Mozaik Peradaban Islam

Hudzaifah bin al-Yaman (10): Fitnah Pertama (1)

in Tokoh

Last updated on July 27th, 2019 12:51 pm

Pada saat Ali menjadi khalifah, umat Islam terpecah ke dalam faksi-faksi politik. Pada tahap terburuk, mereka sampai berperang. Lalu di mana posisi Hudzaifah, orang yang dikatakan sebagai Sang Pemilik Rahasia Nabi?

Ilustrasi Perang Siffin. Sumber: The Last Dialogue

Pada tahun 644 M/24 H, Umar bin Khattab RA tewas dibunuh oleh Abu Lukluk, mantan tentara Persia yang menetap di Madinah. Umar lalu digantikan oleh Ustman bin Affan RA, dan dengan demikian dia menjadi khalifah ke-3 dalam pemerintahan Islam pada waktu itu.

Al-Tabari, seorang sejarawan Islam, dalam kitabnya Tarikh al-Rusul wa al-Muluk (Sejarah para Nabi dan Raja) menggambarkan bahwa dari sejak awal kenaikannya menjadi khalifah, Ustman telah mewarisi pemerintahan yang kacau akibat terlalu luasnya wilayah kekuasaan Islam. Karena saking luasnya – yang mencakup wilayah Irak, Iran, Azerbaijan, Armenia, Georgia, Suriah, Yordania, Palestina, Lebanon, Mesir, dan sebagian dari Afghanistan, Turkmenistan, dan Pakistan Barat Daya pada hari ini – maka kontrol pemerintah pusat di Madinah terhadap daerah menjadi lemah.

Para pemimpin suku-suku di daerah enggan menerima otoritas pemerintah pusat dalam bentuk apapun. Di sisi lain, banyak juga sahabat-sahabat Nabi yang terlibat dalam persaingan memperebutkan pengaruh satu sama lain. Lalu dari Mesir dan Irak, muncul gerakan pemberontakan untuk melawan pemerintah pusat. Puncak dari segala krisis internal ini terjadi pada tahun 656 M/35 H ketika Ustman tewas dibunuh oleh kaum pemberontak. Banyak sejarawan yang keheranan, karena Ustman, di tengah situasi krisis, masih mampu untuk menjadi khalifah selama 12 tahun lamanya.[1]

Pasca wafatnya Ustman, umat Islam menjadi terbelah ke dalam faksi-faksi politik. Rakyat jelata juga dibuat kebingungan, mesti ke mana mereka berpihak? Karena faksi-faksi ini terdiri dari sesama Muslim, dan bahkan masih golongan sahabat atau keluarga Nabi. Ali bin Abi Thalib RA, seorang sahabat, keponakan, sekaligus menantu Nabi,  didorong oleh kaum Muhajirin dan Ansar, akhirnya naik menjadi khalifah ke-4 menggantikan Ustman.

Diriwayatkan dari Jafar bin Abdallah al-Muhammadi, dari Amr dan Ali, dari Husain, dari ayahnya, dari Abu Maimunah, dari Abu Bashir al-Abidi,  “Aku berada di Madinah ketika Ustman terbunuh. Muhajirin dan Ansar berkumpul, di antara mereka Talhah dan al-Zubair, dan mereka datang ke Ali dan berkata, ‘Abu Hasan (panggilan Ali), izinkan kami memberimu baiat.’.

“Dia berkata, ‘Aku tidak perlu menjadi khalifah. Bagaimanapun aku tetap bersama kalian, dan siapa pun yang kalian pilih aku akan menerima. Jadi, tentukan saja pilihanmu.’.

“Mereka menjawab, ‘Kami tidak akan memilih siapa pun selain engkau.’.

“Mereka datang dan menemuinya beberapa kali setelah pembunuhan Ustman, dan pada kunjungan terakhir mereka berkata kepadanya, ‘Kepentingan orang-orang tidak terlayani kecuali oleh otoritas tunggal, dan semuanya sudah terlalu lama.’.

“Dia menjawab, ‘Kalian telah datang untuk menemuiku beberapa kali, dan sekarang kalian (datang) lagi, jadi izinkan aku memberi saran. Jika kalian menerimanya, aku akan setuju untuk mengambil kepemimpinan, tetapi jika kalian tidak, aku akan berhenti dari semua ini.’

“Mereka menjawab, ‘Apa pun yang engkau katakan, kami akan menerimanya, insya Allah.’

