Dalam pelarian, Temujin dan sembilan belas orang pengikutnya mengikat sumpah setia. Uniknya, delapan belas orang di antara mereka bukan suku Mongol, dan secara keagamaan mereka adalah tiga Muslim, beberapa Kristen, dan beberapa Buddha. Inilah yang menjadi cikal bakal dasar persatuan Kekaisaran Mongol.
Selama beberapa hari Temujin dan beberapa orang pengikutnya terus melarikan diri tanpa perbekalan yang memadai. Kelelahan, mereka memutuskan untuk berhenti di bagian terjauh tepi Danau Baljuna yang berlumpur. Temujin kemudian memperhatikan orang-orangnya untuk mencari tahu berapa yang selamat di antara mereka. Setelah menghitung anak buahnya, ternyata hanya tinggal sembilan belas orang yang tersisa, dan kini mereka tengah menghadapi bahaya kelaparan di tanah yang terpencil ini.
Ketika mereka beristirahat untuk memulihkan diri di sekitar perairan Danau Baljuna sambil memikirkan langkah apa selanjutnya yang mesti dilakukan, tiba-tiba seekor kuda liar muncul dari arah utara. Khasar, adik laki-laki Temujin yang kuat, segera bergegas untuk memburu kuda tersebut, dan dia dengan cepat dapat menangkapnya. Orang-orang itu kemudian dengan tergesa-gesa segera membunuh dan menguliti kuda tersebut. Tanpa kayu bakar untuk memanggang atau kuali untuk merebus, mereka menggunakan teknik kuno untuk memasak dagingnya.
Setelah menguliti dan memotong-motong dagingnya, mereka membuat semacam kantung dari kulit kuda itu untuk menaruh air dan daging. Mereka kemudian mengumpulkan kotoran hewan kering untuk bahan bakar. Kantung kulit tersebut tidak bisa langsung diletakkan di atas api karena nanti ia akan habis terbakar. Sebagai gantinya mereka membakar batu-batu sampai panas menyala. Batu-batu itu kemudian dimasukan ke dalam kantung kulit yang di dalamnya sudah ada air dan daging. Dengan batu-batu itu air menjadi panas, namun tidak membuat kantung menjadi rusak dan bolong. Setelah beberapa jam, orang-orang yang kelaparan tersebut memakan daging kuda yang telah direbus.
Selain Khasar, orang-orang yang ikut lari bersama Temujin sekarang adalah teman-temannya, bukan kerabatnya. Beberapa kerabatnya hilang atau tertinggal dalam pelarian ini, sementara itu beberapa kerabat lainnya ada yang berkhianat dan bergabung dengan Ong Khan atau Jamuka. Salah satunya adalah pamannya, dia adalah salah satu dari dua saudara laki-laki Yesugei, ayah Temujin, yang telah membantu menculik Hoelun, Ibu Temujin, dari orang-orang Merkid dulu. Pamannya ini telah bergabung dengan Ong Khan untuk melawan keponakannya sendiri.
Sebagai penghiburan atau untuk membangun optimisme, para laki-laki yang kelelahan ini mencoba menafsirkan bahwa datangnya kuda liar yang kemudian menjadi santapan mereka itu merupakan pemberian dari sesuatu yang Agung, bukan sekedar makanan untuk perut kosong mereka. Dalam dunia Mongol, kuda adalah hewan yang paling penting dan dihormati. Bagi mereka, kedatangan kuda itu merupakan sebuah tanda dukungan dan intervensi dari sesuatu yang Agung. Dalam tradisi Mongol, kuda seringkali dijadikan korban sebelum dimulainya pertempuran besar atau khuriltai. Bukan hanya untuk membuat kenyang pasukan, tapi itu juga diyakini sebagai pembangkit semangat dalam pertempuran. Begitu pula dalam momen pelarian ini, dengan datangnya kuda liar itu, mereka menganggap bahwa ini merupakan lambang kekuatan takdir Temujin.
Setelah selesai makan, mereka meminum air berlumpur Danau Baljuna. Temujin Khan kemudian mengangkat satu tangannya ke langit, dan sementara satu tangan lainnya mengangkat air Baljuna. Dia mengajak para pengikutnya untuk melakukan hal serupa. Dia kemudian berterima kasih kepada mereka karena telah setia kepadanya, dan dia bersumpah tidak akan pernah melupakan mereka. Para pengikutnya kemudian ikut minum air berlumpur dan bersumpah setia kepadanya. Dalam sejarah lisan yang diturunkan secara temurun di antara Bangsa Mongol, peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Perjanjian Baljuna. Peristiwa ini menggambarkan titik terendah dalam imperium yang sedang dibangun oleh Temujin namun sekaligus sebagai penanda awal dari identitas dan bentuk Kekaisaran Mongol.
Peristiwa ini merupakan representasi simbolis dari keberagaman bangsa Mongol berdasarkan komitmen dan kesetiaan yang melampaui batas-batas kekerabatan, etnis, dan agama. Kesembilan belas orang-orang ini berasal dari sembilan suku yang berbeda, mungkin hanya Temujin dan adiknya, Khasar, yang berasal dari klan Mongol. Sementara itu yang lainnya di antaranya berasal suku Merkid, Khitan, dan Kereyid. Secara keagamaan, mereka juga beragam, jika Temujin adalah seorang shamanis taat yang menyembah Langit Biru Abadi dan Gunung Dewa Burkhan Khaldun, yang lainnya adalah tiga Muslim, beberapa Kristen, dan beberapa Buddha.[1]
Keterangan latar belakang yang beragam dari orang-orang dalam peristiwa Perjanjian Baljuna memang tidak ditemukan dalam dokumen autentik bangsa Mongol yang disebut dengan Sejarah Rahasia Bangsa Mongol,[2] namun sebagaimana telah dijelaskan di atas, cerita ini didapat dari sejarah lisan yang disampaikan secara turun-temurun di antara orang-orang Mongol. Namun beberapa sejarawan Mongol kontemporer membenarkan peristiwa ini beserta keragaman orang-orang di dalamnya, mereka di antaranya adalah Jack Weatherford, Amy Chua, dan Thomas Jefferson Barfield.[3]
Orang-orang ini bersatu dalam sebuah pengabdian kepada Temujin Khan dan komitmen mereka kepada satu sama lain. Sumpah dalam Perjanjian Baljuna telah menciptakan kebersamaan yang melampaui kekerabatan, etnis, dan agama. Tindakan mereka hampir mirip dengan konsep kewarganegaraan dalam sebuah negara modern yang berdasarkan pilihan dan komitmen pribadi. Ikatan di antara mereka di kemudian hari akan menjadi metafora sistem kemasyarakatan baru di antara pengikut Temujin yang pada akhirnya menjadi dasar persatuan dalam Kekaisaran Mongol.[4] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 3.
[2] Lihat Igor de Rachewiltz, The Secret History of the Mongols: A Mongolian Epic Chronicle of the Thirteenth Century (Western Washington University, 2015).
[3] Lihat Jack Weatherford, Loc.Cit; Amy Chua, Day of Empire: How Hyperpowers Rise to Global Dominance — and Why They Fall (Doubleday, 2007), hlm 95; dan Thomas Jefferson Barfield, The Perilous Frontier: Nomadic Empires and China (Basil Blackwell, 1989), hlm 190-191.
[4] Jack Weatherford, Loc.Cit.