Mozaik Peradaban Islam

Islam di Kuba (2): Keberagamaan di Kuba

in Lifestyle

Last updated on June 7th, 2019 09:38 am


Setelah revolusi, Fidel Castro menerapkan kebijakan yang sangat keras terhadap agama. Dia menasionalisasi seluruh sekolah parokial dan membuat para pendeta dan biarawati terusir dari negara tersebut.

Fidel Castro muda dengan cerutu Kubanya yang terkenal. Foto: Public Domain

Berdasarkan data dari Encyclopædia Britannica, pada tahun 2005, mayoritas penduduk Kuba, atau hampir 50 persen dari populasinya adalah penganut Katolik Roma, setidaknya dihitung secara nominal yang tercatat, karena pada praktiknya terdapat banyak keyakinan-keyakinan lain yang bercampur-baur. Meski demikian, orang-orang yang mempraktikkan Katolik Roma sebelumnya hanya sedikit. Minat terhadap Katolik Roma baru mulai meningkat kembali pada akhir tahun 1990-an.

Di luar itu, terdapat juga penganut Protestan, populasinya sedikit, namun ia tumbuh dengan cepat. Sementara itu, ada juga penganut Yahudi dan Muslim, namun jumlah mereka lebih sedikit lagi.

Sebelum terjadi revolusi pada tahun 1959 yang dipimpin oleh Fidel Castro, Katolik Roma adalah agama yang dominan, namun agama itu berasimilasi dengan Santeria (agama tradisional Afrika yang dibawa oleh budak-budak ke Kuba), dan di daerah pedesaan, ia hanya memiliki pengaruh yang sedikit.

Pada awal tahun 1960-an pemerintahan revolusioner Fidel Castro dengan organisasi-organisasi keagamaan setempat saling bertentangan secara terbuka. Waktu itu, negara dituduh anti-religius karena telah melaksanakan kebijakan nasionalisasi terhadap seluruh sekolah parokial. Sementara itu, negara sendiri menuduh gereja-gereja, dengan pengikutnya yang sangat banyak, sebagai pihak yang anti dengan revolusi.

Sementara itu, terhadap para penganut Santeria, pemerintah Kuba tidak ditemukan telah melakukan pembatasan yang terlalu besar, mungkin karena agama ini bersifat apolitis, dan, organisasinya juga hanya terdiri dari kelompok-kelompok yang kecil, tidak seperti Katolik Roma yang memiliki jemaat yang begitu besar.

Pada periode tersebut, sekitar 70 persen pendeta Katolik Roma, 90 persen biarawati, beberapa pendeta Protestan, dan semua rabi meninggalkan negara itu atau dideportasi. Pemerintah lalu menghapus Natal dari daftar hari libur nasional pada tahun 1969. Pada tahun 1976, melalui konstitusi, pemerintah menjamin kebebasan beragama secara terbatas. Meski demikian, mereka menyatakan bahwa materialisme ilmiah adalah dasar negara dan merupakan sistem pendidikan nasional.

Memasuki pertengahan tahun 1980-an, kelompok-kelompok agama dan pemerintah mulai menjajaki proses pemulihan hubungan. Pada tahun 1992, konstitusi diamandemen dan konsep materialisme ilmiah dihilangkan, sehingga memungkinkan bagi orang-orang Katolik Roma untuk dapat bergabung dengan Partai Komunis Kuba.

Sebagai akibatnya, semakin banyak orang Kuba yang berpartisipasi dalam ritual-ritual utama Katolik, seperti pembaptisan dan acara-acara persekutuan. Namun pemerintah tetap menolak untuk mengeluarkan izin pendirian gereja, melarang para pengikutnya untuk bergabung dalam dinas militer, dan memantau dengan ketat setiap kegiatan keagamaan.[1]

