“Benarkah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang menemani Rasulullah SAW di dalam Gua Tsur?”
—Ο—
Peristiwa Hijrah Rasulullah SAW dan kaum Muslimin dari Mekkah ke Madinah merupakan titik balik perjalanan agama Islam. Momentum ini kemudian menandai dimulainya perhitungan kalender Islam, yaitu kalender Hijriah. Demikian pentingnya peristiwa ini, hingga setiap nama, tempat, dan waktu tercatat dengan sangat baik oleh para sejarawan. Karena siapapun yang berperan dalam peristiwa ini, memiliki kedudukan tersendiri dalam sejarah kaum Muslimin. Hanya saja, tidak semua nama, waktu dan tempat tersebut benar-benar disepakati dan bisa lulus verifikasi sejarawan. Salah satunya, adalah sosok penting yang menemani Nabi Muhammad SAW di dalam Gua Tsaur.
Sosok ini demikian penting, hingga Al Quran mengabadikannya dalam Surat At Taubah ayat 40 :
“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka Sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita.” Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. dan kalimat Allah Itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Umumnya para perawi dan sejarawan Islam berpendapat bahwa sosok yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Abu Bakar Ash-Shidiq. Tapi tidak sedikit juga menyangkalnya. Salah satu yang meragukan sosok tersebut adalah Abu Bakar Ash Shiddiq adalah O. Hashem. Dalam karyanya berjudul “Muhammad Sang Nabi; Penelusuran Sejarah Nabi secara Detail”, pada halaman 107-109, beliau beragumentasi sebagai berikut:
Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Nabi pergi ke gua. Ia berangkat dari rumah Abu Bakar. Bukhari meriwayatkan beliau pergi ke rumah Abu Bakar waktu lohor, kemudian dari rumah Abu Bakar pergi ke gua.
Cerita bahwa Nabi pergi ke rumah Abu Bakar siang hari dan bersama-sama mengendarai dua ekor unta agaknya sukar dibayangkan, sebab bagaimana mungkin akan bersembunyi bila ada dua ekor unta di depan gua?
Tetapi Halabi menolaknya dan mengatakan bahwa Nabi keluar dari rumah beliau sendiri.[1] Dan hampir semua penulis sepakat bahwa Nabi keluar dari rumahnya malam hari.[2]
Thabari menceritakan bahwa Abu Bakar datang ke rumah Nabi malam hari dan menemui Ali sedang tidur di ranjang Nabi. Ali lalu memberitahukan Abu Bakar bahwa Nabi telah pergi ke arah Sumur Maimun. Ia berhasil menyusul Nabi dan setelah mendengar bunyi, Nabi malah ketakutan sehingga beliau lari dan sandal beliau lepas serta kaki beliau terluka dan banyak mengeluarkan darah. Setelah Abu Bakar memanggil-manggil, baru Nabi berhenti. Cerita inipun dianggap aneh, karena Nabi dalam keadaan apapun tidak akan pernah lari ketakutan. Tatkala beliau dikepung kaum musyrikin dalam perang Uhud hanya bersama Ali dan Thalhah di kemudian hari, tatkala kebanyakan sahabat melarikan diri, ia tetap bergeming, tidak meninggalkan tempat beliau selangkahpun. Demikian pula peristiwa yang terjadi di Hunain. Lagipula bagaimana Abu Bakar bisa memasuki rumah Nabi yang sedang dikepung puluhan orang? Bagaimana Abu Bakar menembus barikade itu? Inipun tidak diceritakan perawi.
Dan andaikata cerita keluar dari rumahnya malam hari ini benar, maka Nabi berangkat dari rumah Abu Bakar akan gugur. Dan berangkat waktu lohor juga gugur.
Ada lagi cerita masyhur bahwa Asma’, putri Abu Bakar , istri Zubair bin Awwam membawa makanan bagi mereka berdua di malam gelap gulita, sedang Asma’ masa itu sedang hamil dan menurut Ibn Manzhur dalam Lisanul Arab pada masa itu untuk mencapai gua Tsaur harus berjalan sepanjang 3 farsakh atau 15,4 Km karena jalannya berliku-liku. Belum lagi mendakinya.
Asma’ melahirkan putranya Abdullah bin Zubaif tatkala tiba di Quba dalam perjalanan hijrah.[3] Lagi gua itu kecil dan tidak mudah ditemukan. Atau mengapa harus Asma’ yang membawa dan bukan Zubair kalau memang mereka belum berhijrah? Juga dalam rangkaian cerita ini dikatakan bahwa ayah Abu Bakar yang bernama Abu Quhafah masa itu buta. Namun Abu Hamzah Tsimali menceritakan: “tatkala Nabi telah berada di gua, aku keluar untuk mencari kabar tentang Nabi. Tatkala aku tiba di rumah Abu Bakar, Abu Quhafah mendatangiku sambil berkata: ‘engkaulah salah seorang yang telah merusak putraku?.’ Jadi, menurut Tsimali, ayah Abu Bakar masa itu tidak buta atau belum buta. Dan sejarawan menceritakan bahwa masa itu Asma’ bersama suaminya Zubair berada di Habasyah.
