Dinasti Umayyah (10): Pemberontakan Abdullah bin Zubair dan Wafatnya Yazid bin Muawiyah

in Sejarah

Last updated on February 23rd, 2018 07:00 am

Setelah mendengar kabar tentang tragedi Karbala, masyarakat di Madinah dan Mekkah menarik kembali bai’atnya dari Yazid. Iapun mengirim bala tentara ke kedua kota suci ini untuk mengambil kembali bai’at dari mereka. Serangan ini telah menyebabkan hancurnya sebagian dinding Ka’bah, dan terjadinya tragedi memilukan di Madinah.

—Ο—

 

Kisah tentang peristiwa Karbala tersiar demikian cepat ke seluruh wilayah kekuasaan dinasti Umayyah. Meskipun masyarakat umumnya tahu ada banyak faksi politik dalam dunia Islam, namun untuk berbuat sejauh itu, jelas tidak ada dalam bayangan semua kaum Muslimin. Mereka mengutuk perbuatan tersebut, dan menarik baiatnya dari Yazid. Selain Irak dan Iran yang memang merupakan basis pendukung Ali bin Abi Thalib, wilayah yang segera menarik bai’atnya sesaat setelah mendengar pembataian di Karbala, adalah Madinah dan Mekkah. Kala itu, di dua tanah suci ini, masih cukup banyak berkumpul para tabi’in yang sangat berpengaruh, salah satunya adalah Abdullah bin Zubair yang merupakan buronan paling dicari oleh Yazid setelah Husein bin Ali.

Setelah mencabut bai’atnya dari Yazid, orang-orang di Madinah dan Mekkah secara aklamasi mengangkat Abdullah bin Zubair sebagai khalifah kaum Muslimin. Di kalangan masyarakat saat itu, ia termasuk orang ternama. Ayahnya, Zubair bin Awwam, sedangkan ibunya adalah Asma’ binti Abu Bakar. Abdullah bin Zubair mendapat dukungan dari Hijaz, Yaman dan Arabia Selatan.Terkait diangkatnya Abdullah bin Zubair ini beberapa sejarawan ada yang memasukkannya dalam urutan khalifah kaum Muslimin, tapi ada juga yang menganggap ini sebagai bentuk pemberontakan sehingga tidak dihitung sebagai khalifah. Lagi pula, tak lama berselang dari diangkatnya Abdullah bin Zubair sebagai khalifah, Yazid langsung melancarkan serangan brutal kepada dua kota suci ini.

Yazid mengirim pasukan yang dipimpin oleh Muslim bin Uqba untuk mengambil kembali bai’at dari penduduk dua kota suci ini. Pesan Yazid kepada Muslim bin Uqbah dalam misi ini begitu dikenal sejarah, “Berangkatlah menuju Madinah. Jika mereka melakukan perlawanan, perangi! Jika kau menang, izinkan tentaramu berbuat sekehendak hati selama tiga hari. Setelah itu berangkatlah ke Makkah dan perangilah Abdullah bin Zubair!”. Dalam tradisi Romawi, tentara dibolehkan melakukan apa saja di dalam wilayah taklukannya ini disebut dengan ibahat.[1]

Kita tidak usah bayangkan apa yang terjadi ketika tentara dipebolehkan melakukan apapun sekehendak hatinya selama tiga hari. Jelas kengerian dan kebejatan yang tak tertanggungkan akan terjadi. Dan benar saja, sejarah mencatat, bahwa apa yang terjadi dalam tiga hari ini adalah sebuah bencana besar dan penodaan terbesar dalam sejarah kota Madinah. Pemerkosaan, penjarahan dan pembunuhan berlangsung tanpa henti. Banyak tabi’in yang wafat dalam peristiwa ini. Diantara mereka ada nama-nama seperti Zubair bin Abdurrahman bin Auf, Fuzail bin Abbas bin Abdul Muthalib, dan Abdullah bin Nufail bin Harist bin Abdul Muthalib.[2]

Peristiwa mengerikan ini terjadi pada tanggal 27 Dzulhijjah 63 H. Sedikit catatan, di hari yang sama juga lahir Muhammad bin Abdullah bin Abbad bin Abdul Muthalib, yang kelak akan menjadi pendiri dan juga khalifah pertama Dinasti Abbasiyah.