Dengan perubahan besar ini, Kuba yang sebelumnya oleh media dijuluki sebagai negara “tidak ber-Tuhan” (Godless), ingin mengubah citranya, Castro mulai menggambarkan Kuba sebagai negara sekuler ketimbang sebagai negara ateis. Masuk ke tahun 1996, Paus John Paul II, pemimpin Gereja Katolik di Vatikan, mengundang Fidel Castro dan menjamunya di Vatikan. Pertemuan mereka menandakan era baru dalam hubungan antara Gereja dan Kuba.[2]

Pertemuan tersebut membuahkan hasil, Castro semakin melunak. Hingga pada tahun 1997, sebagai persiapan kunjungan Paus John Paul II ke Kuba untuk tahun berikutnya, negara memulihkan Natal sebagai hari libur nasional.[3] Pada Januari 1998, Paus John Paul II benar-benar datang ke Kuba, kedatangannya sekali lagi membuat negara kepulauan kecil ini – setelah peristiwa krisis nuklir dengan Amerika Serikat pada tahun 1962 –[4] menjadi pusat perhatian dunia.[5]

Paus John Paul II bersama Fidel Castro melihat jam dalam acara seremoni penyambutan dirinya di Havana, Cuba, pada 21 Januari 1998.

Di Kuba, Paus John Paul II, berbicara kepada puluhan ribu orang yang berkumpul untuk misa terbuka di Santiago, kota kelahiran Presiden Fidel Castro. Dalam pidatonya, Paus menyampaikan pidato politiknya yang paling frontal, dia menyerukan tentang kebebasan berekspresi dan berserikat.

“Kebaikan suatu bangsa harus dipromosikan dan dicapai oleh warganya sendiri,” ujarnya. Dia menambahkan, “Dengan cara ini, setiap orang, menikmati kebebasan berekspresi, … dan menikmati kebebasan berserikat yang tepat, akan dapat bekerja sama secara efektif dalam mengejar kebaikan bersama.”

Paus juga mengatakan, bahwa kebebasan sejati adalah, “Termasuk pengakuan hak asasi manusia dan keadilan sosial.” Dan sementara Paus mengatakan bahwa gereja tidak pernah mencari kekuasaan politik apapun, namun menurutnya gereja tetap membutuhkan, “Kebebasan yang memadai dan kelapangan maksud,” dalam upaya untuk menyebarkan pesan-pesannya.[6]

Peristiwa ini disambut dengan gegap gempita oleh para penganut Katolik Roma di Kuba. Banyak pengamat menilai, tidak hanya bagi Katolik Roma, bahwa ini adalah sebuah awal baru bagi kebangkitan agama-agama Kuba.[7] Dan bisa jadi, termasuk Islam di dalamnya.

Castro meninggal pada tahun 2016 pada usia 90 tahun. Uniknya, meski pernah dikenal keras terhadap agama, nyatanya, sepanjang hidupnya dia pernah bertemu dengan tiga orang Paus, yakni John Paul II, Benedict XVI, dan Francis. Dan ketiganya memiliki hubungan yang baik dengan Castro.[8] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Franklin W. Knight dan Sandra H. Levinson, “Cuba”, dari laman https://www.britannica.com/place/Cuba, diakses 4 Juni 2019.

[2] The New York Time, “Pope John Paul II’s Visit To Cuba”, dari laman https://archive.nytimes.com/www.nytimes.com/library/world/cuba-pope-index.html, diakses 4 Juni 2019.

[3] Franklin W. Knight dan Sandra H. Levinson, Loc.Cit.

[4] Lebih lengkap tentang peristiwa ini lihat History, “Cuban Missile Crisis”, dari laman https://www.history.com/topics/cold-war/cuban-missile-crisis, diakses 4 Juni 2019.

[5] The New York Time, Loc.Cit.

[6] CNN, “Pope urges freedom of expression in Cuba”, dari laman http://edition.cnn.com/WORLD/9801/24/pope.cuba.update/, diakses 4 Juni 2019.

[7] The New York Time, Loc.Cit.

[8] Elise Harris, “Fidel Castro, communist leader who met three Popes, dies at 90”, dari laman https://www.catholicnewsagency.com/news/fidel-castro-communist-leader-who-met-three-popes-dies-at-90-49772, diakses 4 Juni 2019.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*