Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (28): Kekaisaran Mongol (1)

in Sejarah

Last updated on March 12th, 2019 02:22 pm


Diktum Genghis Khan: “Masalah di dalam tenda harus diselesaikan di dalam tenda, dan masalah padang rumput harus diselesaikan di padang rumput.” Artinya, masalah pribadi diselesaikan sendiri, masalah umum berurusan dengan hukum.

Sebagian besar pemimpin atau raja, tumbuh dan berkembang bersama institusi-institusi atau badan-badan yang berada di sekelilingnya, setidaknya itulah istilah yang digunakan dalam konteks negara modern. Pencapaian mereka biasanya melibatkan reorganisasi atau revitalisasi institusi-institusi semacam itu. Tidak terkecuali dengan Genghis Khan, bagaimanapun, dia secara sadar bergerak untuk menciptakan negara dengan institusi-institusi penunjangnya.

Institusi Militer

Konsep pembentukan institusi sebagian dia adopsi dari suku-suku sebelumnya, dan sebagiannya lagi, hasil penemuannya sendiri. Agar negara-bangsa barunya ini dapat bertahan, dia perlu membangun institusi yang kuat. Dan bagi Genghis Khan, ini semua harus dimulai dari pengelolaan pasukan militernya yang telah membawanya ke kekuasaan. Dia harus membawa mereka menjadi lebih kuat dan terpusat dalam komando pemerintahan.

Di bawah Genghis Khan, orang-orang yang tadinya penggembala sapi atau kambing, atau bahkan peternak unta dapat maju untuk menjadi seorang jenderal berkuda yang memimpin 1.000 atau sampai 10.000 prajurit, asalkan dia memiliki kemampuan. Setiap laki-laki yang sehat, mulai dari usia 15 hingga 70 tahun adalah anggota wajib militer. Seperti yang Genghis Khan lakukan sewaktu pertama kalinya dia menjadi khan bagi suku kecil, dia menunjuk pengikutnya yang paling setia untuk menjadi kepala batalion (atau Mingan dalam bahasa Mongol) yang jumlah pasukannya adalah 1.000 prajurit berikut struktur petugas penunjangnya. Dalam hal ini, sebagai contohnya, Boorchu, salah satu pengikutnya yang paling awal, diberi tugas untuk menjadi kepala divisi (atau Tumen dalam bahasa Mongol)  yang jumlah pasukannya 10.000 prajurit.

Dia memberikan kepercayaan kepada seseorang bukan berdasarkan garis keturunan. Orang-orang di posisi tertinggi ini malahan berasal dari keturunan tulang hitam (istilah orang Mongol bagi para keturunan yang bukan bangsawan), namun mereka merupakan orang-orang yang berprestasi dan telah membuktikan kesetiaannya kepada Genghis Khan baik di dalam maupun di luar medan perang.

Dibandingkan kepercayaan yang dia berikan kepada teman-teman setianya, dia memberikan lebih sedikit untuk keluarganya sendiri. Ibunya, adik laki-lakinya, dan dua putra bungsungnya, yakni Ogodei dan Tolui, masing-masing hanya diberikan kepercayaan untuk memimpin 5.000 orang. Sementara itu untuk Jochi, putra pertamanya, dan Chagatai, putra keduanya, masing-masing mendapatkan 8.000 dan 9.000 orang. Jumlah ini bahkan tidak mencapai satu Tumen sekalipun.

Genghis Khan bahkan menugaskan beberapa temannya yang terpercaya untuk mengawasi beberapa anggota keluarganya dalam memimpin, terutama bagi ibunya, adik bungsunya, dan Chagatai. Dia menjelaskan betapa perlunya pengawasan seperti itu, untuk Chagatai misalnya, dia mengatakan bahwa putra keduanya itu “keras kepala dan picik, pikirannya sempit.” Dia memperingatkan teman-temannya untuk menjadi penasihat bagi Chagatai, “Tetap di sisinya dari pagi hingga malam untuk menasihatinya,” ujar Genghis Khan.[1]

Hukum Agung Genghis Khan

Untuk menjaga perdamaian suku-suku besar dan beragam etnis yang kini dia tempa untuk menjadi satu bangsa, dia dengan cepat mengumumkan undang-undang baru yang berfungsi untuk menekan penyebab tradisional permusuhan dan perang antar suku. Hukum Agung yang dibuat oleh Genghis Khan berbeda dari hukum-hukum lainnya dalam sejarah masyarakat padang rumput. Dia tidak mendasarkan hukumnya kepada sesuatu yang bersifat ilahiah/keagamaan, dan dia juga tidak mengadopsinya dari hukum-hukum lama dari peradaban sebelumnya.

