Menjelang kematiannya Ammar berkata, “Maju terus, Hasyim! Surga berada di bawah bayang-bayang pedang dan kematian berada di ujung tombak. Hari ini aku akan bertemu dengan yang tercinta, Muhammad dan pengikutnya.”
Dalam artikel kali ini penulis akan menyampaikan sebuah riwayat tentang syahidnya Ammar bin Yasir RA, masih diriwayatkan oleh Abu Abdurrahman al-Sulami seperti dalam seri sebelumnya, namun kali ini dari jalur periwayat yang berbeda dan isinya lebih detail, menyangkut peristiwa dan situasi yang berkembang setelahnya.
Al-Tabari dalam Tarikh al-Rusul wa al-Muluk menyampaikan sebuah riwayat dari al-Amash. Al-Amash berkata:
Abu Abdurrahman al-Sulami meriwayatkan:
Kami bersama (berada di pihak) Ali (bin Abi Thalib) di Shiffin dan kami telah menugaskan dua orang untuk (berdiri di samping) kuda Ammar (bin Yasir) untuk menjaganya (Ali) dan mencegahnya agar tidak diserang.
Tetapi, setiap kali mereka (para penjaga Ali) lengah sejenak, dia (Ali) sendiri akan melakukan serangan dan tidak kembali sampai dia mewarnai pedangnya (dengan darah).
Dan mana kala dia melakukan serangan dia tidak akan kembali sampai pedangnya rusak berubah bentuk. Dia melemparkannya ke arah mereka, berkata, “Jika bukan karena rusak, aku tidak akan kembali.”
(Al-Amash berkata, “Demi Allah, itu adalah serangan dari seseorang yang melampaui keraguan,” dan Abu Abdurrahman menganggapi, “Orang-orang yang berada di sana mendengar sesuatu dan menceritakannya kembali, dan mereka bukan pembohong!”)
Abu Abdurrahman kemudian melanjutkan:
Aku melihat bahwa setiap kali Ammar pergi ke salah satu wadi (sungai kering di padang pasir yang hanya terisi air jika hujan turun-pen) Shiffin para Sahabat (Nabi) Muhammad yang ada di sana mengikutinya.
Dan aku melihatnya menuju ke arah Mirqal, Hasyim bin Utbah yang menjadi pembawa Panji Ali, dan berkata, “Hasyim, yang bermata satu dan seorang pengecut! Tidak ada kebaikan pada seorang pria bermata satu yang tidak terjun ke medan perang.
“Dan lalu, bagaimana jika seseorang dari kedua belah pihak berkata, ‘Demi Allah, yang ini meninggalkan Imam-nya, meninggalkan pasukannya, dan enggan berjuang?’ Majulah, Hasyim!”
Hasyim mengendarai (kudanya) dan maju, mengucapkan (bait syair):
Seorang pria bermata satu yang mencari lawan yang tangguh
sudah menyibukkan dirinya dengan kehidupan sampai akhirnya bosan dengan itu semua.
Haruskah dia menaklukkan atau ditaklukkan?
Dan Ammar berkata, “Maju terus, Hasyim! Surga berada di bawah bayang-bayang pedang dan kematian berada di ujung tombak. Gerbang surga telah dibuka, dan para gadis (di Surga) telah menghiasi diri mereka sendiri. Hari ini aku akan bertemu dengan yang tercinta, Muhammad dan pengikutnya.” Tidak ada yang kembali, dan keduanya terbunuh.
(Abu Abdurrahman berkomentar, “Kata-kata ‘para sahabat Nabi yang ada di sana’ menerangkan kepadamu, al-Amash, tentang mereka berdua, bahwa mereka telah membedakan diri mereka sebagai orang yang pemberani [sehingga membuat para sahabat lain mengikuti mereka seolah-olah mereka berdua adalah Panji Ali itu sendiri—lihatlah tentang riwayat ini pada seri sebelumnya-pen].)
Dia (Abu Abdurrahman) kemudian melanjutkan:
Dan ketika malam harinya aku berkata, “Aku akan pergi ke (perkemahan) musuh untuk mencari tahu apakah berita tentang pembunuhan Ammar telah mempengaruhi mereka sebagaimana itu telah mempengaruhi kami,” karena, ketika kita berhenti berperang (dalam setiap harinya), mereka biasa berbicara dengan kami dan kami dengan mereka.
(Jika melihat riwayat-riwayat lain sebelumnya mengenai Perang Shiffin, karena ini adalah perang saudara di antara sesama Muslim, seringkali mereka digambarkan telah mengenal satu sama lain sebelumnya.
(Menyimak perkataan Abu Abdurrahman di atas, tentang berbicara satu sama lain di antara pihak yang sedang berperang, kemungkinan maksudnya adalah kedua belah pihak sepakat untuk tidak saling menyerang di malam hari dan mereka dapat bercakap-cakap selayaknya teman, meskipun besoknya mereka akan berperang kembali-pen.)
Jadilah aku mengendarai kudaku — pada awal malam — dan kemudian aku pergi ke perkemahan mereka. Aku menemukan empat pria sedang berkumpul melingkar. Muawiyah, Abu al-Awar al-Sulami, Amr bin al-Ash, dan Abdallah bin Amr, yang merupakan orang-orang yang terbaik di antara mereka. Aku menggiring kudaku ke sekitar mereka, khawatir bahwa aku akan melewatkan apa yang dikatakan salah satu peserta diskusi.
Abdallah berkata kepada ayahnya (Amr bin al-Ash), “Ayah, apakah engkau telah membunuh orang ini (Ammar bin Yasir) dalam pertempuranmu hari ini, meskipun Rasulullah telah mengatakan apa yang beliau sabdakan tentang dia?”
Amr bertanya tentang apa itu, dan putranya berkata, “Apakah engkau tidak bersama kami ketika kami sedang membangun masjid (di Madinah) dan semua orang memindahkan batu demi batu dan bata demi bata, sementara Ammar membawa dua batu dan dua bata sekaligus?
“Upaya itu menyebabkannya pingsan, dan Rasulullah datang kepadanya dan mulai menyeka debu dari wajahnya, berkata, ‘Kasihan sekali dirimu, Ibnu Sumayyah! Orang-orang mengangkut batu demi batu dan bata demi bata, sementara engkau memindahkan dua batu dan dua bata dalam satu waktu, (demi) mengharapkan pahala. Meskipun begitu, para kelompok pemberontak lah yang akan membunuhmu. Kasihan sekali dirimu.’.”
Amr mendorong kuda Abdallah pergi dan menarik Muawiyah ke arahnya. Dia berkata, “Muawiyah, apakah engkau tidak mendengar apa yang dikatakan Abdallah?” Muawiyah bertanya apa itu, dan Amr menyampaikan kisahnya.
Muawiyah berkata, “Engkau orang tua yang bodoh. Engkau terus menceritakan kisahnya sementara itu merugikanmu. Apakah kita yang membunuh Ammar? Hanya merekalah (yang membunuhnya) yang telah mengajaknya ke sini.”
Dan orang-orang keluar dari tenda dan bivak mereka, mengatakan, “Hanya merekalah (pihak Ali) yang mengajak Ammar yang telah membunuhnya.” Aku tidak tahu siapa yang lebih aneh – dia (Muawiyah) atau mereka (para pengikutnya).[1] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Al-Ṭabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 17, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh G.R. Hawting (State University of New York Press: New York, 1996), hlm 67-69.