Kekhalifahan Abbasiyah selama berabad-abad telah mencoba menaklukkan masyarakat penggembala padang rumput di Asia Dalam, namun mereka tidak pernah berhasil.
Pada tahun 1219, dengan segenap pencapaian militer dan komersial yang telah diraihnya, usia Genghis Khan sudah hampir mendekati 60 tahun. Sejarawan Persia, Juvaini, menggambarkan situasi yang sedang dinikmati oleh Genghis Khan, “Dia telah meraih kedamaian dan ketenangan sepenuhnya, keamanan dan ketenteraman, serta telah mencapai puncak kemakmuran dan kesejahteraan.” Lebih lanjut Juvaini menggambarkan, bahwa jalan-jalan di seluruh Mongolia aman dari segala macam gangguan. Dengan menjadi jalur perlintasan bagi para pedagang, mulai dari ujung paling barat hingga ke ujung paling timur, Mongolia kini memiliki pendapatan dan keuntungan yang pasti.[1]
Pada saat itu, seluruh suku di padang rumput Mongolia telah ditaklukkan oleh Genghis Khan. Mereka semua telah tunduk terhadap pemerintahan Kekaisaran Mongol, dan seluruh wilayah telah dibersihkan dari pemberontak. Untuk menjaga kemanan, Genghis Khan mendirikan satuan keamanan yang disebut dengan qaraqchi. Tugas mereka adalah untuk memastikan keamanan di seluruh jalur perlintasan Mongolia dan memberikan yasa (jaminan keamanan) kepada para pedagang yang melintas. Sementara itu, sebagai timbal balik, para pedagang mesti memberikan hadiah apapun yang sekiranya pantas untuk diberikan kepada Genghis Khan. Para pedagang, terutama pemiliknya, harus menyerahkannya langsung kepada Genghis Khan.[2]
Sementara itu, di luar aktivitas kenegaraan, dengan telah melimpahnya kekayaan bagi rakyatnya, Genghis Khan lebih suka untuk menghabiskan waktu bersama keluarganya, atau mengurus kuda-kudanya. Namun masih pada tahun yang sama, situasi yang tenang dan damai tersebut tiba-tiba berbalik sepenuhnya. Untuk pertama kalinya, bangsa Mongol akan menyerang ke wilayah bangsa Muslim dengan kekuatan penuh. Mereka datang bagaikan badai dan membumihanguskan wilayah Kesultanan Khwarizmia di barat, yang mana baik penguasa maupun rakyatnya adalah sama-sama Muslim.[3] Sebelum menjelaskan apa yang menjadi penyebabnya, tulisan ini akan membahas terlebih dahulu latar belakang Dunia Islam di wilayah padang rumput pada saat itu.
Khalifah vs Penggembala
Sebelum pasukan Mongol menyerang wilayah Islam pada tahun 1219, orang-orang Islam sebenarnya telah memiliki interaksi selama lima abad sebelumnya, atau lebih, dengan orang-orang yang berada di wilayah padang rumput yang membentang dari Manchuria ke Hongaria, dan dari zona hutan di Siberia hingga lebih jauh ke utara.
Wilayah padang rumput, mulai dari tanah berpasir atau berkerikil di timur, hingga padang rumput subur yang dialiri oleh sungai-sungai besar Ukraina di barat, adalah rumah bagi para suku-suku penggembala nomaden. Mereka adalah penggembala sapi, domba, kambing, unta, dan terutama kuda. Mereka tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, selama hidupnya mereka terbiasa terus berpindah-pindah. Ketika musim panas mereka akan diam di padang rumput di dataran tinggi, dan ketika musim dingin mereka akan turun ke lembah-lembah yang bersungai.
Pada saat pasukan kekhalifahan Islam melintasi wilayah Kaukasus pada pertengahan abad ke-7 dan pertama kalinya melintasi Oxus menuju ke Transoxiana pada awal abad ke-8, suku-suku nomaden yang melakukan perlawanan terhadap mereka sebagian besar adalah orang-orang Turk, yakni suku-suku yang berbahasa Altai, mereka mencakup orang-orang Turki, Azerbaijan, Kazakh, Kirgistan, Uighur, Uzbekistan, dan Tatar. Dari sejak tahun 650, orang-orang ini telah mendirikan Kekaisaran Turk Barat (Khagan Turk) yang kekuasaannya membentang dari padang rumput Pontic hingga ke Asia Tengah.
Sementara itu, di sebelah utara Kaukasus dan Laut Kaspia, kekuatan besar mereka adalah Kekaisaran Khazar (Khagan Khazar), yang berdiri sekitar tahun 625-965. Kekaisaran ini secara resmi mengadopsi Yudaisme sebagai agama negara, dan pada satu titik tertentu sebelum tahun 850, mereka secara efektif melakukan perlawanan terhadap ekspansi Muslim ke wilayah ini.
