Setiap orang yang memandang al-mushtafa akan merasakan kesejukan membungkus tubuhnya. Seperti oase di panasnya gurun sahara. Setiap mata berkaca-kaca membendung butiran air mata, pecah, ketika lisan melantunkan pujian untuknya. Juntaian syair tercipta untuk mengenang manusia sempurna. Setiap hati bergetar, luluh lantak merindukan sosoknya. Ada selipan lantunan shalawat dalam rongga tenggorokan setiap manusia. Ada salam terkasih mereka pada petilasan kuburnya.
Oleh: Khairul Imam
Staf Pengajar di Pesantren Ibnu Sina Yogyakarta
Diangkatnya Muhammad sebagai nabi dan rasul tentu tidak lepas dari suatu misi besar, antara lain melanjutkan misi monoteisme Ibrahim dan reformasi moral. Kedua misi ini tidak berjalan dengan baik-baik saja, melainkan mengalami berbagai kendala dan tantangan yang besar dari masyarakat Makkah dan sekitarnya. Demikian pula peristiwa turunnya Alquran di Gua Hira tidaklah menjadikan Muhammad langsung begitu saja diterima, tetapi justru perjalanan sejarahnya semakin terjal dan rumit. Dia pun harus menapakinya hanya dengan beberapa orang sebagai pendukung.
Pada babak-babak awal film The Message (1976), kita telah disuguhi gambaran berhala dan pengagungannya. Namun, semakin tampak setelah Ja’far bin Abi Thalib (Neville Jason) membawa lembaran yang berisi surat At-Takwir ayat 1-14. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang kondisi Hari Kiamat lengkap dengan kengeriannya. “Apabila matahari digulung; dan apabila bintang-bintang berjatuhan; dan apabila gunung-gunung dihancurkan; dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak diperdulikan); dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan; dan apabila lautan dijadikan meluap; dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh); dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya; karena dosa apakah dia dibunuh; dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka; dan apabila langit dilenyapkan; dan apabila neraka Jahim dinyalakan; dan apabila surga didekatkan; Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya.”
At-Takwir berarti menggulung, suatu gambaran Hari Kiamat yang Mahadahsyat. Menariknya, ada satu hal yang seakan menyimpang dari gambaran kehancuran alam kepada satu pertanyaan: “dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya; karena dosa Apakah Dia dibunuh;.” Dalam hal ini Ibnu Abbas menjelaskan, para bapak akan ditanya atas atas dosa apakah bayi-bayi perempuan (al-mau`udah) dibunuh dengan cara dikubur hidup-hidup.[1]
Ini pula yang menjadi topik pembicaraan antara Ammar bin Yasir (Garrick Hagon) dan kedua orang tuanya setelah kepulangannya dengan mengendap-endap. Saat itu, dia disapa ayahnya, Yasir (Ewen Solon), yang menjelaskan tentang kekhawatiran ibunya. Ketika Yasir menarik tubuh Ammar, tanpa sengaja dia menjatuhkan berhala kecil, dan pecah. Secara reflek Yasir pun mengambilnya dan memohonkan ampun untuk putranya yang telah memecahkannya. Kedua orang tua Ammar masih meyakini berhala itu sebagai dewa yang telah membantu sepanjang hidup mereka.
Sementara itu, Ammar yang telah mendengar dan meyakini dakwah tauhid Muhammad menegaskan seraya berkata, “Akan tetapi, tuhan itu tak bisa membantu dirinya sendiri. Tuhan yang sejati dapat melihat, meski kita tak bisa melihatnya. (Lihat QS. Al-An’am [6]: 103). Dia bukan terbuat dari tanah liat.” Ibunya, Somayya (Rosalie Crutchley), menimpalinya, “Apa yang kau katakan? Ammar, kita melihat tuhan di Kabah setiap hari, dan aku sangat mengkhawatirkanmu. Engkau pun tahu orang-orang akan melukaimu.”
“Aku hanya mendengar Muhammad, Bu.” Tegas Ammar. Begitu mendengar nama Muhammad disebut, ingatan Yasir kembali kepada sosok yang murah hati dan pribadi yang tidak berpapasan dengan orang lain tanpa senyum. Semua orang mengakui kejujuran dan kedermawanannya. Namun, lagi-lagi Yasir masih kukuh tidak ingin hanya karena sifat terpuji Muhammad dia menyinggung tuhan berhala itu.
