Mozaik Peradaban Islam

Hudzaifah bin al-Yaman (3): Perang Uhud

in Tokoh

Last updated on July 16th, 2019 02:07 pm

Al-Yaman bin Jabir (ayah Hudzaifah), dilarang ikut perang karena sudah tua. Namun dia tetap menyusul ikut perang tanpa diketahui siapapun.  Dari kejauhan, dia melihat ayahnya sedang dihujam pedang oleh prajurit Muslim. Dia berteriak, “Ayahku! Ayahku! Jangan, dia ayahku!”

Ilustrasi Perang Uhud dalam Kitab Siyer-i Nebi karya Mustafa
al-Darir, Turki tahun 1594.

Al-Tabari dalam kitabnya, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, mengatakan, meskipun Hudzaifah bin al-Yaman merupakan sahabat yang masuk Islam pada masa generasi paling awal, namun dia tidak ikut serta dalam Perang Badar (624 M/2 H). Namun Al-Tabari tidak menjelaskan lebih rinci apa alasan Hudzaifah tidak mengikuti perang pertama umat Islam tersebut.[1]

Hudzaifah baru diketahui turut serta dalam peperangan pada Perang Uhud (625 M/3 H), perang kedua umat Islam dengan suku Quraish. Perang Uhud adalah merupakan kelanjutan atau babak baru dari Perang Badar. Waktu itu, kaum Quraish di Makkah, tersulut api kebenciannya terhadap orang-orang Muslim karena kekalahan mereka pada Perang Badar, terutama karena begitu banyak terbunuhnya pemimpin dan bangsawan mereka.

Hati orang-orang Quraish membara karena dibakar keinginan untuk balas dendam. Bahkan, mereka sampai mengeluarkan larangan kepada seluruh penduduk Makkah untuk meratapi para korban Perang Badar dan tidak perlu terburu-buru untuk menebus para tawanan perang. Mereka melakukan hal tersebut agar Muslim tidak merasa di atas angin karena mengetahui kegundahan dan kesedihan mereka.

Untuk persiapan perang selanjutnya, mereka juga mengimbau, “Wahai semua orang Quraisy, sesungguhnya Muhammad telah membuat kalian ketakutan dan membunuh orang-orang yang terbaik di antara kalian. Maka tolonglah kami dengan harta kalian untuk memeranginya. Siapa tahu kita dapat menuntut balas.”

Mereka kemudian memenuhi imbauan ini, hingga terkumpul 1.000 unta dan 1.500 dinar. Tentang hal ini Allah SWT kemudian menurunkan ayat:

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan.” (QS Al-Anfal: 36)

Orang Quraish juga meminta Abu Azzah, seorang penyair ternama pada masa itu, untuk menggugah banyak kabilah agar mau memerangi kaum Muslimin. Mereka berjanji kepadanya akan memberikan banyak uang setelah perang. Selain kepada Abu Azzah, mereka juga meminta hal yang sama kepada Musafi bin Abdi Manaf Al-Jumahi, penyair lainnya.

Setelah genap satu tahun, persiapan kaum Quraish telah matang, mereka berhasil mengumpulkan sekitar 3.000 prajurit Quraish, yang di dalamnya sudah termasuk berbagai kabilah-kabilah kecil. Mereka juga membawa lima belas orang wanita untuk dibawa ke medan perang, untuk membangkitkan semangat mereka.

Sementara itu di pihak Rasulullah, setelah ada pembelotan dari kaum munafik yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay, jumlah pasukan Muslimin menyusut hanya tinggal menjadi sekitar 700 orang saja. Demikianlah, dengan jumlah yang bahkan kurang dari setengahnya pihak musuh, kaum Muslimin tetap berangkat ke lembah di hadapan Gunung Uhud yang menjadi medan pertempuran.[2]

Terkait dengan Hudzaifah bin al-Yaman, kemalangan terjadi terhadap ayahnya dalam perang ini. Mahmud bin Labid berkisah, ketika Rasulullah dan pasukan Muslim berbaris menuju ke Uhud, al-Yaman bin Jabir (ayah Hudzaifah) dan Tsabit bin Qais diamankan ke dalam sebuah benteng bersama dengan para wanita dan anak-anak karena mereka sudah terlalu tua untuk ikut berperang.

Kemudian salah satu dari mereka berkata kepada lainnya, “Sungguh engkau sangat memalukan! Apa yang kita tunggu? Demi Allah! Apa yang tersisa dari hidup kita setara dengan kemampuan rasa haus yang dapat ditanggung seekor keledai (dari semua jenis hewan, keledai adalah yang paling tidak tahan dengan rasa haus-pen). Kita semua akan mati baik hari ini maupun besok. Mengapa kita tidak mengangkat pedang kita dan bergabung dengan Rasulullah?”

Kedua lelaki tua itu kemudian menyusul dan bergabung dengan pasukan Muslim tanpa sepengetahuan dan koordinasi dengan siapa pun. Dalam pertempuran, Tsabit bin Qais tewas dibunuh oleh orang Quraish.

Sementara itu, dari kejauhan Hudzaifah melihat ayahnya sedang dihujamkan pedang oleh prajurit Muslim itu sendiri, yang menyangkanya sebagai orang Quraish. Hudzaifah berteriak, “Ayahku! Ayahku! Jangan, dia ayahku!” tetapi ketetapan Allah telah tiba, ayahnya terbunuh oleh pedang seorang Muslim yang tidak mengenalnya.

Para pelaku, setelah mengetahui bahwa mereka telah membunuh al-Yaman bin Jabir, yang juga seorang Muslim, dengan sungguh-sungguh berkata kepada Hudzaifah, “Kami bersumpah demi Allah bahwa kami tidak mengenalnya.”

Hudzaifah menerima perkataan mereka, lalu berkata, “Semoga Allah memaafkanmu, karena Dia adalah yang Maha Penyayang kepada mereka yang menunjukkan pengampunan.” Namun dia tidak memiliki waktu lama-lama untuk bersedih karena pertempuran masih berkecamuk. Diangkatnya lah kembali pedangnya, dia kembali masuk ke dalam arena pertempuran.

Ketika perang telah usai dan berita tersebut sampai kepada Rasulullah, beliau menyuruh kepada mereka yang telah membunuh al-Yaman bin Jabir untuk membayar diyat (uang pengganti). Namun Hudzaifah menolaknya, dia malah meminta uang tersebut dibagikan saja kepada kaum Muslimin.

Demikianlah, karena perilakunya ini, Rasulullah bertambah sayang kepadanya dan derajatnya di mata Rasulullah menjadi semakin tinggi.[3] (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 39, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Ella Landau-Tasseron (State University of New York Press: New York, 1998), hlm 30.

[2] Lebih lengkap tentang Perang Uhud, lihat Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), bab Perang Uhud.

[3] Hakim (Vol.3) hlm 202, dalam Hazrat Maulana Muhammad Yusuf Kandehelvi, The Lives of The Sahabah (Vol.1), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mufti Afzal Hossen Elias (Zamzam Publisher: Karachi, 2004) hlm 505.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*