Mozaik Peradaban Islam

Hagiografi Hasan al-Basri (2): Dia yang Bertaubat

in Tasawuf

Last updated on January 19th, 2019 01:52 pm

Hasan al-Basri, dikisahkan, setiap harinya shalat Ashar di Basra, Iraq. Setelahnya dia pergi ke Mekkah, dan sebelum Maghrib telah kembali ke Basra. Jarak Basra ke Mekkah adalah 1.500 km.

Photo Fitur: Jolita Vitkeviciute/Pinterest

Hasan Bertaubat

Sekarang giliran para orang tua yang mulia yang datang, mereka berkata, “Wahai putra mahkota, seandainya malapetaka yang menimpa dirimu ini dapat dicegah oleh campur tangan orang-orang tua, niscaya kami telah mencegahnya dengan doa-doa kami yang rendah hati ini, maka pastilah kami tidak akan meninggalkan engkau seorang diri di tempat ini. Tetapi malapetaka yang ditimpakan kepadamu datang dari Dia yang sedikitpun tidak dapat dicegah oleh campur tangan manusia-manusia yang lemah.” Para orang tua itu pun setelah mengucapkan kata-kata itu berlalu.

Kemudian wanita-wanita cantik yang membawa nampan berisikan emas dan batu permata datang, sambil mengelilingi tenda mereka berkata, “Wahai putra  Kaisar, seandainya malapetaka yang menimpa dirimu ini dapat ditebus dengan kekayaan dan kecantikan, niscaya kami akan mengorbankan diri kami sendiri dan harta kekayaan kami yang banyak ini, dan kami tidak akan meninggalkan engkau di tempat ini. Namun malapetaka ini ditimpakan oleh Dia yang tidak dipengaruhi oleh harta kekayaan dan kecantikan.” Setelahnya, mereka pun juga berlalu.

Peziarah yang terakhir adalah Kaisar itu sendiri ditemani oleh Perdana Menterinya. Dia masuk ke dalam tenda dan berkata, “Wahai mata dan pelita hati ayah! Wahai buah hati ayah! Apa yang dapat dilakukan oleh ayahmu ini? Ayah telah mendatangkan pasukan yang perkasa, para filsuf dan cerdik pandai, para penasihat, wanita-wanita yang cantik jelita, harta benda, dan segala kemewahan. Dan ayah sendiri juga telah datang. Jika semua ini ada faedahnya, maka ayah pasti akan mengerahkan semua daya. Tetapi malapetaka ini telah ditimpakan oleh Dia yang tidak dapat dilawan oleh ayah beserta semua yang kumiliki. Pasukan dan pengiring ini, kekayaan dan kemewahan ini, tidak berdaya. Selamat tinggal, sampai bertemu pada tahun yang akan datang.” Setelah berkata demikian, Kaisar pun pergi.

Cerita dari Perdana Menteri ini sangat menggugah hati Hasan. Dia tidak dapat melawan dorongan hatinya. Hasan segera bersiap-siap untuk kembali ke negerinya. Sesampainya di Basrah, dia bersumpah bahwa dia tidak akan pernah menertawakan lagi dunia ini sebelum mengetahui dengan pasti bagaimana nasibnya nanti. Selanjutnya Hasan menenggelamkan dirinya dalam ibadah dan kesederhanaan yang tidak dapat ditandingi oleh siapapun pada masanya.[1]

 

Hasan al-Basri dan Abu Amr

Pada suatu hari, Abu Amr, seorang ahli tafsir terkemuka, sedang mengajar Alquran. Di tengah-tengah pelajaran, tiba-tiba datang seorang pemuda tampan bergabung ke dalam kelasnya. Melihat anak yang sangat tampan itu, Abu Amr terkesima dan sampai-sampai dia melupakan seluruh isi Alquran. Api telah merasukinya, dan dia kehilangan kendali diri. Dalam keadaan ini dia menemui Hasan al-Basri untuk menjelaskan kesulitannya.

“Guru,” dia menangis dengan sedih, bercerita, “Begitulah situasinya. Aku telah melupakan seluruh isi Alquran.”

Hasan lah yang paling bersedih mendengar apa yang dialami oleh muridnya.

“Sekarang adalah musim haji,” kata Hasan. “Pergi dan lakukanlah ziarah. Setelah engkau selesai melakukannya, pergilah ke masjid Khaif.[2] Di sana engkau akan melihat seorang lelaki tua sedang duduk berdoa. Jangan mengganggu waktunya, biarkan dia sampai selesai. Kemudian mintalah dia untuk mendoakanmu.”

Masjid Khaif di era modern. Photo: Islamic Landmarks

Abu Amr kemudian melakukan apa yang diperintahkan. Duduk di salah satu sudut masjid, dia memerhatikan ada orang tua terhormat yang sedang dikelilingi orang-orang. Setelah sekian waktu, datanglah seorang laki-laki mengenakan jubah putih yang sangat bersih. Orang-orang membuka jalan, mengucapkan salam untuknya, dan lalu mereka bercakap-cakap bersama. Ketika waktu shalat hampir tiba, laki-laki berjubah putih itu memohon untuk undur diri. Tidak lama kemudian, yang lainpun pergi, sehingga yang berada di sana tinggal orang tua tersebut.

Abu Amr kemudian mendekat dan mengucapkan salam kepadanya.

“Dengan nama Allah, tolonglah aku,” seru Abu Amr.

Abu Amr lalu menceritakan kesulitannya. Orang tua itu merasa sangat prihatin, lalu dia menengadahkan wajahnya ke atas untuk berdoa. “Belum juga dia menundukkan kepalanya,” Abu Amr bercerita, “Alquran telah kuingat kembali. Aku bersujud di hadapannya karena sangat gembira.”

Orang tua itu kemudian bertanya, “Siapakah yang menyuruhmu untuk datang kepadaku?”

“Hasan dari Basra,” jawab Abu Amr.

“Siapa pun yang telah memiliki imam seperti Hasan,” kata orang tua itu, “apa yang dibutuhkannya dari orang lain? Nah, Hasan telah menunjukkan siapa diriku. Sekarang aku akan menunjukkan siapa dirinya.” Orang tua itu melanjutkan, “Laki-laki itu, yang berjubah putih, yang datang setelah shalat Ashar barusan, yang dihormati oleh orang-orang, dan kemudian pergi sebelum yang lainnya pergi, dia adalah Hasan. Setiap hari dia shalat Ashar di Basra dan kemudian datang ke sini, bercakap-cakap denganku, dan kembali ke Basra untuk shalat Maghrib. Siapa pun yang memiliki imam seperti Hasan, mengapa dia harus memintaku untuk mendoakannya?”[3] (PH)

Bersambung ke:

Hagiografi Hasan al-Basri (3): Simeon si Pemuja Api

Sebelumnya:

Hagiografi Hasan al-Basri (1): Hasan si Pedagang Mutiara

Catatan Kaki:

[1] Farid al-Din Attar, Kisah para Wali (Thinkers Library: Kuala Lumpur, 1994), hlm 29-31.

[2] Masjid ini terletak di Mekkah, di sebelah selatan Mina. Jarak antara Basra ke Mekkah sekitar 1.500 km. Lihat “Masjid al-Khayf”, dari laman https://www.islamiclandmarks.com/makkah-other/masjid-al-khayf, diakses 17 Januari 2019.

[3] Farid al-Din Attar, Muslim Saints and Mystics (Tadhkirat al-Auliya’), diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh  A. J. Arberry, (Omphaloskepsis: Iowa, 2000), hlm 5-7.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*