Setelah berhasil menaklukkan Madinah dan pasukannya melakukan ibahat selama tiga hari, Muslim bin Uqbah melanjutkan perjalanan ke Makkah. Dalam perjalanan inilah ia tiba-tiba menderita sakit yang sangat parah dan akhirnya meninggal di tempat yang bernama Abwa. Sebelum meninggal, ia mengamanatkan agar pimpinan pasukan diambil alih Al Hushain bin Numair Al Sakuni. Setelah menguburkan Muslim bin Uqbah, pasukan ini melanjutkan misinya untuk menaklukkan kota Mekkah dan memadamkan pemberontakan Abdullah bin Zubair.

Menurut Al Waqidi, Al Hushain bin Numair tiba di Mekkah pada tanggal 24 Muharram 64 H. Ia langsung melakukan pengepungan terhadap kota Mekkah. Pasukan ini sempat mendapat perlawanan yang cukup dari Abdullah bin Zubair, sehingga durasi pengepungan ini berlangsung selama sekitar 60 hari. Hingga akhirnya, pasukan Damaskus berhasil mengunci pasukan Abdullah bin Zubair di dalam kota Mekkah. Mereka menghujani seisi kota dengan batu api yang dilontarkan dari ketapel. Akbibatnya tidak hanya rumah penduduk, tapi juga Ka’bah terbakar dan sebagian dindingnya hancur. Peristiwa terbakarnya Ka’bah ini terjadi pada 3 Rabi’ al-Awwal 64 H. Tapi tidak berhenti sampai di situ, pasukan Damaskus ini terus datang bergelombang ke Mekkah. Bahkan di saat-saat akan berakhirnya pertempuran, sebanyak 5000 pasukan masih didatangkan dari Damaskus.[3]

Tidak jelas bagaimana hasil dari pertempuran ini, tapi pengepungan ini baru berakhir setelah berita tentang kematian Yazid datang dari Damaskus pada 2 Rabi’ al-Akhir 64 H. Yazid sendiri wafat di Damaskus pada tanggal 14 Rabi’ al-Awwal 64 H.[4] Ini artinya dibutuhkan waktu hampir 20 hari bagi kurir untuk menyampaikan berita duka ini pada pasukan Damaskus di Mekkah. Sebuah durasi waktu yang terlalu lama untuk jarak tempuh sejauh 1600 Km (Damaskus-Mekkah). Anehnya lagi, menurut Akbar Shah Najeebabadi, pasukan Damaskus pertama kali mengetahui berita tentang kematian Yazid justru dari Abdullah bin Zubair. Ketika mendengar berita ini, Abdullah bin Zubair langsung berseru kepada pasukan Damaskus, “Wahai orang-orang yang tidak beruntung.., mengapa kalian masih bertempur? Pemimpin kalian sudah tiada!” Ketika mendengar berita ini, gempuranpun dihentikan. Pasukan Damaskus akhirnya bersedia untuk melakukan perundingan damai dengan Abdullah bin Zubair.[5]

Yazid bin Muawiyah meninggal dunia dalam usia 38 tahun. Masa pemerintahannya hanya berlangsung selama tiga tahun enam bulan. Tapi luka sejarah yang ditorehkan selama masa pemerintahannya masih berbekas hingga hari ini. (AL)

Bersambung…

Dinasti Umayyah (11): Runtuhnya Marwah Khalifah

Sebelumnya:

Dinasti Umayyah (9): Tragedi Karbala dan Petaka Sejarah

Catatan kaki:

[1] Lihat, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/04/21/ljzikd-daulah-umayyah-yazid-bin-muawiyah-680683-m-tak-lepas-dari-karbala, diakses 14 Fabruari 2018

[2] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, The History Of Islam; Volume Two, Riyadh, Darussalam, 2000, Hal. 86

[3] Ibid, hal. 88

[4] Lihat, The History of al-Tabari, Vol. XIX., The Calipate of Yazid B. Muawiyah, Translated by C. E. Bosworth, State University of New York Press, 1990, hal. 224-225

[5] Lihat, Akbar Shah Najeebabadi, Op Cit

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*