Mozaik Peradaban Islam

Al-Jahiz (3): Perjalanan Karir

in Tokoh

Last updated on July 1st, 2021 01:36 pm

Khalifah al-Mamun sangat tertarik kepada al-Jahiz dan dia memintanya untuk menjadi guru bagi anak-anaknya. Namun begitu melihat mata al-Jahiz, anak-anak khalifah itu begitu ketakutan.

Ilustrasi wajah al-Jahiz. Foto: Ilustrasi karya Digby Lidstone

Sebagai seorang pemuda, al-Jahiz menulis risalah pertamanya tentang sifat kekhalifahan. Ibunda al-Jahiz, setelah menyadari bakat putranya, konon memberinya nampan penuh buku catatan dan mengatakan kepadanya bahwa dia akan mencari nafkah dari menulis buku.

Di antara sekitar 200 buku dan risalah yang ditulis al-Jahiz adalah tentang dongeng yang isinya penuh dengan karakter-karakter hewan; satire-satire yang memparodikan orang kaya dan terkenal; dan berbagai materi ilmiah tentang segala hal, mulai dari seni retorika hingga zoologi.

Selain itu, dia juga menulis polemik tentang politik dan agama dan sejumlah karya berpengaruh tentang bahasa Arab di bidang tata bahasa, linguistik, dan etimologi.

Dengan munculnya tradisi sastra baru dalam bahasa Arab, tidak lama kemudian praktik kritik sastra terus berkembang. Sebagaimana dapat dilihat dalam karya-karya tulis tulisan tangan al-Jahiz, dia memang unggul di dalam dunia ini.

Meskipun hanya tinggal tersisa 30 bukunya yang dapat bertahan hingga hari ini, dari sana dapat dilihat bahwa al-Jahiz memiliki sudut pandang minat yang cakupannya luas, dan, dia memang ahli di bidang tulis-menulis.

Al-Jahiz pindah ke Baghdad pada tahun 816 ketika dia berusia 40 tahun. Kabar tentang bakat al-Jahiz dalam dunia keilmuan dan tulis menulis segera sampai ke telinga Khalifah al-Mamun, yang pada waktu itu juga seorang pemuda yang masih berusia 30 tahun.

Pada saat itu, al-Mamun sedang mengembangkan pusat buku-buku dan pembelajaran di Zaman Keemasan Islam. Tempat itu dikenal dengan sebutan Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan), yang didirikan ayahnya—almarhum Khalifah Harun al-Rasyid—beberapa tahun sebelumnya.

Al-Mamun, sebagaimana ayahnya, terdorong untuk menghabiskan biaya secara besar-besaran untuk menerjemahkan manuskrip-manuskrip Yunani dan Persia. Dan untuk urusan ini, dia memperkerjakan sarjana-sarjana terbaik pada saat itu. Al-Jahiz adalah salah satunya. Maka Sang Khalifah segera memanggil pemuda yang karirnya sedang bersinar itu ke istana.

Khalifah sangat tertarik untuk bertemu dan berbicara dengan al-Jahiz, dia menginginkannya untuk menjadi guru pribadi bagi anak-anaknya—suatu kehormatan dan posisi yang tidak dapat ditolak oleh seorang sarjana manapun.

Hal ini bukan hanya akan berdampak kepada timbulnya citra yang baik bagi reputasi profesional al-Jahiz, tapi juga akan sangat menguntungkannya secara finansial. Artinya, al-Jahiz akan mendapatkan uang yang begitu banyak.

Sayangnya, jika Sang Khalifah begitu terkesan dengan pemuda terpelajar dari Basrah ini, lain halnya dengan anak-anaknya yang ketakutan melihat mata melotot al-Jahiz. Al-Mamun mungkin adalah orang yang paling berkuasa di tanah Arab, tetapi dalam hal mempekerjakan guru untuk lingkungan istana, anak-anaknya adalah pemilik otoritas tertinggi.

Al-Jahiz pada akhirnya batal menerima posisi terhormat tersebut. Dan sejak saat itu, karena ada peristiwa anak-anak khalifah yang takut kepadanya, julukan “Si Mata Melotot” terus melekat kepada dirinya.[1]

Meski demikian, reputasi profesional al-Jahiz semakin bersinar dalam setiap tahunnya. Dari sini dia menjadi begitu terkenal dan mendapatkan kekayaan yang luar biasa. Ketenarannya dalam dunia sastra ini membuatnya menjadi sastrawan yang paling dicari pada zamannya.[2]

Tidak Menikah

Meski telah mendapatkan ketenaran dan kekayaan sedemikian rupa, sepanjang hidupnya yang berusia panjang al-Jahiz terus melajang, dia tidak menikah baik karena pekerjaannya yang sibuk, ataupun tidak ada wanita yang mau menerimanya.

Tentang wanita, al-Jahiz pernah berkata, “Tidak ada yang membuatku malu selain dua orang wanita.”

Berikut ini adalah kisah al-Jahiz dengan salah satunya. Al-Jahiz menceritakan:

Seorang wanita datang kepadaku di mana aku sedang duduk di ambang pintu rumahku, dan dia berkata kepadaku, “Aku membutuhkanmu untuk suatu hal dan aku ingin engkau berjalan bersamaku.”

Aku bangkit dan pergi bersamanya, dia membawaku kepada seorang pandai emas Yahudi, dan dia berkata kepadanya, “Seperti ini!” dan dia pergi.

Aku bertanya kepada pandai emas itu apa maksudnya.

Dia berkata, “Dia membawakan aku sebuah batu dan memerintahkanku untuk mengukir untuknya gambar setan di atasnya. Aku berkata kepadanya, ‘Nona, aku tidak pernah melihat setan!’ Jadilah dia membawamu.”[3] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan kaki:


[1] Dalam versi lain, kisah ini bukan terjadi pada masa Khalifah al-Mamun, melainkan pada masa Khalifah al-Mutawakkil. Lihat I. M. N. Al-Jubouri, Islamic Thought: From Mohammed to September 11, 2001 (Xlibris Corporation: US, 2010), hlm 153.

[2] Eamonn Gearon, The History and Achievements of the Islamic Golden Age (The Great Courses: Virginia, 2017), hlm 32-34.

[3] I. M. N. Al-Jubouri, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*