Dan bila Nabi dan Abu Bakar membawa unta, maka mengapa pula mengambil resiko mengirim makanan malam hari sedang unta bisa membawa bekal untuk perjalanan berbulan-bulan. Dan biasanya, makanan siap saji masa itu tanpa harus ditanak adalah kurma dan gandum. Gandum dapat dimakan cukup dengan membasahinya. Dan makanan sehari-hari masa itu seperti roti dadar, hubz, dan dendeng (qadid) biasanya disimpan dalam rumah selama berbulan-bulan. Bukankah Nabi selalu memerintahkan agar menyediakan bekal dalam perjalanan?
Putra Abu Bakar yang bernama ‘Abdul ‘Uzza, yang kemudian bernama ‘Abdurrahman yang masa itu masih musyrik dan ikut mengepung rumah Nabi tidak juga menyebut kehilangan ayahnya. Di kemudian hari ia berperang bersama kaum musyrikin melawan Nabi dan ayahnya di Perang Badr.
Putri Abu Bakar, A’isyah, di kemudian hari malah berulang-ulang mengatakan di hadapan banyak orang, di antaranya kakaknya ‘Abdurrahman bin Abi Bakar, Marwan bin Hakam, dan ribuan jama’ah yang hadir di Masjid Nabawi bahwa “Tidak ada ayat Al Quran yang turun berkenaan dengan keluarga kami”.[4]
Sedang kebanyakan penulis meriwayatkan bahwa Nabi keluar malam itu dari rumahnya yang sedang terkepung. Dan kalau ini benar, maka yang lain salah.
Cerita bahwa Abu Bakar lah satu dari dua orang itu, agaknya dibuat dalam rangka menambah masukan keutamaan Abu Bakar di zaman dinasti Amawi dan Abbasi, seperti riwayat yang menyebutkan ‘Abbas sebagai yang menemani Nabi dalam baiat ‘Aqabah, yang ingin menunjukkan bahwa masa itu dia telah Muslim. Padahal ‘Abbas ikut memerangi Nabi di Badar 4 tahun kemudian dan tertawan. Riwayat ini hampir dipastikan dibuat di zaman dinasti ‘Abbasi.” Demikian menurut O. Hashem.
Kita tentu akan mengembalikan semua pemahaman ini pada nalar objektif masing-masing. Dalam tulisan sederhana ini, kita tentu tidak ingin membantah ataupun memenangkan salah satu pendapat para ulama dan perawi Islam yang masyhur tersebut. Tapi terlepas dari siapapun yang menemani Nabi SAW di dalam gua Tsur, sosok tersebut tentu sedemikian penting. Ia menemani Nabi SAW di salah satu kondisi paling kritis dalam hidup beliau. Hingga tak ada satupun upaya yang bisa dilakukan selain mengharap pertolongan langsung dari sisi Allah SWT. Dari kisah ini, lagi-lagi Allah SWT mengisyaratkan pada hambaNya, bahwa bagi Allah SWT tidaklah penting nama, kedudukan sosial, ataupun nasab, melainkan iman dan amal sholeh yang berharga di sisi Allah SWT. Begitu Allah SWT menerima amal ibadahnya, maka amal tersebut kekal di sisiNya, terabadikan di dalam Al Quran. (AL)
Bersambung…
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] As-Sirah Al-Halabiyyah, jilid 2, 34.
[2] Musnad Ahmad, jilid q1, hlm 331, Mustadrak ash-Shalihain, jilid 2, hlm 133, Fat’hul Bari, jilid 7, hal 8, Nasa’I, Sunan Al-Kubra, jilid 5, hlm 113, Tharani, Mu’jamul Kabir, jilid 12, hlm 77, Haskani, Syawahid al-Tanzil, jilid 1, hlm 135, Tharikh Dimasyqi, jilid 32, hlm 48.
[3] ‘Asma binti Abu Bakar mengatakan, “aku mengandung ‘Abdullah bin Zubair di Mekkah, dan tatkala aku tiba di Quba’ (dalam perjalanan Hijrah) aku melahirkan di Quba’ kemudian aku mendatangi Nabi. beliau meletakkan ‘Abdullah di pengkuannya dan mendoakannya.” Ibn Asakir, Tarikh Madinah Dimasyqi, jilid 28, hlm. 151
[4] Lihat, Shahih Bukhari jilid 6, 42. Al-Bidayah wa an-Nihayah, jilid 8, 96; Tarikh Ibnu’l Atsir, jilid 3, hlm. 199.