruh Eurasia, dia menghancurkan kota-kota di rute yang kurang penting, atau yang sulit diakses. Hal ini dia lakukan agar pasukannya dapat lebih mudah untuk mengawasi dan mengontrol arus perdagangan. Untuk menghentikan arus perdagangan melalui suatu daerah, Genghis Khan akan menghancurkan kota-kota tersebut hingga ke fondasinya. Sehingga kota itu menjadi kota mati.

Selain penghancuran secara terorganisir terhadap beberapa kota, Genghis Khan juga dilaporkan telah menghancurkan sistem irigasi suatu kota agar penduduknya pergi dari sana. Tanpa irigasi, penduduk desa dan petani akan pergi, dan ladang-ladang pertanian dapat kembali menjadi lahan penggembalaan. Dengan terciptanya area besar untuk penggembalaan, maka ini akan menjadi aset yang sangat berharga bagi pasukan Mongol untuk penyerangan di masa depan.

Hal seperti ini pernah dilakukan oleh Genghis Khan sebelumnya ketika dia usai menyerang China Utara. Sebelum pulang ke Mongolia, pasukannya menghancurkan terlebih dahulu sejumlah besar lahan pertanian di sana. Ketika usai berperang, Genghis Khan selalu mempersiapkan area besar penggembalaan yang terbuka dan luas untuk pasukan besar dan kuda-kudanya yang sangat bergantung terhadap padang rumput. Seluruh pasukan Mongol adalah pasukan berkuda, dan kuda adalah salah satu kunci sukses keberhasilan penyerangan bangsa Mongol ke manapun mereka pergi.

Demikianlah kisah tentang penaklukkan bangsa Mongol ke Asia Tengah. Setelah empat tahun memimpin perang di Asia Tengah yang dimulai pada tahun 1219 dan kembali ke Mongolia pada tahun 1223, usia Genghis Khan telah mencapai 60-an. Pada waktu itu dia telah berada di puncak kekuasaannya, tanpa saingan dari dalam sukunya sendiri maupun ancaman musuh dari luar. [4]  

Wilayah kekuasaan Mongol pada tahun 1223. Pada era modern wilayah ini mencakup Mongolia, Kyrgyzstan, Tajikistan, China Utara, Siberia, Uzbekistan, Afghanistan, dan Kazakhstan. Sumber: Frederica Paul/Slide Share

Di kemudian hari, selama berabad-abad para keturunan Genghis Khan akan menjadi penguasa di Asia Tengah. Misalnya saja di Bukhara, selama sekitar tujuh ratus tahun dari sejak tahun 1220 hingga 1920, sebelum datangnya Uni Soviet, para keturunan Genghis Khan telah memerintah sebagai khan dan amir di kota Bukhara. Mereka telah menjadi salah satu dinasti keluarga terpanjang dalam sejarah.[5]

Kita akan tarik mundur alur cerita tentang bangsa Mongol sebelum kematian Sultan Jalal ad-Din Mingburnu pada tahun 1231, yang mana menandai berakhirnya Kesultanan Khwarizmia, kerajaan terbesar di Asia Tengah, oleh bangsa Mongol. Sebab, pada tahun 1231, Genghis Khan dan anak-anaknya sudah tidak lagi berada di Asia Tengah, mereka telah kembali ke Mongolia dari sejak sekitar tahun 1223.

Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, sejarawan asal persia dari abad ke-13, mengatakan, bahwa dia tergesa-gesa pulang karena mendengar kabar bahwa orang-orang suku Khitan dan Tangut, yang dulu telah menyatakan setia atau ditaklukkan, karena diuntungkan oleh ketidakhadirannya, telah menjadi gelisah dan goyah di antara ketertundukkan atau pemberontakan.[6]

Di luar segala kesuksesan yang Genghis Khan raih di medan pertempuran di Asia Tengah, sebenarnya banyak peristiwa di baliknya yang terjadi baik sebelum maupun sesudahnya, yakni rivalitas di antara anak-anaknya sendiri dalam memperebutkan kekuasaan, yang mana nantinya ini akan menentukan sejarah Bangsa Mongol selanjutnya. Kisah ini akan diceritakan dalam artikel selanjutnya. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 5.

[2] Peter Jackson, The Mongols and The Islamic World (Yale University Press, 2017), hlm 71.

[3] Jack Weatherford, Loc.Cit.

[4] Ibid.

[5] Op.Cit., Chapter 1.

[6] Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, Tarīkh-i Jahān-gushā, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John Andrew Boyle, The History of The World-Conqueror: Vol 1 (Harvard University Press Cambridge, 1958), hlm 139.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*