Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (63): Jalal ad-Din Mingburnu, Sultan Terakhir Khwarizmia (3)

in Sejarah

Last updated on April 30th, 2019 03:04 pm


Jalal ad-Din bertarung seperti singa yang marah. Namun sia-sia, pasukan Mongol terlalu banyak. Dengan kudanya dia melompat dari atas tebing ke Sungai Indus. Melihat ini Genghis Khan berkata, “Seorang putra yang harus dimiliki seorang ayah.”

Pasukan Mongol dengan segera mengepung pasukan Jalal ad-Din Mingburnu dengan formasi setengah lingkaran. Dengan sungai berada di belakang Jalal ad-Din, mereka tidak bisa lari ke mana-mana lagi. Jalal ad-Din dan pasukannya tersudut, dia tidak memiliki pilihan lain selain bertempur. Untuk mengobarkan semangat juang pasukannya, Jalal ad-Din menghancurkan semua perahunya, sehingga, pasukannya mau tidak mau mesti bertarung, atau mati, karena sudah tidak ada pilihan lain untuk melarikan diri.

Jalal ad-Din memerintahkan bagian sayap pasukannya untuk maju ke depan, sementara dia sendiri memantau di bagian belakang dengan dijaga sekitar 5.000 pasukan pengawal pribadinya. Para pengungsi yang dia bawa, karena tidak memiliki kemampuan berperang, hanya berserakan di pinggir sungai. Pasukan Jalal ad-Din kalah jumlah dibandingkan dengan pasukan Genghis Khan. Untuk pertama kalinya di sepanjang karir militernya, Genghis Khan memiliki jumlah pasukan yang lebih banyak dibandingkan musuhnya.

Jalal ad-Din memperkirakan bahwa pasukan Mongol akan kelelahan karena baru saja menempuh perjalanan yang panjang dengan kecepatan yang sangat tinggi. Bagian sayap kiri pasukan Jalal ad-Din sangat kuat, mereka berhasil mendesak pasukan Mongol sehingga banyak dari mereka yang terjatuh ke bawah tebing. Melihat keunggulan ini harapan Jalal ad-Din meningkat.

Masalah Genghis Khan adalah medan tempur yang menyempit, sehingga mereka sulit untuk masuk ke area musuh, pasukan Mongol yang banyak terlalu berdesakkan. Dengan situasi seperti ini, mereka juga menjadi kesulitan untuk meluncurkan panah. Mau tidak mau, pertempuran harus dilakukan dengan jarak dekat, menggunakan pedang.

Dengan semakin naiknya matahari, pandangan menjadi semakin jelas. Genghis Khan lalu memerintahkan serangan lain yang diarahkan ke bagian sayap kanan pasukan Jalal ad-Din. Bagian sayap kanan pasukan Jalal ad-Din dapat didesak mundur, banyak di antara mereka yang tewas terbunuh. Secara simultan Genghis Khan lalu memerintahkan beberapa regu pasukannya untuk memanjat tebing yang berada di bagian belakang sayap kiri musuh.

Banyak nyawa pasukan Mongol yang melayang dalam proses pendakian tebing yang berbahaya ini. Meski demikian, pada akhirnya tindakan ini membuahkan hasil, banyak pasukan Mongol yang tiba dengan selamat dan mereka mulai menyerang bagian belakang sayap kiri musuh. Dalam waktu yang singkat, sayap kiri musuh tumbang juga. Kini tinggal pasukan tengah Jalal ad-Din yang tersisa. Genghis Khan memerintahkan agar Jalal ad-Din ditangkap hidup-hidup.[1]

Dari sisi Jalal ad-Din sendiri, dia berpikir saatnya telah tiba, saat dia mesti turun langsung untuk bertarung bersama pasukannya yang tersisa. Juvaini menggambarkan kejadian selanjutnya, “Dia bergerak cepat dari kanan ke kiri, dan dari kiri melesat menuju pasukan tengah Mongol. Dia menyerang lagi dan lagi, tetapi pasukan Mongol maju sedikit demi sedikit, menyisakannya lebih sedikit ruang untuk bermanuver, dan lebih sedikit ruang untuk melakukan pertempuran; tapi tetap saja dia terus bertarung seperti singa yang marah.”[2]

Jalal ad-Din dan sisa pasukannya terus bertarung sampai sore hari, namun dia segera menyadari bahwa itu semua sia-sia. Ibnu al-Athir, menggambarkan situasi Jalal ad-Din dengan pepatah lama, “Seperti kuda coklat kemerahan, jika dia mundur, dia akan terbunuh, dan jika dia maju, dia akan disembelih.” Pada titik ini Jalal ad-Din bersama sisa 700 orang pengawalnya yang kuat, dengan nekad menembus pasukan Mongol, mereka hendak melarikan diri ke sungai, mengabaikan para pengungsi yang ikut bersamanya.[3]

Karena Genghis Khan memerintahkan agar Jalal ad-Din ditangkap hidup-hidup, pasukan Mongol yang mencoba menangkapnya berhati-hati menggunakan panah dan tombak. Tapi Jalal ad-Din terlalu cepat bagi mereka, dia mengambil kuda baru yang masih bertenaga, menaikinya dan melaju dengan kecepatan penuh sambil menyerang prajurit Mongol yang menghalangi jalannya.[4]

Lukisan karya Banwarí Khúrd atau Dharm Dás yang menggambarkan pelarian Jalal ad-Din Mingburnu ke Sungai Indus. Lukisan dibuat antara tahun 1596-1600. Sumber: British Museum

Jalal ad-Din dan kudanya kemudian melompat ke bawah, terjun sedalam 20 meter dari atas tebing ke sungai Indus. Ketika muncul di permukaan air, dia mulai berenang menjauhi sisi sungai. Genghis Khan melarang pasukannya untuk memanah. Dengan kecepatan arus sungai yang mencapai 9 atau 10 meter per jam, dan dengan kedalaman sungai sekitar 50  meter, Jalal ad-Din dengan cepat terbawa arus menuju ke hilir. Ketika pasukan Mongol hendak melompat juga ke sungai untuk mengejarnya, Genghis Khan melarang mereka.[5]

Sambil menyaksikan pelarian Jalal ad-Din, Genghis Khan berulang kali berkata kepada anak-anaknya, berbicara tentang Jalal ad-Din,  “Seorang putra yang harus dimiliki seorang ayah.”[6]

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Frank McLynn, Genghis Khan: His Conquests, His Empire, His Legacy (Da Capo press, 2015), hlm 308-309.

[2] Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, Tarīkh-i Jahān-gushā, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John Andrew Boyle, The History of The World-Conqueror: Vol 1 (Harvard University Press Cambridge, 1958), hlm 134.

[3] Frank McLynn, Op.Cit., hlm 309.

[4] Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, Loc.Cit.

[5] Frank McLynn, Op.Cit., hlm Loc.Cit.

[6] Ala-ad-Din Ata-Malik Juvaini, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*