“Damaskus adalah ibu kota kedua bagi kekaisaran Mamluk. Dengan populasi manusianya yang berjumlah sekitar 100.000 orang, Damaskus menjadi pusat rute perdagangan internasional yang menghubungkan wilayah Mesir dan Persia, dan Asia Kecil dan Laut Hitam. Selain perdagangan, Damaskus juga merupakan pusat keilmuan. Di sana Ibnu Bathuthah sempat hadir dalam pengajian Ibnu Taimiyah”
–O–
Setelah dari Yerusalem Ibnu Bathuthah berangkat menuju Damaskus (salah satu kota di Suriah). Perdagangan adalah tulang punggung kehidupan Kekaisaran Mamluk, dan kārwānsarāī (dari bahasa Persia, yang berarti semacam ‘hotel’ untuk pelancong kafilah) dibangun untuk para pedagang di Suriah untuk mendorong perdagangan. Dalam setiap kārwānsarāī terdapat 360 penginapan yang dibangun di atas gudang dan cukup untuk menampung 4000 orang dalam sekali waktu. Ibnu Bathuthah akan menginap di tempat-tempat seperti ini yang dibangun di sepanjang jalur perdagangan utama.[1]
Damaskus adalah ibu kota kedua bagi kekaisaran Mamluk, sehingga mereka menerapkan aturan yang cukup ketat demi keberlangsungan dinasti. Pemerintah Mamluk mengorganisir kafilah yang membawa peziarah dan pedagang di sepanjang jalan negara di Suriah. Mereka memeriksa paspor, mengenakan pajak kepada para pedagang, dan mengawasi dengan ketat siapa yang masuk dan keluar dari wilayah mereka. Hal tersebut dapat dipahami, karena pada waktu itu di daerah tersebut berdiri juga dinasti-dinasti besar lainnya yang mengancam setiap saat.[2]
Artikel terkait:
- Shajarat al-Durr: Pendiri Dinasti Mamluk
- Pembantaian di Benteng Kairo (1): Titik Nol Sejarah Mesir Modern
- Invasi Mongol ke Baghdad 1258 M (3)
Tentara Mamluk melindungi kekaisaran dan terus menjaga jalur perdagangan dan rute ziarah agar tetap kondusif. Salah satu metode untuk mencari “penyusup” adalah setiap malam di salah satu rute, tentara penunggang kuda akan menyeret karpet atau tikar untuk menghaluskan jalan. Keesokan paginya mereka akan mencari jejak di atas pasir tersebut, dan apabila sampai tertangkap, maka pelaku penyusupan akan dihukum dengan berat.[3]
Pada saat Ibnu Bathuthah tiba di Damaskus, Damaskus merupakan pusat pasar perdagangan internasional. Populasi manusianya berjumlah sekitar 100.000 orang. Damaskus adalah pusat rute perdagangan yang menghubungkan wilayah Mesir dan Persia, dan Asia Kecil dan Laut Hitam. Selain perdagangan, Damaskus juga merupakan pusat keilmuan. Di sana terdapat sebuah masjid yang bernama Masjid Umayyah (atau Masjid Agung) yang dibangun pada abad ke-8. Masjid tersebut terkenal sebagai pusat studi bagi para pelajar dari seluruh dunia Muslim.[4]
Catatan tambahan mengenai sejarah, Damaskus dulunya merupakan ibu kota bagi kekaisaran Umayyah, yaitu dinasti pertama dalam Islam yang didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan. Abu Sofyan sendiri, ayah Muawiyah, sebelumnya adalah penentang keras Nabi Muhammad. Orang-orang Islam berkali-kali berseteru dengan Abu Sofyan dan kawan-kawannya. Hingga akhirnya Islam sudah cukup kuat, dalam peristiwa penaklukkan Mekkah oleh Nabi Muhammad SAW, Abu Sofyan beserta keluarganya menyatakan bertobat dan masuk Islam.[5]
Artikel terkait:
Bertemu Ibnu Taimiyah
Taqi ad-Din Ibnu Taimiyah, atau lebih terkenal dengan sebutan Ibnu Taimiyah, di masa itu adalah ulama yang sangat ternama di Damaskus. Orang-orang Damaskus sangat mengidolakannya, setiap kali dia membuat pengajian, orang berduyun-duyun datang untuk menyaksikannya. Ibnu Bathuthah pada waktu itu berkesempatan untuk bertemu dengannya, atau lebih tepatnya menyaksikannya, karena mereka tidak bertemu secara khusus. Ibnu Bathuthah hanya salah seorang peserta yang hadir dalam acara pengajian yang diselenggarakan oleh Ibnu Taimiyah.[6]
Terhadap Ibnu Taimiyah, Ibnu Bathuthah mempunyai penilaian, “seseorang dengan kemampuan hebat dan pembelajaran yang luas, namun dengan beberapa keruwetan di otaknya.” Sebelumnya Ibnu Taimiyah pernah ditangkap dan dipenjarakan beberapa tahun oleh pemerintah karena membuat pernyataan yang menyinggung ulama lain. Di penjara, Ibnu Taimiyah mengarang sebuah tafsir Al-Quran sepanjang empat puluh jilid.[7]
Pada saat Ibnu Bathuthah hadir dalam acara pengajian, di tengah-tengah pengajian Ibnu Taimiyah membuat sebuah pernyataan, “sesungguhnya Allah turun dari langit ke bumi kita dengan bentuk yang sama dengan tubuhku.” Salah seorang ulama (madzhab) Maliki yang hadir pada waktu itu tidak setuju dan mendebatnya. Orang-orang pendukung Ibnu Taimiyah kemudian bangkit dan marah, memukuli ulama Maliki tersebut dengan tangan dan sepatu sampai-sampai sorban dan penutup kepala sutranya terjatuh.[8]
Artikel terkait:
Ulama Maliki tersebut kemudian atas dasar keputusan hakim Hanbali dipenjarakan, dan di penjara dia dipukuli kembali. Ulama-ulama lainnya tidak setuju atas kejadian itu dan membuat pengaduan ke Sultan, dan di waktu yang sama mereka juga mengajukan tuntutan hukum atas pernyataan-pernyataan Ibnu Taimiyah yang dianggap seringkali menyesatkan. Ujugnya adalah Sultan memerintahkan Ibnu Taimiyah untuk dipenjarakan, dan kali ini Ibnu Taimiyah sampai akhir hayatnya tetap di dalam penjara.[9] (PH)
Bersambung ke:
Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (5): Ziarah ke Makam Suci Nabi Muhammad
Sebelumnya:
Ibnu Bathuthah, Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa (3): Yerusalem
Catatan Kaki:
[1] Nick Bartel, “The Travels of Ibn Battuta, In Cairo: 1326”, dari laman https://orias.berkeley.edu/resources-teachers/travels-ibn-battuta/journey/cairo-1326, diakses 22 Januari 2018.
[2] Nick Bartel, “The Travels of Ibn Battuta, Cairo to Jerusalem, Damascus, Medina, and Mecca: 1326”, dari laman https://orias.berkeley.edu/resources-teachers/travels-ibn-battuta/journey/cairo-jerusalem-damascus-medina-and-mecca-1326, diakses 23 Januari 2018.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Lebih lengkap tentang perjalanan kenabian, lihat Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001).
[6] Ibn Battuta, Travels In Asia And Africa 1325-1354, (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, Broadway House, Carter Lane; 1929), diterjemahkan dari bahasa Arab ke Inggris oleh H.A.R Gibb, hlm 67.
[7] Ibid.
[8] Ibid., hlm 67-68.
[9] Ibid., hlm 68.