Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (14): Berpisah dengan Jamuka

in Sejarah

Last updated on February 25th, 2019 01:53 pm


Popularitas Temujin meningkat pesat di antara pengikut Jamuka. Jamuka memberi isyarat agar Temujin yang bukan berdarah murni, untuk pergi. Kelak, hubungan mereka akan menjadi permusuhan paling pahit dalam sejarah bangsa Mongol.

Patung lilin Jamuka di Museum Genghis Khan, Mongolia. Photo: CeeGee/Wikimedia

Selama Temujin menjadi bagian dari kelompok Jamuka, maka dia akan dianggap sebagai kerabat jauh bertulang hitam yang berdarah campuran. Sementara itu Jamuka posisinya tetap kokoh sebagai keturunan dari tulang putih, yang dianggap berdarah murni. Hanya jika Temujin membentuk kelompoknya sendiri dan menempatkan dirinya sendiri dan garis keturunannya di pusat barulah dia bisa membangun sebuah opini bahwa dia bertulang putih.

Bulan demi bulan berlalu Temujin dan kelompok kecilnya hidup di bawah kepemimpinan Jamuka. Namun Jamuka, ketimbang memperlakukan Temujin sebagaimana layaknya seorang anda yang saling menghormati dalam tingkat kesetaraan tertentu, mulai memperlakukan Temujin lebih seperti seorang adik laki-laki. Dalam tradisi Mongol, seorang kakak laki-laki tertua mempunyai hak dominasi total terhadap adik-adiknya. Jamuka sangat menekankan bahwa dia merupakan keturunan dari anak laki-laki tertua dari leluhur mereka yang sama. Sebagaimana sudah terjadi dalam lingkaran keluarga kecilnya sebelumnya, Temujin bukan tipe orang yang dapat diperlakukan sebagai inferior, dan segera situasi ini terbukti tidak dapat diterima olehnya.

Dokumen Sejarah Rahasia Bangsa Mongol menceritakan bahwa pada pertengahan Mei tahun 1181, Jamuka memerintahkan untuk membongkar perkemahan musim dingin agar mereka semua dapat pindah ke wilayah padang rumput yang lebih jauh dalam rangka menyambut datangnya musim panas. Pada awalnya Jamuka dan Temujin berkuda bersama seperti biasanya di bagian depan barisan panjang pengikut dan hewan ternak mereka. Namun pada hari itu Jamuka memutuskan bahwa dia tidak lagi mau berbagi posisi kepemimpinannya dengan Temujin. Mungkin Jamuka telah menyadari bahwa Temujin terbukti sangat populer di hadapan para anggota kelompoknya, atau mungkin Jamuka sudah bosan dengan kehadirannya.[1]

Jamuka berkata kepada Temujin, “Saudaraku Temujin, mari kita berkemah di dekat gunung. Akan ada cukup tempat berlindung bagi para penggembala kuda kita! Mari kita berkemah di dekat sungai. Akan ada cukup makanan untuk penggembala dan dombanya!”

Temujin tidak dapat memahami kata-kata Jamuka ini dan memilih untuk tetap diam. Tertinggal di belakang Jamuka, dia menunggu gerobak yang berada di tengah-tengah barisan datang, di mana Hoelun, ibunya, dan Borte, istrinya, berada.

Temujin kemudian berkata kepada Hoelun, “Jamuka berkata, ‘Mari kita berkemah di dekat gunung. Akan ada cukup tempat berlindung bagi para penggembala kuda kita! Mari kita berkemah di dekat sungai. Akan ada cukup makanan untuk penggembala dan dombanya!’ ‘Aku tidak dapat memahami maksud kata-katanya ini, jadi aku tidak memberinya jawaban dan memutuskan untuk bertanya kepadamu, ibu.”

Sebelum Hoelun menjawab, Borte berkata, “Jamuka, demikian kata mereka, mudah bosan dengan teman-temannya. Sekarang saatnya telah tiba ketika dia sudah bosan dengan kita. Kata-kata Jamuka tadi adalah isyarat untuk kita. Janganlah kita berkemah, mumpung kita sedang bergerak, mari kita berpisah sepenuhnya darinya dan melangkah lebih jauh, kita pergi pada malam hari!” semuanya setuju dengan pendapat Borte.[2]

Jamuka kali ini melalui kata-katanya telah memberi isyarat bahwa dia merupakan pemilik tulang putih berdarah murni dan Temujin tidak lebih hanya merupakan seseorang berdarah campuran yang bertulang hitam dan tidak berhak untuk menyandang status yang sama dengannya.

Masih pada hari itu, ketika Jamuka berhenti untuk mendirikan kemah dan beristirahat untuk malam itu, Temujin dan rombongan kecilnya melarikan diri secara diam-diam dan terus bergerak sepanjang malam untuk memperlebar jarak sejauh mungkin dengan Jamuka. Mereka bertindak demikian karena khawatir tiba-tiba Jamuka memutuskan untuk mengejar dan memburu mereka. Entah karena telah direncanakan atau pilihan spontan, banyak pengikut Jamuka yang memilih untuk ikut melarikan diri dengan Temujin, dan tentu saja, sambil membawa hewan-hewan ternak mereka. Atas pelarian ini, Jamuka membiarkannya.

Perpisahan di antara dua pemuda pada malam musim panas awal tahun 1181 itu di kemudian hari berkembang menjadi dua dekade peperangan ketika Temujin dan Jamuka sama-sama naik peringkat menjadi prajurit Mongol terkemuka. Hubungan persaudaraan di antara mereka telah berubah menjadi permusuhan yang paling pahit. Setelah berpisah dengan Jamuka, pada usianya yang ke 19 tahun, Temujin tampaknya telah bertekad untuk memimpin kelompoknya sendiri. Temujin menarik sebanyak mungkin pengikut dan membangun basis kekuatannya sendiri. Dia bertujuan untuk menjadi seorang khan yang dapat memimpin dan menyatukan suku Mongol yang sulit untuk diatur.

Dalam usaha untuk mewujudkan mimpinya itu, pesaing utamanya adalah Jamuka, dan permusuhan mereka secara bertahap akan menyeret seluruh orang Mongol jatuh ke dalam perang saudara. Kedua rival ini akan menghabiskan seperempat abad berikutnya untuk saling menjarah hewan dan wanita masing-masing, menyerang dan membunuh pengikut satu sama lain, dan berjuang untuk menentukan siapa di antara mereka yang paling layak untuk memerintah seluruh orang Mongol.[3] (PH)

Bersambung ke:

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (15): Temujin Khan

Sebelumnya:

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (13): Jamuka

Catatan Kaki:


[1] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 2.

[2] Igor de Rachewiltz, The Secret History of the Mongols: A Mongolian Epic Chronicle of the Thirteenth Century (Western Washington University, 2015), hlm 42-43.

[3] Jack Weatherford, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*