Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (7): Pembunuhan Begter

in Sejarah

Last updated on February 15th, 2019 03:09 pm

Temujin mengintai kakaknya dengan panah. Ketika sudah dekat, dia menembaknya tanpa ampun. Atas tindakannya, Temujin menjadi buronan bagi seluruh masyarakat padang rumput Mongolia.

Setelah bertengkar dengan ibu mereka, kedua bersaudara itu, Temujin dan Khasar melihat Begter sedang duduk diam di atas bukit kecil yang menghadap padang rumput. Mereka berdua mendekatinya dengan hati-hati di balik rerumputan yang tinggi. Mengintai. Temujin kemudian memberi perintah kepada Khasar, yang merupakan pemanah terbaik dalam keluarga, untuk berputar ke arah depan bukit, sementara dia sendiri naik dari sisi belakang. Mereka berdua merangkak naik ke arah Begter dengan tenang, seperti sedang berburu rusa yang tengah lengah.

Ketika mereka sudah berada dalam jarak tembak yang cukup dekat, dengan senyap masing-masing memasangkan panah pada busurnya, bersiap untuk menembak. Lalu tiba-tiba mereka berdua bangkit dengan posisi panah dan busur yang telah siap untuk ditembakkan kapan pun mereka mau. Melihat mereka berdua, Begter bukannya ketakutan, dia tenang – setidaknya itu yang berusaha untuk dia tunjukkan sebagai seorang kakak. Begter tidak lari, atau bahkan berusaha membela diri.[1]

Begter lalu berkata, mirip dengan apa yang dikatakan Hoelun, bahwa dia bukanlah musuh, musuh sebenarnya adalah keluarga Tayichiud.  “Aku bukanlah penghalang mata kalian, atau pun sumbatan di mulut kalian. Tanpa aku, kalian tidak memiliki teman selain bayangan kalian sendiri.” Begter duduk bersila, dan tetap tidak bergeming ketika Temujin dan Khasar semakin mendekatinya. Meski tahu bahwa kedua adik tirinya tidak akan mengampuninya, Begter tetap menolak untuk melakukan perlawanan. Sebagai gantinya, dia meminta satu permintaan terakhir kepada mereka, agar mereka mau mengampuni adik kandung laki-lakinya, Belgutei.[2]

Tanpa basa-basi lagi Temujin dan Khasar kemudian menembakkan panah mereka langsung ke arah Begter, Temujin menembaknya dari belakang, sementara Khasar dari depan. Tidak ingin terkotori oleh darah kakak tiri mereka yang mengalir deras ke tanah, mereka berbalik dan meninggalkannya mati sendirian.[3] Menurut tradisi bangsa Mongol menumpahkan darah ke tanah ketika membunuh atau dibunuh akan menyebabkan korban tidak akan memiliki eksistensi dalam kehidupan selanjutnya, sehingga hal ini dianggap terlarang. Orang yang mati dengan cara tersebut tidak dapat menjadi leluhur. Pada dasarnya mereka akan dianggap telah menghilang begitu saja. Keyakinan lainnya adalah, jika darah seorang bangsawan tumpah, maka bencana alam yang dahsyat akan datang.[4]

Ilustrasi penembakkan Begter, Temujin dari arah belakang, dan Khasar dari depan. Photo: topsimages.com

Ketika Temujin dan Khasar kembali ke rumah, Hoelun sudah bisa menduga apa yang terjadi dilihat dari sorot wajah mereka. Hoelun berteriak kepada Temujin, “Engkau yang telah menghancurkan hidup! Dari kehangatan rahimku, ketika dia menyeruak dengan kasar. Yang ini dilahirkan sambil menggenggam segumpal darah hitam.” Kemudian dia beralih kepada Khasar, “Seperti Khasar (sejenis anjing liar) yang menguyah dirinya sendiri setelah dilahirkan…. Seperti singa yang tidak dapat mengendalikan kemarahannya…. Seperti serigala yang mengintai mangsanya sambil bersembunyi di balik badai salju.” Lalu kepada keduanya Hoelun berkata, “Kalian telah menghancurkan! Tepat ketika kita tidak punya teman selain bayangan kita sendiri, kita tidak memiliki cambuk kecuali ekor kuda kita.”[5]

