Hassan bin Tsabit menggubah syair untuk Hamzah: “Seorang warga Hasyim mencapai yang cemerlang / Tampil ke medan laga membela kebenaran / Gugur sebagai syahid di medan pertempuran / Di tangan Wahsyi pembunuh bayaran.”
Setelah wafatnya Hamzah bin Abdul Muthalib, para sahabat kemudian berlomba-lomba menggubah syair untuk mengenang jasa-jasanya. Berkatalah Hassan bin Tsabit, penyair ternama pada masa itu, dalam kasidahnya yang panjang:
Tinggalkan masa lalu yang penuh berhala
Ikuti jejak Hamzah yang bergelimang dengan pahala
Penunggang kuda di medan laga
Bagaikan singa terluka di hutan belantara
Seorang warga Hasyim mencapai yang cemerlang
Tampil ke medan laga membela kebenaran
Gugur sebagai syahid di medan pertempuran
Di tangan Wahsyi pembunuh bayaran.[1]
Atau dalam versi lain, syair dari Hassan bin Tsabit bunyinya:
Tinggalkan rumah yang bekasnya telah punah
Menangislah untuk Hamzah pemilik kemuliaan
Penggerak kuda manakala dia tidak bergerak
Layaknya singa di hutan, seorang ksatria pemberani
Putih di puncak kemuliaan dari Bani Hasyim
Tidak menolak kebenaran dengan kebatilan.[2]
Kemudian ada juga Abdullah bin Rawahah, yang terkenal sebagai pembuat syair-syair indah tentang Islam, menggubah:
Air mata mengalir tak ada hentinya
Walau ratap dan tangis tak ada artinya
Bagimu wahai singa Allah kami tafakur
Sambil bertanya Hamzah kah yang gugur?
Ujian telah menimpa kami hamba Allah
Begitu pula Muhammad Rasulullah
Dengan kepergianmu benteng musuh berantakan
Dengan kepergianmu tercapailah tujuan.[3]
Dan terakhir adalah gubahan dari adik perempuan Hamzah, Shafiyyah binti Abdul Muthalib:
Ilahi Rabbi pemilik ‘Arsy telah memanggilnya datang
ke dalam surga tempat hidup bersengang-senang
Memang itulah yang kita tunggu dan selalu harapkan
Hingga di Yaumul Mashyar Hamzah beroleh tempat yang lapang
Demi Allah, selama angin barat berhembus aku tak kan lupa
baik di waktu bermukim maupun bepergian ke mana saja
Selalu berkabung dan menangisi singa Allah sang pemuka
pembela Islam dari setiap orang kafir angkara
Sementara aku mengucapkan syair, keluargaku sama berdoa
Semoga Allah memberimu balasan, wahai saudara, wahai pembela.[4]
Atau dalam versi lain, syair dari Shafiyyah berbunyi:
Rabb Yang Maha Benar pemilik ‘Arsy memanggilnya sekali
ke surga di sana dia akan hidup dengan kebahagiaan
Itulah yang kami harapkan dan kami idam-idamkan
Untuk Hamzah di Hari Kebangkitan sebaik-baik tempat kembali
Demi Allah, aku tidak melupakanmu selama angin Shiba berhembus
Aku menangis dan bersedih untukmu ketika aku tinggal atau bepergian
Untuk singa Allah di mana dia adalah seorang pemuka yang mulia
Membela agama lslam melawan setiap orang kafir
Aku berkata dan keluargaku telah mengumumkan berita kematiannya
Semoga Allah membalas saudaraku dan pelindungku sebaik-baiknya.[5] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, diterjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 211.
[2] Syaikh Mahmud al-Mishri, Ashabur Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Tim Editor Pustaka Ibnu Katsir dengan judul Sahabat-Sahabat Rasulullah: Jilid 2 (Pustaka Ibnu Katsir, 2010), hlm 291.
[3] Khalid Muhammad Khalid, Loc.Cit.
[4] Ibid., hlm 212.
[5] Syaikh Mahmud al-Mishri, Op.Cit., hlm 292.