Mozaik Peradaban Islam

Bangsa Mongol dan Dunia Islam (71): Masa Akhir Genghis Khan (1): Perseteruan Jochi dan Chagatai

in Sejarah

Last updated on July 7th, 2019 02:14 pm

Untuk mendamaikan kedua putranya, Jochi dan Chagatai, Genghis Khan mengirim mereka dalam sebuah ekspedisi perang. Alih-alih sukses, keduanya malah saling bertikai dan hendak mengobarkan peperangan.

Para pegulat tradisional Mongolia. Foto: thealmightyguru

Episode kehidupan pribadi Genghis Khan yang paling tidak menyenangkan terjadi pada masa-masa menjelang sisa hidupnya, terutama selama kampanye perang ke Asia Tengah. Perseteruan yang terjadi di antara putra-putranya membuatnya sangat sadar bahwa betapa banyaknya pekerjaan yang harus dia lakukan untuk mempertahankan kekaisaran setelah kematiannya. Dia menganggap putra-putranya tidak memiliki kualifikasi yang mumpuni untuk melanjutkan posisinya sebagai khan.

Pada saat dia masih lebih muda, Genghis Khan terlalu sibuk mengejar ambisi besarnya untuk menyatukan suku-suku padang rumput dan menaklukkan setiap ancaman di sekelilingnya, dia tidak pernah mencurahkan perhatian yang semestinya kepada putra-putranya, dan sekarang mereka semua telah mencapai usia paruh baya dan tidak ada satupun yang matang.

Dalam ketidakpercayaannya terhadap saudara-sadauranya sendiri dan ketergantungan seumur hidup pada teman-temannya dari sejak muda, Genghis Khan menjadi kurang perhatian untuk membangun kerjasama pemerintahan dengan putra-putranya sendiri, atau melatih mereka untuk menggantikannya.

Pada masa tahun-tahun terakhir kehidupannya, Genghis Khan berusaha keras untuk memperbaiki hubungan antara Jochi dengan Chagatai, yang mana tidak membuahkan hasil, dengan cara menugaskan mereka berdua dalam sebuah ekspedisi penaklukan kota Urgench, bekas ibukota Kesultanan Khwarizmia yang berada di sebelah selatan Laut Aral. Dalam ekspedisi tersebut, ketegangan yang mendidih di antara kedua bersaudara itu hampir-hampir saja meletuskan peperangan di antara sesama Mongol.

Kedua bersaudara itu sama-sama tahu bahwa Urgench nantinya akan diserahkan untuk Jochi, dan karena itu mereka berdua tidak pernah sepakat dalam taktik perang untuk menaklukannya. Jochi curiga, karena Urgench akan menjadi miliknya, maka saudaranya berusaha menghancurkan kota itu sepenuhnya. Chagatai, pada gilirannya, curiga bahwa keserakahan Jochi membuatnya ingin melindungi bangunan dan struktur kota, bahkan dengan risiko membuat lebih banyak tentara Mongol yang terbunuh.

Sementara biasanya penaklukan sebagian besar kota di Asia Tengah dapat selesai dalam hitungan hari atau minggu, penaklukan Mongol di Urgench membutuhkan waktu selama enam bulan, yang mana belum pernah terjadi sebelumnya. Para pembela kota bertarung dengan sengit. Bahkan setelah bangsa Mongol berhasil menerobos tembok kota, para pembela terus berjuang secara gerilya dari rumah ke rumah. Tidak nyaman dengan pertempuran melawan dengan prajurit-prajurit musuh yang nekad karena kotanya hampir hancur, pasukan Mongol akhirnya menyalakan api untuk membakar seluruh isi kota.

Meski demikian, para pembela kota tidak patah arang, mereka terus berjuang dari balik reruntuhan yang hangus. Akhirnya, bangsa Mongol membangun bendungan, menampung air sungai, dan kemudian membobol bendungan itu agar airnya dapat membanjiri kota. Dengan cara ini, seluruh pejuang kota terbunuh, dan airnya menghancurkan hampir semua yang ada di dalamnya. Kota Urgench tidak pernah dibangun kembali, karena kerusakannya terlalu parah. Dan meskipun diberikan kepada Jochi, tidak ada yang tersisa untuknya dan keturunannya untuk memerintah.

Marah dengan pertengkaran di antara kedua putranya, Genghis Khan memanggil mereka, dan untuk sementara waktu mengucilkan mereka dengan menolak menerima mereka untuk terlibat dalam kekaisaran. Kemudian, ketika akhirnya mengakui mereka, secara bergantian dia memaki, memarahi, dan meminta mereka untuk berdamai.

