Hudzaifah bertanya, “Wahai Rasulullah, dulu kita berada dalam kejahiliyahan dan diliputi kejahatan, lalu Allah mendatangkan kepada kita kebaikan ini, apakah di balik kebaikan ini ada kejahatan?”
Hudzaifah bin al-Yaman RA terus mendalami ajaran Islam dengan didikan Rasulullah SAW, sampai pada akhirnya dia mencapai sebuah kesimpulan: Bahwa bagi siapapun yang ingin mengetahui tentang kebaikan, hal itu akan tampak jelas dan gamblang. Sebaliknya, keburukan adalah sesuatu yang gelap dan samar-samar, oleh karena itu, orang berilmu mesti mempelajari sumber-sumber kejahatan beserta kemungkinan-kemungkinannya.
Demikianlah, Hudzaifah terus-menerus mempelajari kejahatan beserta para pelakunya, juga kemunafikan beserta orang-orang munafik. Berkata Hudzaifah:
“Orang-orang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, tetapi aku bertanya kepadanya tentang kejahatan, karena khawatir terlibat di dalamnya. Pernah aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, dulu kita berada dalam kejahiliyahan dan diliputi kejahatan, lalu Allah mendatangkan kepada kita kebaikan ini, apakah di balik kebaikan ini ada kejahatan?’
“‘Ada,’ ujarnya.
“‘Kemudian apakah setelah kejahatan ada lagi kebaikan?’ tanyaku lagi.
“‘Memang, tetapi kabur dan bahaya.’
“‘Apa bahaya itu?’
“‘Yaitu segolongan umat (yang) mengikuti sunah (tetapi) bukan sunahku, dan mengikuti petunjuk (tetapi) bukan petunjukku.’
“‘Kemudian setelah kebaikan tersebut masihkah ada lagi kejahatan?’ tanyaku lagi.
“‘Masih,’ ujar Nabi, “Yakni para tukang seru di pintu neraka. Barang siapa menyambut seruan mereka, akan mereka lemparkan ke dalam neraka.’
“Lalu kutanyakan kepada Rasulullah, ‘Ya Rasulullah, apa yang harus aku perbuat bila aku menghadapi hal demikian?’
“Ujar Rasulullah, ‘Senantiasa mengikuti jamaah kaum Muslimin dan pemimpin mereka.’
“‘Bagaimana jika mereka tidak memiliki jamaah dan tidak juga pemimpin?’
“‘Hendaklah engkau tinggalkan golongan itu semua, walaupun engkau akan tinggal di rumpun kayu sampai engkau menemui ajal dalam keaadaan demikian.’.”[1]
Berbekal petunjuk dari Rasulullah, Hudzaifah lalu terus menjalani kehidupannya dengan mata terbuka dan hati yang waspada terhadap sumber-sumber fitnah dan seluk beluknya, demi menjaga dirinya sendiri dan memberi peringatan kepada yang lainnya tentang bahaya fitnah.
Hasil dari penelitiannya kemudian dia tuangkan dalam sebuah pemikirannya sendiri, berkata Hudzaifah:
“Sesungguhnya Allah Taala telah membangkitkan Muhammad SAW. Maka diserunya manusia dari kesesatan kepada kebenaran, dari kekafiran kepada keimanan. Lalu yang menerima mengamalkannya, sehingga dengan kebenaran itu, yang mati menjadi hidup, dan dengan kebatilan, yang hidup menjadi mati.
“Kemudian masa kenabian berlalu, dan datang masa kekhalifahan mengikuti jejak beliau, dan setelah itu tiba zaman kerajaan yang durjana.
“Di antara manusia ada yang menentang, baik dengan hati maupun dengan tangan serta lisannya, maka merekalah yang benar-benar menerima yang haq.
“Dan di antara mereka ada yang menentang dengan hati dan lisannya tanpa mengikutsertakan tangannya, maka golongan ini telah meninggalkan suatu cabang dari yang haq.
“Dan ada pula yang menentang dengan hatinya semata, tanpa mengikutsertakan tangan dan lisannya, maka golongan ini telah meninggalkan dua cabang dari yang haq.
“Dan ada pula yang tidak menentang, baik dengan hati maupun dengan tangan serta lisannya, maka golongan ini adalah mayat-mayat bernyawa!”[2]
Hudzaifah juga berbicara tentang jenis-jenis hati manusia:
“Hati itu ada empat macam: (1) Hati yang tertutup, itulah dia hati orang kafir; (2) Hati bermuka dua, itulah hati orang munafik; (3) Hati yang suci bersih, di sana ada pelita yang menyala, itulah hati orang yang beriman; Dan (4) Hati yang berisi keimanan dan kemunafikan.
“Tamsil keimanan itu laksana sebatang kayu yang dihidupi air bersih, sedang kemunafikan itu tak ubahnya bagai bisul yang dialiri darah dan nanah. Maka mana di antaranya yang lebih kuat, itulah yang menang.”[3]
Karena pengetahuannya yang luas tentang berbagai jenis kejahatan dan ketekunannya dalam melawannya, kata-kata Hudzaifah menjadi tajam dan pedas, bahkan terhadap keluarganya sendiri, sebagaimana diakuinya sendiri kepada Rasulullah:
“Aku datang menemui Rasulullah SAW, kataku kepadanya, ‘Wahai Rasulullah, lidahku agak tajam kepada keluargaku, dan aku khawatir kalau-kalau hal itu akan menyebabkanku masuk neraka.’
“Maka ujar Rasulullah SAW, ‘Mengapa engkau tidak beristighfar?’
“‘Sungguh, aku beristighfar kepada Allah setiap hari seratus kali.’.”[4]
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 234-235.
[2] Ibid., hlm 235-236.
[3] Ibid., hlm 236.
[4] Ibid.