Mozaik Peradaban Islam

Hudzaifah bin al-Yaman (1): Pemilik Rahasia Nabi Tentang Orang Munafik (1)

in Tokoh

Last updated on July 14th, 2019 02:05 pm

Rasulullah memberikan nama-nama orang munafik kepada Hudzaifah. Umar bin Khattab lalu bertanya kepadanya, “Apakah aku termasuk di antara mereka?” Apa jawaban Hudzaifah?

Foto ilustrasi: islami.co

Abu Nasr as-Sarraj, dalam kitabnya yang berjudul Al-Luma’ fi At-Tashawwuf mengatakan, bahwa di antara sahabat-sahabat Rasulullah, ada beberapa orang yang mendapatkan ilmu khusus yang hanya diberikan kepadanya. Orang-orang tersebut di antaranya adalah Sayyidina Ali bin Abu Thalib KW, beliau pernah berkata, “Rasulullah SAW mengajariku tujuh puluh bab ilmu yang tidak pernah beliau ajarkan kepada siapapun selain aku.”[1]

Selain Sayyidina Ali, adalah Hudzaifah bin al-Yaman RA yang mendapatkan ilmu rahasia dari Rasulullah. Dia memiliki ilmu khusus tentang nama-nama orang munafik, yang hanya Rasulullah berikan untuknya. Sampai-sampai Umar bin Khattab RA pernah menanyakan pada Hudzaifah, “Apakah aku termasuk di antara mereka?” Maksud dari riwayat ini adalah, bahkan Umar yang kelak akan menjadi khalifah kedua pun sangat menghargai dan mengandalkan pengetahuan Hudzaifah, bahkan sejauh mungkin melibatkan pengetahuannya.[2]

Di dalam Alquran, terdapat sebuah surat yang bernama al-Munafiqun. Isinya menceritakan tentang sifat-sifat orang munafik. Namun surat tersebut tidak menyebutkan siapa saja orangnya secara definitif. Perkara siapa saja orangnya, Rasulullah mengetahuinya melalui malaikat Jibril.

Rasulullah kemudian menyampaikan daftar nama-nama orang munafik yang hidup di masa Rasulullah hanya kepada Hudzaifah, dan memintanya agar tak pernah membocorkan nama-nama itu kepada siapapun dan sampai kapan pun.

Terkait pertanyaan Umar di atas, Hudzaifah tidak menjawabnya, dia bungkam dan tak bergeming. Hingga meninggal dunia, Hudzaifah tak pernah bercerita. Itu sebabnya, Hudzaifah disebut sebagai Sang Penyimpan Rahasia Nabi.[3]

Di Bawah Didikan Rasulullah

Hudzaifah adalah seseorang yang memiliki bakat istimewa, yakni kemampuan untuk membaca watak asli seseorang. Ketika belum bertemu dengan Rasulullah pun dia telah memiliki kemampuan untuk melihat jejak-jejak dan gejala orang munafik, bahkan pada saat mereka menyembunyikannya serapat mungkin.[4]

Hudzaifah bin al-Yaman memiliki nama lain (kunyah) Abu Abdallah, dia adalah termasuk di antara para sahabat Nabi yang masuk Islam pada masa awal-awal. Ayah Hudzaifah bernama al-Yaman bin Jabir, namun menurut al-Tabari nama asli ayah Hudzaifah adalah Husail bin Jabir.

Keluarga Husail berasal dari Yaman, namun karena keluarga itu terlibat pertikaian dengan sukunya di Yaman, akhirnya mereka mengungsi ke Madinah sebelum kebangkitan agama Islam. Di Madinah, keluarga mereka disebut dengan “al-Yaman”, yang mana artinya adalah “orang-orang dari selatan”.[5]

Suatu waktu, Husail bersama kedua putranya, Hudzaifah dan Shafwan, datang menemui Nabi di Makkah. Setelah pertemuan tersebut, ketiganya memutuskan untuk masuk Islam. Setelah masuk Islam, bakat alamiah Hudzaifah untuk membaca watak asli seseorang semakin tajam karena didikan Rasulullah.

Terhadap Rasulullah, hatinya benar-benar terbuka, tak ada satupun persoalan hidupnya yang dia sembunyikan. Bersama Rasulullah dia tumbuh menjadi orang yang jujur dan mencintai orang-orang yang teguh membela kebenaran. Sebaliknya, dia tidak menyukai orang-orang yang berbelit-belit, gemar riya, culas, dan bermuka dua.

Dia bergaul dan sangat dekat dengan Rasulullah, dan sungguh, tidak ada tempat lainnya yang dapat membuat kepribadian Hudzaifah dapat berkembang dengan pesat, yakni dalam pangkuan agama Islam, di hadapan Rasulullah dan di tengah-tengah banyak sahabat Rasulullah yang menjadi perintis dari ajaran ini.[6]

Mengenai kedekatannya dengan Rasulullah, Hudzaifah berkisah, “Suatu waktu aku melaksanakan salat dengan Rasulullah SAW pada bulan Ramadan. Dia kemudian bangkit untuk mandi dan aku menutupinya (agar tidak terlihat, tidak dijelaskan dia menutupinya menggunakan apa-pen).

“Ketika air tersisa di wadah, katanya, ‘Jika mau, engkau bisa menggunakannya untuk mandi, kalau tidak, kamu bisa menambahkan air lagi.’ ‘Wahai Rasulullaah,’ aku menjawab, ‘Air sisa milikmu ini lebih kucintai daripada apa pun yang bisa aku tambahkan.’

“Ketika aku mulai mandi, Rasulullah menutupiku. ‘Engkau tidak perlu menutupiku,’ aku bilang. Dia menjawab, ‘Kenapa tidak? Aku harus menutupimu sebagaimana engkau menutupiku?’.”[7]

Demikianlah dia terus belajar bersama Rasulullah, dan bakatnya menjadi benar-benar tumbuh dan berkembang pesat. Dengan keahliannya, dia mampu membaca tabiat dan air muka seseorang. Dalam waktu yang sangat singkat, dia bahkan tanpa susah payah dapat menebak air muka dan mengungkap rahasia-rahasia yang terpendam di dalam hati seseorang.[8] (PH)

Bersambung ke:

Catatan Kaki:


[1] Abu Nasr as-Sarraj, Al-Luma’ fi At-Tashawwuf, Bab 9, dalam John Renard, Knowledge of God in Classical Sufism (Paulis Press, 2004), hlm 89.

[2] Ibid.

[3] Abdul Moqsith Ghazali, “Hudzaifah al-Yaman, Pemegang Nama-Nama Munafik di Masa Nabi”, dari laman https://islami.co/hudzaifah-al-yaman-pemegang-nama-nama-munafik-di-masa-nabi/, diakses 13 Juli 2019.

[4] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 232.

[5] Al-Tabari, Taʾrīkh al-Rusūl wa al-Mulūk: Volume 39, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Ella Landau-Tasseron (State University of New York Press: New York, 1998), hlm 30, 300-302.

[6] Khalid Muhammad Khalid, Op.Cit., hlm 232-233.

[7] Ibnu Asakir, sebagaimana dikutip dari Muntakhab Kanzul Ummaal (Vol.5), hlm 164, dalam Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, The Lives of The Sahabah (Vol.2), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mufti Afzal Hossen Elias (Zamzam Publisher: Karachi, 2004) hlm 700.

[8] Khalid Muhammad Khalid, Op.Cit., hlm 233.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*