Munkar dan Nakir bertanya, “Siapa Tuhanmu?” Rabiah menjawab, “Aku, yang hanya memiliki-Mu di dunia, tidak akan pernah melupakan-Mu, mengapa Engkau harus mengirim utusan untuk bertanya ‘siapakah Tuhanmu?’.”
Rabiah Jatuh Sakit
Suatu hari Rabiah jatuh sakit. Dia ditanya apa penyebabnya.
“Aku memandang Firdaus,” jawabnya, “Dan Tuhanku mendisiplinkanku.”
Kemudian Hasan al-Basri pergi untuk menjenguknya.
“Aku melihat salah satu pemuka Basra berdiri di depan pintu rumah Rabiah, dia ingin memberikan pundi emasnya dan menangis,” kata Hasan bercerita. “Aku berkata, ‘Tuan, mengapa engkau menangis?’ Dia menjawab, ‘Karena wanita suci zaman ini, karena jika berkah kehadirannya hilang dari umat manusia, mereka pasti akan binasa. Aku membawa sesuatu untuk biaya perawatannya, dan aku khawatir dia tidak mau menerimanya. Apakah engkau mau mengambil dan memberikannya untuk dia?’.”
Lalu Hasan masuk dan berbicara. Rabiah menatapnya dan berkata, “Dia menafkahi mereka yang menghina-Nya, dan tidak akankah Dia menafkahi mereka yang mencintai-Nya? Sejak aku mengenal-Nya, aku telah berpaling dari makhluk-makhluk-Nya. Aku tidak tahu apakah harta seseorang halal atau tidak; lalu bagaimana aku bisa menerimanya? Aku pernah menjahit pakaianku yang rusak dengan cahaya dunia. Untuk sesaat hatiku terlena, hingga aku tersadar. Lalu aku merobek pakaian itu di tempat aku menjahitnya, dan hatiku menjadi lega. Mintalah kepada tuan itu mendoakanku agar jangan sampai hatiku terlena.”[1]
Pada hari lainnya, Hasan al-Basri, Malik bin Dinar, dan Syaqiq al-Balkhi pergi menjenguk Rabiah di pembaringannya.
“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” Hasan memulai, “jika dia tidak tabah menerima ujian dari Tuhannya.”
“Kata-kata ini berbau egoisme,” kata Rabiah menanggapi.
“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” Syaqiq mencoba, “jika dia tidak bersyukur atas ujian dari Tuhannya.”
“Kami membutuhkan sesuatu yang lebih baik dari itu,” kata Rabiah.
“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” Malik juga mencoba, “jika dia tidak bergembira atas ujian dari Tuhannya.”
“Kami membutuhkan sesuatu yang lebih baik dari itu,” ulang Rabiah.
“Lalu bagaimana menurutmu?” desak mereka.
“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” kata Rabiah, “jika dia tidak melupakan ujian dalam merenungi Tuhannya.”[2]
Kematian
Ketika tiba waktunya Rabiah menghadapi kematian, mereka yang berada di sana meninggalkan ruangan dan menutup pintu. Kemudian terdengar sebuah suara berkata, “Wahai jiwa yang damai, kembalilah kepada Tuhanmu dengan bahagia.” Waktu berlalu dan tidak ada lagi suara yang terdengar dari ruangan, kemudian mereka membuka pintu dan mendapati bahwa Rabiah telah meninggal.
Setelah kematiannya, seseorang bertemu dengan Rabiah dalam mimpi. Dia bertanya, “Bagaimana engkau menghadapai malaikat Munkar dan Nakir?” Rabiah menjawab, “Para pemuda itu (Munkar dan Nakir) datang kepadaku dan berkata, ‘Siapakah Tuhanmu?’ Aku menjawab, ‘Kembalilah dan katakan kepada Allah, di antara ribuan makhluk, janganlah Engkau melupakan seorang wanita tua yang lemah ini. Aku, yang hanya memiliki-Mu di dunia, tidak akan pernah melupakan-Mu, mengapa Engkau harus mengirim utusan untuk bertanya ‘siapakah Tuhanmu?’.’.”[3]
Catatan Mengenai Rabiah al-Adawiyah
Sophia Pandya, seorang profesor di California State University, jurusan Studi Agama, mengatakan, terkait kisah hidup dan pertemuan Rabiah al-Adawiyah dengan Hasan al-Basri, karena kisah hidupnya sudah tersebar ke berbagai macam negara dengan berbagai macam versi yang juga sudah tercampur dengan legenda yang terus berkembang, maka akan cukup sulit untuk membedakan mana kisah yang nyata dengan mana yang bukan. Sehingga, meskipun kedua tokoh ini memang benar-benar sosok yang nyata dan hidup di masa yang sama, tetapi bisa jadi sebenarnya mereka tidak pernah bertemu. Adapun Farid al-Din Attar, baru menuliskan hagiografi tentang Hasan al-Basri, Rabiah al-Adawiyah, dan beberapa tokoh sufi lainnya sekitar 400 tahun kemudian dalam karyanya yang berjudul Tadhkirat al-Auliya’.[4]
Namun dilihat dari berbagai catatan sejarah, semuanya setuju bawah Rabiah memang tidak pernah menikah. N. Hanif, penulis buku Biographical Encyclopaedia of Sufis (Central Asia and Middle East), mengatakan bahwa Rabiah adalah sosok wanita yang paling beriman, saleh, dan sabar pada masanya. Rabiah digambarkan sebagai seorang wanita yang cantik dan suci, dan beberapa tokoh sufi (tanpa menyebut Hasan al-Basri) pernah melamarnya. Dari kalangan penguasa, ada yang juga pernah mencoba melamarnya, dia adalah Muhammad bin Sulaiman, salah satu Amir Dinasti Abbasiyah. Namun dari semua lamaran itu, tidak ada satupun yang dia terima.[5]
Rabiah al-Adawiyah wafat pada usianya yang ke-86. Ketika di pembaringan, dia menolak pengobatan dari siapapun. Dia mengatakan yang dia butuhkan hanya penerimaan dari Allah SWT akan shalat dan amal ibadahnya.[6] Saat ini, makam Rabiah diyakini berada di Yerusalem, di sebuah tempat yang bernama Bukit Zaitun. Makamnya berada di dalam sebuah masjid yang didirikan pada abad ke-17, di dekat lokasi tersebut terdapat sebuah gereja yang diyakini dulunya sebagai tempat di mana Yesus diangkat ke surga. Di pinggiran kota Kairo, Mesir, kini telah dibangun sebuah masjid yang dinamai Rabaa Al-Adawiya sebagai bentuk penghormatan terhadap tokoh suci tersebut.[7] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Farid al-Din Attar, Muslim Saints and Mystics (Tadhkirat al-Auliya’), diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh A. J. Arberry, (Omphaloskepsis: Iowa, 2000), hlm 42-43.
[2] Ibid., hlm 45-46.
[3] Ibid., hlm 46-47.
[4] Sophia Pandya, Rabia al-Adawiyya, dalam Juan E. Campo, Encyclopedia of Islam (Facts On File, 2009), hlm 578.
[5] N. Hanif, Biographical Encyclopaedia of Sufis (Central Asia and Middle East), (Sarup & Sons: New Delhi, 2002), hlm 108-109.
[6] Ibid., hlm 110.
[7] Sophia Pandya, Ibid., hlm 579.