Namun di sisi lain, kekhalifahan Islam dari sejak awal terus melakukan kemajuan yang siginifikan. Dengan kekuatan orang-orang Turk yang terpecah-pecah di wilayah Transoxiana – atau dalam bahasa Arab disebut Mā Warāʾ al-Nahr (wilayah ini mencakup Uzbekistan, sebagian Turkmenistan, Tajikistan, dan Kazakhstan pada masa kini),[4] pasukan Muslim berhasil menaklukkan wilayah ini dan membuat masyarakatnya memeluk Islam. Selain itu, pada tahun 751, pasukan Islam juga berhasil memenangkan pertempuran Talas melawan Dinasti Tang dari China.
Meski demikian, derap pasukan Muslim ke arah timur yang lebih jauh segera kehilangan momentumnya. Mereka kesulitan untuk melawan suku-suku padang rumput lainnya, misalnya ketika melawan pemerintahan suku Qarluq (pada tahun 766 suku ini menaklukkan bekas ibu kota Khagan Turk dan penguasanya mengambil gelar kaisar Khagan pada tahun 840) yang sangat gigih.
Memasuki abad ke-10, meski Transoxiana merupakan bagian dari wilayah Kekhalifahan Islam, namun pengaruh khalifah di sana semakin melemah. Persatuan seluruh umat Islam pada waktu itu hanya tinggal cerita di masa lalu. Kekhalifahan Abbasiyah (750–1258) yang berpusat di Baghdad, di sana hanya memiliki kekuasaan yang sifatnya formalitas saja.
Di provinsi-provinsi wilayah ini, Khalifah diwakili oleh para Amir, gelar yang diberikan oleh pemerintah pusat, pada awalnya fungsinya mirip dengan posisi gubernur di masa kini, terkecuali mereka juga memiliki kendali atas militer. Namun lama kelamaan, para amir yang berada di wilayah ini memiliki kekuasaan yang otonom, mereka bahkan sudah menjadi dinasti tersendiri.
Meski demikian, mereka tidak melepaskan ikatan formal mereka dengan Khalifah Abbasiyah di Baghdad. Sebagai bentuk penghormatan, mereka masih mencantumkan nama khalifah Abbasiyah pada mata uang mereka (sikka). Selain itu, pada khotbah Jumat, mereka masih menyebut dan memuji khalifah Abbasiyah sebagai pemimpin mereka.
Di antara dinasti-dinasti otonom ini, muncullah yang terkuat di antara mereka, yaitu Dinasti Samaniyah Iran (819-1005). Pada waktunya mereka akan memerintah mulai dari Khorasan hingga Transoxiana, dengan ibu kota mereka yang berada di Bukhara. Dinasti Samaniyah mendeklarasikan perang suci (ghaza atau jihad) terhadap suku-suku “kafir” Turk padang rumput tetangga mereka sebagai cara untuk menopang legitimasi mereka. Di bawah payung Dinasti Samaniyah lah, pada tahun-tahun terakhir abad ke-9, koloni-koloni Muslim didirikan di dalam wilayah orang-orang Pagan, dan posisi Muslim menjadi benar-benar kuat di sana.
Sementara itu, di sebelah utara dan timur wilayah kekuasaan Dinasti Samaniyah, itu tetap menjadi wilayahnya “orang-orang kafir” yang tidak dapat mereka taklukkan. Wilayah ini mereka sebut dengan istilah Dār al- Ḥarb, atau wilayah “zona perang”, karena antara Samaniyah dengan suku-suku padang rumput, tidak pernah bisa berdamai.
Sampai runtuhnya Dinasti Samaniyah, bahkan Dinasti Abbasiyah itu sendiri, wilayah ini tidak pernah menjadi wilayah Muslim. Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa wilayah Mongolia, hingga China dan seterusnya ke timur, tidak pernah menjadi wilayah kekuasaan kekhalifahan Islam, karena pengaruh kekuasaan Dinasti Islam berhenti sampai di sana.[5] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, Tarīkh-i Jahān-gushā, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John Andrew Boyle, The History of The World-Conqueror: Vol 1 (Harvard University Press Cambridge, 1958), hlm 77-78.
[2] Ibid.
[3] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 4.
[4] Encyclopaedia Britannica, “Transoxania”, dari laman https://www.britannica.com/place/Transoxania, diakses 1 April 2019.
[5] Peter Jackson, The Mongols and The Islamic World (Yale University Press, 2017), hlm 46-47.