Mozaik Peradaban Islam

Hagiografi Hasan al-Basri (4): Dia yang Meminum Air Nabi

in Tasawuf

Last updated on January 22nd, 2019 01:52 pm

Tanpa sepengetahuan Nabi Muhammad SAW, Hasan kecil meminum air miliknya. Nabi berkata anak ini akan mendapatkan pengetahuannya sebanding dengan air yang telah diminumnya.

Ketika Hasan al-Basri dilahirkan, Umar bin Khattab, sahabat Nabi dan yang kelak akan menjadi khalifah kedua umat Islam, melihatnya. Umar mengatakan bahwa bayi itu tampan (Hasan). Maka semenjak itulah dia bernama Hasan. Hasan kemudian tumbuh besar di rumah salah satu istri Nabi Muhammad SAW, Ummu Salamah. Mengapa bisa demikian karena Ibunda Hasan bekerja untuk Ummu Salamah. Jika Ibunda Hasan sedang sibuk bekerja dan Hasan menangis, maka dengan suka hati Ummu Salamah menyusuinya. Ummu Salamah berdoa kepada Allah SWT, meminta agar anak itu kelak menjadi teladan bagi semua orang. Berulang kali dan tidak terhitung Ummu Salamah telah mendoakan Hasan kecil.

Suatu waktu, Nabi Muhammad SAW berkunjung ke rumah Ummu Salamah. Di sana beliau bertemu Hasan kecil dan mendoakannya agar dilimpahi berkah. Pada satu kesempatan lain, Hasan kecil meminum air dari wadah air milik Nabi. Menyadari air minumnya telah habis, Nabi akhirnya mengetahui bahwa Hasan lah yang telah meminumnya. Nabi kemudian berkata bahwa anak kecil itu akan mendapatkan pengetahuan Nabi sebanding dengan air yang telah diminumnya tadi.[1]

 

Setelah Bertaubat

Pada awal artikel seri sebelumnya kita telah membahas, bahwa setelah melihat peristiwa ziarah makam pangeran di Bizantium, Hasan segera pulang ke Basra dan ingin bertaubat. Suatu waktu, dalam proses pertaubatannya, Hasan menangis dengan air mata yang sangat banyak, dia bersedih mengingat dosa-dosanya. Hasan menangis di atas atap rumahnya, sehingga air matanya mengalir ke bawah di mana ada seorang pejalan kaki sedang melintas. Orang itu kemudian bertanya kepada Hasan, “Apakah air ini bersih?” Hasan menjawab, “Tidak, itu adalah air mata dari orang yang berdosa.” Hasan kemudian menyarankan kepadanya untuk segera mencucinya.[2]

 

Karamah dan Pengetahuan

Habib al-Ajami (dari kata Ajam, yang artinya adalah orang non-Arab) adalah seorang rentenir. Pada kesehariannya dalam menagih piutang, dia biasanya akan membebankan denda apabila ada yang tidak sanggup membayar tepat waktu. Suatu hari ketika sedang menagih, seorang istri dari yang berutang, karena tidak punya uang, memberinya daging. Habib kemudian pulang, sampai di rumah istrinya memberitahu bahwa dia tidak memiliki bahan bakar maupun roti untuk makan. Pada kesempatan lain, setelah melakukan aktivitas penagihan, dalam perjalanan pulang Habib bertemu seorang pengemis yang meminta-minta kepadanya. Karena tidak suka, Habib kemudian menamparnya tanpa perasaan. Sesampainya di rumah, istrinya memberitahu bahwa makanan yang telah dipersiapkannya entah mengapa berubah menjadi darah.

Dengan serangkaian peristiwa tersebut, Habib akhirnya menyesal, dan dia memutuskan untuk tidak lagi menjadi seorang rentenir. Pada hari Jumat, dia pergi untuk shalat Jumat, dan di sana dia mendengarkan khotbah Hasan al-Basri. Di tengah khotbah, Habib jatuh pingsan. Setelah sadar dia membuat sebuah pengumuman, dia menyatakan akan menghapuskan semua utang dan akan mengembalikan semua keuntungan dari riba yang dia peroleh dari para pengutang.

Beberapa tahun setelah Habib memutuskan untuk menghabiskan lebih banyak waktunya untuk belajar kepada Hasan, istrinya sakit parah. Setiap malam ketika dia pulang, dia tidak membawa uang sepeser pun. Setelah berlangsung sepuluh hari, tiba-tiba seseorang datang ke rumahnya dan memberinya banyak makanan dan kebutuhan rumah tangga. Habib sangat keheranan, dan setelahnya dia mendedikasikan dirinya sepenuhnya untuk Allah SWT, Sang Maha Pengasih.[3]

Setelah menjadi murid Hasan, suatu hari Habib bertemu gurunya di tepi Sungai Tigris dan bertanya kepadanya mengapa dia berada di sana. Hasan menjawab bahwa dia sedang menunggu perahu. Habib kemudian teringat akan sebuah pelajaran dari Hasan: jika dia benar-benar meninggalkan dunia dan bergantung kepada Allah, maka dia dapat berjalan di atas air. Habib kemudian melakukannya, berjalan di atas air. Melihat hal itu Hasan jatuh pingsan. [4]

Photo Ilustrasi: Think Positive 30

Setelah sadar, Hasan memberitahu teman-temannya bahwa Habib memiliki karamah berjalan di atas air. Namun Hasan mengatakan bahwa kemampuan Habib, sebagian besar berkat dirinya, karena Habib merupakan muridnya. Di kemudian hari, Hasan bertemu Habib, dan dia bertanya bagaimana Habib dapat mencapai tingkatan spiritual seperti itu. Habib berkata, “Dengan memutihkan hatiku, sementara engkau menghitamkan kertas.” Hasan kemudian menjawab, “Pengetahuanku tidak memberi manfaat kepada diriku sendiri, tetapi memberi manfaat kepada orang lain.”[5]

Menyimak kisah di atas, sepintas Habib terlihat telah melampaui Hasan. Namun tidak demikian menurut Farid al-Din Attar, menurutnya tingkatan Habib tetap masih di bawah Hasan. Dia menjelaskan bahwa karamah nilainya masih di bawah pengetahuan. Karamah hanya membutuhkan tingkat kesalehan lebih lanjut, tetapi tidak halnya dalam pengetahuan, ia membutuhkan perenungan yang jauh lebih mendalam. Attar menekankan bahwa pengetahuan Hasan begitu tinggi sehingga dia diumpakan seperti hubungan Nabi Musa terhadap Nabi Sulaiman. Sulaiman memang memiliki banyak mukjizat, tetapi Musa, dengan pengetahuannya mampu melakukan sesuatu yang lebih besar ketimbang dari sekedar mukjizat.[6] (PH)

Bersambung ke:

Hagiografi Hasan al-Basri (5): Melamar Rabiah al-Adawiyah

Sebelumnya:

Hagiografi Hasan al-Basri (3): Simeon si Pemuja Api

Catatan Kaki:

[1] John Renard, Friends of God: Islamic Images of Piety, Commitment, and Servanthood (University of California Press, 2008), hlm 26.

[2] Ibid., hlm 47.

[3] Ibid., hlm 51.

[4] Ibid., hlm 107.

[5] Farid al-Din Attar, Kisah para Wali (Thinkers Library: Kuala Lumpur, 1994), hlm 55.

[6] John Renard, Ibid., hlm 68-69.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*