“Dia kemudian menaiki mimbar, dan orang-orang berkerumun di sekitarnya, dan dia berkata, ‘Aku tidak ingin untuk memerintah kalian, tetapi kalian bersikeras bahwa aku harus. Tetapi kalian harus mengetahui, bagaimanapun, bahwa aku tidak meminta wewenang terhadap apa-apa yang kalian tidak inginkan, kecuali untuk memegang kunci harta kalian. Ketahuilah juga, bahwa aku tidak akan pernah mengambil dirham darinya tanpa izin kalian. Apakah ini dapat diterima?’.

“Mereka setuju. Lalu dia berkata, ‘Ya Allah, bersaksilah untuk mereka!’ dan dia menerima baiat mereka dengan kondisi (yang dimintanya) ini.

Abu Bashir menambahkan, “Aku berdiri pada hari itu di hadapan mimbar Rasulullah, dan aku mendengar kata-katanya (Ali).”[2]

Dalam riwayat-riwayat lainnya, Al-Tabari juga menggambarkan, orang-orang berbondong-bondong mengejar Ali di mana pun dia terlihat, di pasar, di masjid, di kebun kurma, dan di berbagai tempat lainnya, mereka menginginkan untuk mem-baiat Ali.[3]

Akan tetapi, itu semua baru permulaan, peristiwa-peristiwa yang terjadi selanjutnya di masa kepemimpinan Ali adalah sebuah turbulensi besar. Beberapa faksi lainnya menentang kepemimpinan Ali, bahkan sampai pada tahap angkat senjata. Beberapa sejarawan menyebutnya dengan “Masa Fitnah Pertama” di dalam Islam.

Masih pada tahun yang sama pada saat Ali diangkat menjadi khalifah, Aisyah binti Abu Bakar RA, istri ketiga Nabi Muhammad SAW, bersama Talhah dan al-Zubair mengobarkan perang terhadap Ali dalam sebuah perang yang disebut dengan Perang Basra di Irak, atau ada juga yang menyebutnya Perang Unta.

Belum habis luka-luka Muslim dari perang saudara ini, Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Suriah, keponakan Ustman, menuntut keadilan atas kematian Ustman, dan menyatakan bahwa kepemimpinan Ali tidak sah. Puncaknya terjadi pada tahun 657 M ketika Ali dan Muawiyah sama-sama mengangkat senjata dalam Perang Siffin.[4]

Lalu bagaimana dengan Hudzaifah bin al-Yaman? Pada masa-masa terbunuhnya Ustman dia tidak berada di Madinah, melainkan jauh berada di Kufah.[5] Atau dalam versi lainnya dikatakan bahwa dia sedang berada di Madain, menjabat sebagai Gubernur di sana.[6] Apa yang akan dikatakan oleh sahabat kepercayaan Nabi itu, yang disebut-sebut sebagai “Sang Penyimpan Rahasia Nabi”, di mana dia akan berdiri, dan apa sikapnya dalam menghadapi periode fitnah ini? (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Lihat Al-Ṭabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 15, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh R. Stephen Humphreys (State University of New York Press: New York, 1990).

[2] Al-Ṭabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 16, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Adrian Brockett (State University of New York Press: New York, 1997), hlm 2-3.

[3] Ibid., hlm 3-6.

[4] Encyclopaedia Britannica, “Fitnah”, dalam https://www.britannica.com/topic/fitnah, diakses 25 Juli 2019.

[5] Fu’ad Jabali, The Companions of the Prophet: A Study of Geographical Distribution and Political Alignments (Brill, 2003), hlm 8.

[6] Hasan ibn Muhammad Al Daylami, Irshad Al Qulub: Vol 1, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Jerrmein Abu Shahba, dalam” The Narration (Hadeeth) of Hudhayfah Ibn Alyaman”, dalam https://www.al-islam.org/articles/narration-hadeeth-hudhayfah-ibn-alyaman-hasan-ibn-muhammad-al-daylami, diakses 25 Juli 2019.

2 Comments

  1. Saya tertegun dan harus 3x mengulangi agar tdk salah membaca pragraf ini

    Masih pada tahun yang sama pada saat Ali diangkat menjadi khalifah, Aisyah binti Abu Bakar RA, istri ketiga Nabi Muhammad SAW, bersama Talhah dan al-Zubair mengobarkan perang terhadap Ali dalam sebuah perang yang disebut dengan Perang Basra di Irak, atau ada juga yang menyebutnya Perang Unta.

    Apa sebab Aisyah RA mengobarkan perang terhadap Sayyidina Ali?

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*