Genghis Khan mengonsolidasikan adat dan tradisi suku-suku penggembala yang telah bertahan selama berabad-abad, namun dia menghapuskan praktik lama yang dapat menghambat perkembangan peradaban barunya yang sedang dia bangun. Dia mengizinkan setiap kelompok masyarakat untuk melaksanakan hukum tradisional di daerah mereka masing-masing, asalkan tidak bertentangan dengan Hukum Agung, yang berfungsi sebagai hukum tertinggi atau hukum umum yang berlaku bagi semua orang.

Akan tetapi, sayangnya Hukum Agung tersebut pada saat ini belum mewakili kodifikasi hukum tunggal yang dapat memenuhi kebutuhan pengaturan kehidupan berbangsa seutuhnya. Hukum Agung terus dia kembangkan sepanjang dua dekade sisa hidupnya. Hukum Agung Genghis Khan belum dapat menampung pengaturan semua aspek kehidupan sehari-hari, alih-alih, dia menggunakannya untuk mengatur aspek yang paling bermasalah, yakni tradisi menculik wanita.

Masyarakat padang rumput memiliki tradisi lama culik-menculik wanita untuk dijadikan istri, dan selama tradisi ini bertahan, maka akan selalu ada permusuhan di antara suku-suku. Hukum baru pertama Genghis Khan dilaporkan isinya adalah tentang pelarangan penculikan wanita, yang mana hampir pasti merupakan reaksi atas pengalaman pribadinya ketika Borte, istrinya, diculik dulu. Kasus penculikan yang sudah terjadi sangat lama itu bahkan masih mengganggu keharmonisan keluarganya sendiri dalam sebuah ketidakpastian, apakah Jochi, anak sulungnya dari Borte, merupakan anaknya sendiri, atau anak dari si penculik. Masalah ini bahkan menjadi semakin besar seiring dengan terus menuanya Genghis Khan.

Bersamaan dengan berakhirnya penculikan terhadap wanita, dia juga melarang praktik penawanan dan perbudakan bagi siapapun. Ini juga masih pengalaman pribadinya, sewaktu kecil Genghis Khan pernah ditangkap dan diperbudak oleh klan Tayichiud. Dia memahami penderitaan seseorang ketika diperbudak, namun tidak sebatas sampai di sana, Genghis Khan memiliki visi lain yang lebih jauh ke depan, dia tahu bahwa perbudakan merugikan bagi seluruh tatanan kehidupan sosial masyarakat padang rumput karena selalu menyisakan dendam dan siklus kekerasan yang tiada henti.

Genghis Khan berusaha untuk menghapus setiap sumber pertikaian internal di dalam jajaran pengikutnya. Berdasarkan pengalamannya sendiri atas gangguan yang melingkupi pertanyaan tentang keabsahan anak-anak, dia menyatakan bahwa semua anak sah, terlepas apakah dia dilahirkan dari seorang istri atau selir. Hal lainnya, dia melarang seorang perempuan dijual untuk pernikahan, dia menilai bahwa perempuan tidak dapat diperlakukan seolah-olah dia adalah seekor unta, dan hal itu juga dapat memicu pertikaian di antara para laki-laki.

Untuk alasan yang sama, Genghis Khan juga melarang praktik seks bebas. Meskipun definisi seks bebas bagi orang Mongol pada waktu itu sangat berbeda dengan masa kini pada umumnya. Seks bebas tidak termasuk hubungan seksual antara seorang wanita dengan kerabat dekat suaminya, atau antara pria dengan pelayan wanita, atau antara pria dengan istri orang lain yang suaminya masih berada di lingkungan keluarganya. Sesuai dengan diktum Genghis Khan yang mengatakan bahwa “masalah di dalam tenda harus diselesaikan di dalam tenda, dan masalah padang rumput harus diselesaikan di padang rumput,” yang dimaksud dengan seks bebas adalah hubungan seksual antara orang yang sudah menikah dengan seseorang dari rumah tangga yang lain. Selama tidak menyebabkan perselisihan publik di dalam lingkungan keluarga, maka itu tidak dianggap sebagai kejahatan.[2] (PH)

Bersambung ke:

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (29): Kekaisaran Mongol (2)

Sebelumnya:

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (27): Genghis Khan

Catatan Kaki:


[1] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 3.

[2] Ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*