Pada fase ini, banyak catatan sejarah yang terekam (percakapan dan kutipan kata-kata) ketimbang fase-fase lainnya, menunjukkan bahwa Genghis Khan kali ini memberikan perhatian yang lebih untuk keluarganya. Namun di sisi lain, hal ini juga menunjukkan bahwa betapa lemahnya kemampuan dia untuk mendidik putra-putranya.

Setelah terlalu lama mengabaikan pendidikan anak-anaknya, dia mencoba untuk mengajarkan ilmu-ilmunya kepada mereka dalam satu waktu sekaligus. Dia berusaha untuk mengartikulasikan seluruh pelajaran dan gagasan yang dia miliki dan menyampaikan kepada putra-putranya. Namun karena Genghis Khan lebih terbiasa untuk memberi perintah, bukan memberi penjelasan, maka ucapannya malah menjadi tidak jelas dan sulit dipahami oleh anak-anaknya.

Dia mencoba mengajari mereka, bahwa kunci pertama dalam kepemimpinan adalah pengendalian diri, terutama penguasaan diri atas kesombongan, yang mana menurutnya merupakan sesuatu yang lebih sulit ketimbang menaklukkan singa liar. Dia juga berbicara mengenai kemarahan yang harus dikendalikan, yang mana menurutnya jauh lebih sulit untuk ditundukkan ketimbang pegulat terkuat sekalipun. Dia memperingatkan mereka, “Jika kalian tidak dapat menelan harga dirimu, kalian tidak akan dapat memimpin.”

Genghis Khan memperingatkan anak-anaknya untuk jangan pernah menganggap diri mereka sebagai yang terkuat atau terpintar. Bahkan gunung tertinggi pun memiliki hewan yang menginjaknya, ujarnya. Ketika hewan-hewan memanjat sampai ke puncak gunung, mereka bahkan lebih tinggi dari itu.

Sesuai dengan tradisi Mongol, dia juga memperingatkan anak-anaknya agar tidak terlalu banyak berbicara. Katakan saja apa yang perlu dikatakan. Seorang pemimpin harus menunjukkan pikiran dan pendapatnya melalui tindakannya, bukan melalui kata-katanya.

“Dia (pemimpin) tidak akan pernah bahagia sampai rakyatnya bahagia,” kata Genghis Khan. Dia menekankan kepada mereka tentang pentingnya visi, tujuan, dan rencana. “Tanpa visi dan tujuan, seseorang tidak akan dapat mengatur hidupnya sendiri, apalagi kehidupan orang lain,” katanya kepada mereka.

Beberapa pemikiran Genghis Khan tampak bertentangan satu sama yang lain, misalnya ketika dia berbicara tentang kepemimpinan. Pada satu sisi dia menekankan tentang pentingnya merebut kepemimpinan, namun pada sisi lain dia memperingatkan, “Visi tidak tidak boleh menyimpang jauh dari pengajaran para sesepuh.” Dia memberi perumpamaan, “Jubah tua, atau deel (pakaian tradisional Mongol), ia dapat bertahan di tengah tajamnya semak belukar, sementara yang baru atau yang belum teruji dengan cepat terkoyak.”

Sesuai dengan sosoknya yang tenang dan gaya hidupnya yang sederhana, Genghis Khan juga memperingatkan mereka agar tidak mengejar kehidupan yang “penuh warna” dengan tergila-gila terhadap materi dan kesenangan yang sia-sia. “Itu dapat dengan mudah,” dia menjelaskan, “membuatmu lupa visi dan tujuanmu, sekalinya engkau memiliki pakaian bagus, kuda yang cepat, dan wanita cantik.” Maka dalam hal ini, “Kalian tidak lebih baik dari seorang budak, dan kalian pasti akan kehilangan semuanya.”

Dalam salah satu ajaran terpenting yang diberikan untuk putra-putranya adalah, bahwa menaklukkan suatu pasukan tidak sama dengan menaklukkan sebuah bangsa. Kalian bisa menaklukkan suatu pasukan dengan taktik dan pasukan yang unggul, tetapi kalian bisa menaklukkan suatu bangsa hanya dengan cara menaklukkan hati rakyatnya.

Meski terdengar idealistis, namun pada praktiknya dia melaksanakannya dengan cara yang lebih praktis, meskipun Kekaisaran Mongol adalah kesatuan, namun rakyat jangan dipaksa untuk menjadi satu, “Rakyat-rakyat yang ditaklukkan di berbagai sisi danau harus diperintah dengan cara yang berbeda pada (masing-masing) sisi-sisi danau.” Seperti banyak ajarannya yang lain, hal ini juga kelak akan diabaikan oleh putra-putranya dan penerusnya.[1] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Jack Weatherford, Genghis Khan and the Making of the Modern World (Crown and Three Rivers Press, 2004, e-book version), Chapter 5.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*