Surat Hasan al-Basri untuk Khalifah Umar bin Abdul Aziz: “Berhati-hatilah terhadap dunia ini dengan segala kewaspadaan; karena ia seperti seekor ular, halus saat disentuh, tetapi racunnya mematikan.”
Manifestasi pertama sufisme – meskipun pada waktu itu belum ada istilah “sufi” – dapat ditemukan pada figur Nabi Muhammad SAW itu sendiri, lalu kemudian Ali bin Abi Thalib, dan beberapa sahabat lainnya yang dikenal memiliki tingkat kezuhudan dan kesalehan yang tinggi. Di antara tokoh-tokoh sahabat paling awal yang dipertimbangkan sebagai seorang sufi adalah Abu Darda. Dia menekankan pentingnya aktifitas meditasi (tafakkur), dan meyakini bahwa ketakwaan jauh lebih penting ketimbang ibadah selama empat puluh tahun tapi tanpa disertai ketakwaan. Pada diri Abu Darda ditemukan kualitas seorang sufi yang dapat dijadikan sebagai pembeda di antara anggota masyarakat yang lainnya pada waktu itu.[1]
Tokoh lainnya adalah Abu Dzar al-Ghifari, seorang pelopor gerakan hidup sederhana yang menentang segala bentuk kemewahan. Mengenai sosok Abdu Dzar, Rasulullah pernah berkomentar, “Tak akan pernah lagi dijumpai di bawah langit ini, orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar.” Sepeninggal Rasulullah, Abu Dzar menentang gaya hidup mewah Gubernur Damaskus di era kekhalifahan Ustman bin Affan, yakni Muawiyah.[2] Karena sikapnya yang dianggap terlalu keras, Abu Dzar akhirnya mesti rela hidup di pengasingan di Rabzah.[3]
Hudzaifah bin al-Yaman juga dianggap mirip dengan Abu Dzar, dia juga menjalani kehidupan yang sederhana dan menekankan pentingnya kemurnian hati untuk mencapai kesempurnaan iman.[4] Di antara kisah hidupnya yang menggambarkan kesederhanaan terjadi pada saat-saat akhir hayatnya. Beberapa sahabatnya membawakan kain kafan yang baru dan agak mewah, dan Hudzaifah dengan tegas menolaknya, meminta digantikan dengan kain kafan yang jelek saja. Menjelang wafat, Hudzaifah menggumam pelan, “Selamat datang wahai maut. Kekasih tiba di waktu rindu. Hati bahagia, tak ada keluh atau sesalku.”[5]
Artikel Terkait:
Sahabat Nabi lainnya yang dianggap sebagai sufi adalah Imran bin Husain al-Khuzai. Dia datang dan menyatakan baiatnya kepada Nabi Muhammad SAW pada saat Perang Khaibar. Di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Imran ditugaskan untuk membimbing penduduk Basra, Iraq, untuk mendalami agama Islam.[6] Sampai akhir hayatnya pada 52 H/672 M dia tetap menetap di Basra. Di masa hidupnya di Basra, dia dianggap sebagai orang yang paling saleh dan mengabadikan diri sepenuhnya untuk beribadah dan mendidik beberapa murid. Di antara beberapa muridnya yang memperoleh nama besar dan kemashyuran adalah Hasan al-Basri.[7]
Hasan al-Basri kemudian mendirikan tarekat sufi di Basra, dan ini dianggap sebagai sumber dari semua tarekat sufi pada masa-masa selanjutnya. Kisah kehidupannya yang paling terkenal dirangkum dalam sebuah kitab hagiografi karya Farid al-Din Attar yang berjudul Tadhkirat al-Auliya’, sebagaimana telah diulas pada artikel-artikel sebelumnya. Hasan juga dikenal sebagai perawi hadist-hadist Nabi dan juga sebagai penggagas ilmu kalam dalam fase perkembangan formal. Selain itu, Hasan juga dianggap sebagai bapak dari ilmu tasawuf. Berbagai macam tarekat tasawuf di masa setelahnya, dalam silsilah ikatan spiritual guru dan murid, semuanya akan bermuara kepada Hasan. Hasan juga di masa hidupnya dikenal sebagai seorang ahli tafsir Alquran dan pembicara yang sangat fasih.[8]
Meskipun Hasan sangat ternama dan memiliki kedudukan sosial yang amat tinggi, namun dia tetap menjalani kehidupan yang suci dan zuhud sebagaimana para pendahulunya. Dasar-dasar tasawuf yang diajarkan oleh Hasan adalah mengenai ketakutan terhadap Allah SWT (wara), dan melepaskan diri dari segala ikatan keduniawian (zuhud). Hasan pernah mengirim surat kepada khalifah Dinasti Umayyah yang saleh, Umar bin Abdul Aziz, dalam suratnya Hasan berkata, “Berhati-hatilah terhadap dunia ini dengan segala kewaspadaan; karena ia seperti seekor ular, halus saat disentuh, tetapi racunnya mematikan. Berpalinglah dari apa pun yang menyenangkanmu di dalamnya, karena hanya sedikit keuntungan yang akan engkau dapat darinya….”[9]
Ajaran-ajaran Hasan tidak terbatas hanya pada penyucian jiwa dari kekotoran batin, tetapi juga berbicara tentang irfan, “penglihatan” langsung terhadap Allah di surga, dan tentang pentingnya peristiwa Isra Miraj Nabi Muhammad SAW. Selain itu dia juga menganalisis berbagai tingkatan spiritual (ahval) yang banyak dikembangkan dalam Sufisme di kemudian hari, dan menekankan pentingnya meditasi (fikr) dalam kehidupan spiritual.[10]
Secara keseluruhan, banyak aspek mendasar tasawuf yang telah dirumuskan oleh Hasan, dan dia meninggalkan pengaruh yang begitu besar dan sampai hari ini masih tetap dipergunakan pada hampir seluruh tarekat sufi di dunia Islam. Hasan al-Basri bukan saja dikenal melalui karya-karya dan ucapannya, tetapi yang paling utama adalah karena dia telah mendidik begitu banyak murid dan mendirikan tarekat sufi. Di antara seluruh muridnya, yang paling ternama adalah Rabiah al-Adawiyah, wanita suci dari kalangan sufi yang pertama kalinya mengembangkan konsep tentang cinta dan penyatuan diri terhadap Ilahi.[11] (PH)
Artikel Seri Hagiografi Hasan al-Basri selesai.
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Seyyed Hossein Nasr, Sufism, dalam R. N. Frye, The Cambridge History of Iran: Volume 4 (C ambridge University Press, 1975), hlm 448.
[2] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (Bandung: CV Penerbit Diponegoro: 2001), bab 3, Abu Dzar al-Ghifari.
[3] RauzatuI Akhyar dinarasikan dari Rabiul Abrar, dalam The Great Companion of the Prophet (s) Abu Dharr (ra), (Islamic Seminary Publications: 2017), hlm 116-117.
[4] Seyyed Hossein Nasr, Loc.Cit.
[5] Khalid Muhammad Khalid, Ibid., hlm 243.
[6] Ibid., hlm 611-612.
[7] Seyyed Hossein Nasr, Loc.Cit.
[8] Ibid., hlm 449.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm 450.