Senyampang Ammar mempertanyakan, “Tuhan yang mana? inikah yang disebut tuhan yang membiarkan seseorang mati kelaparan. Yang kaya membebani yang miskin, menindas yang lemah; dan menganggap penguburan bayi perempuan yang baru lahir tanpa alasan sebagai perbuatan baik. Apakah ini yang disebut Tuhan? Yang melarang perempuan untuk memilih suami. Para perempuan tidak boleh dipaksa menikah. Mereka berhak memilih pasangannya.” Mendengar jawaban itu, Somaya pun kembali mengenang masa lalunya yang hampir tak pernah bertemu dengan Yasir, dan tak akan pernah melahirkan Ammar. “Ketika aku akan dikubur seperti dua saudara perempuanku, ayahku tak lagi sanggup melakukannya. Dia tidak bisa melakukannya untuk ketiga kalinya karena ingat saat-saat mengubur dua orang kakakku. Ketika itu, ayahku meletakkan pasir di atasnya, lalu mengangkat jarinya sebagaimana bayi melakukannya, dia menghisap jari ayahku. Sebelum pegangan lembut itu sedikit mereda, dia sudah menarik kembali tangannya, dan menguburnya hidup-hidup. Kemudian saat aku lahir, ayahku tak tega melihatku, lalu sambil menangis dia berkata kepada ibuku, ‘pegangannya begitu lembut.’ Aku pikir juga sangat lembut. Inilah kelemahan ayahku yang menyelamatkan hidupku.”
***
Satu momen kemanusiaan yang memilukan dalam perbincangan keluarga Yasir tersebut. Setidaknya cukup menggugah diskusi kita tentang tradisi penyembahan berhala dan diskriminasi perempuan pada masa jahiliah. Dan kehadiran Muhammad secara perlahan tapi pasti menghapuskan kedua macam tradisi “dungu” yang telah mengakar, bahkan ratusan tahun lamanya. Sikap Yasir terhadap berhala sesembahan di satu sisi cukup memberikan ilustrasi bagaimana masyarakat Arab Jahiliah mengagungkan sesembahannya.
Masyarakat Arab jahiliah menempatkan berhala sebagai sesuatu yang utama dalam kehidupannya. Bahkan kebanyakan mereka mempunyai patung-patung dan berhala-berhala di dalam rumah masing-masing. Husein Haikal memberikan keterangan bahwa setiap kabilah mempunyai patung sendiri sebagai poros sesembahan. Masing-masing berhala memiliki tingkat dan derajat yang berlainan, seperti shanam (patung), watsan (berhala) dan nushub. Shanam adalah berhala dalam bentuk manusia yang terbuat dari logam atau kayu. Watsan dibuat dari batu yang diyakini berasal dari langit, meski sebenarnya agak mirip batu kawah. Sedangkan nushub merupakan batu karang tanpa bentuk tertentu.
Berhala-berhala terbaik biasanya berasal dari Yaman. Karena saat itu belum ada peradaban di tempat lain yang lebih maju dari Yaman. Minimnya informasi tentang berhala ini membuat kita sulit melacak ragam dan bentuk berhala, kecuali tentang Hubal yang dibuat dari batu akik dalam bentuk manusia. Lengannya pernah rusak dan diganti dengan lengan emas oleh orang Quraisy. Hubal adalah dewa orang Arab yang paling besar, dan diletakkan di dalam Kabah di Makkah. Semua orang berdatangan dari penjuru Jazirah untuk berziarah ke tempat itu.[2]
Hubal adalah berhala besar yang dibawa dari Syam oleh Amr bin Luhay, seorang tokoh besar zaman jahiliah yang disegani. Ketika itu, dia melihat orang-orang Syam, tempat di mana rasul dan kitab suci diturunkan di sini, menyembah berhala dan menganggapnya sebagai perilaku yang benar. Hubal pun diletakkan di Makkah. Sementara itu, Manat dianggap sebagai berhala tertua. Berhala ini ditempatkan di Musyallal, satu tempat di tepi laut merah yang tidak jauh dari Qudaid. Pada akhirnya mereka pun membuat berhala-berhala lainnya, seperti Latta yang ditempatkan di Thaif dan Uzza di Wadi Nakhlah. Dari sinilah penyembahan berhala semakin massif dan semarak di seluruh wialayah Hijaz dengan dibanjirinya wilayah tersebut dengan berhala-berhal kecil.[3]
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Lihat Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzzabadi, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas (Indonesia: Dar Ihya al-‘Arabiyyah), hlm. 382
[2] Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah. cet. Ke-34 (Jakarta: Litera Antrnusa, 2007), hlm. 19
[3] Shafiyur Rahman al-Mubarakfury, Ar-Rakhiq al-Makhtum (tt: Maktabah an-Nur al-Islamy, tt), hlm. 25-26