Sudah dari sejak usia muda Temujin memainkan peran dalam kehidupan, bukan untuk kehormatan atau harga diri, tetapi hanya untuk sebuah kemenangan. Dia mengintai kakaknya sendiri seolah-olah dia sedang berburu binatang. Kejeniusannya dalam mengubah keterampilan berburu menjadi taktik perang sudah tampak pada usia muda. Dengan menempatkan Khasar, yang merupakan pemanah terbaik, di depan, sementara dia sendiri mengambil bagian belakang, dia telah menunjukkan kecerdasan taktisnya. Temujin telah memutuskan bahwa dia akan memimpin, bukan menjadi pengikut. Untuk mencapai keinginannya, dia telah membuktikan bahwa dirinya berani untuk melanggar tradisi, menentang ibunya, dan membunuh siapa pun yang menghalangi jalannya, bahkan meskipun itu adalah anggota keluarganya sendiri.

Sementara pembunuhan Begter telah membebaskan Temujin dari cengkeraman dominasi saudara tirinya, namun dia telah melakukan tindakan tabu yang membuat keluarganya berada dalam bahaya yang lebih besar. Mereka harus segera melarikan diri dari daerah itu. Menurut tradisi Mongol, mereka harus meninggalkan tubuh Begter membusuk di tempat terbuka, dan menghindari kembali ke tempat itu selama jenzahnya masih tersisa. Seperti yang telah diperingatkan oleh Begter dan Hoelun, Temujin kini menemukan dirinya tanpa pelindung atau sekutu, dan dia akan segera diburu. Kini dia adalah kepala keluarga, tetapi dia juga dalam bahaya karena dianggap sebagai kriminal oleh masyarakat padang rumput.

Sampai sejauh ini keluarga Hoelun adalah sekelompok orang buangan, tetapi tidak dianggap sebagai penjahat. Pembunuhan itu telah mengubah segalanya dan memberi alasan bagi siapa pun yang ingin menumpas mereka. Keluarga Tayichiud menganggap diri mereka sebagai garis keturunan aristokrat Sungai Onon dan mengirim sekelompok prajurit untuk menghukum Temujin karena telah melakukan pembunuhan di wilayah mereka, dan untuk mencegah apa yang mungkin dia lakukan selanjutnya. Tanpa tempat untuk bersembunyi di padang rumput yang terbuka, Temujin melarikan diri ke tempat yang aman di pegunungan, namun pengejarnya tetap berhasil menangkapnya.

Ilustrasi penahanan Temujin. Photo: Mark Beerdom/Pinterest

Keluarga Tayichiud kemudian membawanya kembali ke kamp utama mereka. Dalam upaya untuk menghancurkan semangat hidup Temujin, mereka menguncinya pada sebuah balok kayu besar, semacam alat seperti kuk untuk lembu jantan yang dikuncikan ke leher. Alat ini masih memungkinkannya untuk dapat berjalan, namun dengan tangannya yang terkunci, dia tidak dapat untuk makan maupun minum sendiri tanpa bantuan. Setiap hari, anggota keluarga Tayichiud bertanggung jawab untuk menjaga dan mengurus kebutuhan Temujin. Temujin sendiri masih belum tahu bagaimana kelak nasibnya nanti, namun yang jelas dia belum patah semangat.[6] (PH)

Bersambung ke:

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (8): Melarikan Diri

Sebelumnya:

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (6): Begter si Kakak Tiri

Catatan Kaki:

[1] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 1.

[2] Igor de Rachewiltz, The Secret History of the Mongols: A Mongolian Epic Chronicle of the Thirteenth Century (Western Washington University, 2015), hlm 19.

[3] Jack Weatherford, Loc.Cit.

[4] Tara  Finger, “How the Mongols Executed Enemies With No Blood Spilled…”, dari laman https://www.cvltnation.com/mongols-executed-enemies-no-blood-spilled/, diakses 14 Februari 2019.

[5] Igor de Rachewiltz, Ibid., hlm 20.

[6] Jack Weatherford, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*