Dalam perang melawan Persia, tentara Muslim hanya berjumlah 30.000 orang, sementara musuh 150.000 orang. Nahas, panglima Muslim tewas, dan sesuai perintah Umar bin Khattab, Hudzaifah mesti maju menjadi panglima.
Selepas wafatnya Rasulullah SAW, umat Islam terlibat peperangan dengan Kekaisaran Persia, Sasaniyah, sebuah kekaisaran tua yang sudah ada dari sejak masa pra-Islam. Dalam kurun waktu sekitar 400 tahun sebelumnya, Sasaniyah adalah kekuatan terbesar di Timur Dekat, ia menjadi rival bagi kekuatan raksasa lainnya, Kekaisaran Roma. Kekhalifahan Islam terlibat perang dengan Kekaisaran Sasaniyah dalam jangka waktu yang cukup lama, yakni dari tahun 633 hingga 651 M.[1]
Pada masa pemerintahan khalifah ke-2, Umar bin Khattab RA (menjadi khalifah tahun 634-644 M), jumlah tentara Muslim berkembang sangat pesat jauh melampaui pada masa-masa sebelumnya, dan pada masa inilah umat Islam sudah bisa mengerahkan kekuatan tempurnya dalam skala yang amat besar.[2]
Namun apabila dibandingkan dengan Kekaisaran Sasaniyah, tetap saja, jumlah tentara Muslim masih jauh di bawahnya. Dalam pertempuran puncak melawan Sasaniyah, jumlah tentara Muslim hanya sekitar 30.000 orang. Jika dibandingkan dengan tentara Sasaniyah yang jumlahnya mencapai 150.000 orang, maka jumlah tentara Muslim hanya seperlimanya.[3]
Kembali kepada sosok Hudzaifah bin al-Yaman RA, jika sebelumnya dia lebih dikenal sebagai seorang pemikir ketimbang seorang prajurit, maka pada era Umar bin Khattab pandangan tersebut akan tertolak. Nyatanya Hudzaifah menjadi sosok penting dalam peperangan di Persia. Dia menjadi komandan dalam pertempuran-pertempuran di kota-kota di Hamadan, Rai, dan Danawar.
Pada pertempuran puncak melawan Sasaniyah di kota Nahawand (sekarang bernama Nahavand, berada di provinsi Hamadan, Iran) pada tahun 642 M. Umar mengeluarkan sebuah dekrit tertulis:
“Jika kaum Muslimin telah berkumpul, maka masing-masing panglima hendaklah mengepalai bawahannya, sedangkan yang akan menjadi Penglima Besar adalah Numan bin Muqarrin. Dan seandainya Numan tewas, maka panji-panji komando hendaklah dipegang oleh Hudzaifah, dan kalau dia tewas juga, maka oleh Jarir bin Abdillah.”[4]
Demikianlah, Numan berangkat memimpin pasukan Muslim. Di pihak Sasaniyah, mereka dipimpin oleh Firuzan. Sasaniyah menggunakan strategi denfensif, dan mereka berlindung dalam sebuah benteng yang kuat. Setelah beberapa pertempuran, Numan melancarkan taktik pura-pura kalah, pasukan Muslim melarikan diri dari medan perang.
Tergiur akan kemenangan, Firuzan dan pasukan Sasaniyah kemudian meninggalkan benteng dan mengejar pasukan Muslim. Pengejaran ini terbukti menjadi kesalahan taktis terbesar karena orang-orang Sasaniyah dipaksa untuk bertarung di medan yang tidak menguntungkan. Dalam pengejaran itu, pasukan Sasaniyah dijebak di ngarai di antara dua gunung. Di tempat inilah kemudian pasukan Muslim melancarkan serangan baliknya.[5]
Namun nahas, baik Firuzan maupun Numan sama-sama tewas di tempat tersebut. Dengan demikian, sesuai dengan perintah Umar, Hudzaifahlah yang kini mesti mengambil kendali atas peperangan. Dilaporkan, sebelum bendera tentara Muslim jatuh ke tanah, Hudzaifah segera menyambutnya dengan tangan kanannya. Dia menggiring tentara Muslim untuk terus maju ke depan dengan keberanian yang luar biasa.
Selagi perang masih berlangsung, Hudzaifah memberikan perintah, bahwa sebelum perang berakhir, hendaknya kematian Numan dirahasiakan. Hudzaifah kemudian memanggil Naim bin Muqarrin, adik Numan. Dia meminta Naim menggantikan posisi Numan, tidak jelas apakah tindakannya ini sekedar bentuk penghormatan, atau sebagai tipu daya untuk pihak musuh, menyamarkan Numan dengan adiknya.
Semua itu dilakukan Hudzaifah dengan cekatan dalam waktu hanya beberapa saat, karena roda peperangan seringkali berputar dengan begitu cepat. Hudzaifah kemudian melaju kembali dengan kecepatan penuh, merangsek tentara Sasaniyah sambil berteriak, “Allahu Akbar, Dia telah menepati janji-Nya! Telah dibela-Nya tentara-Nya!”
Hudzaifah kemudian memutar tali kekang kudanya, menghadap tentara Muslim sambil berteriak, “Hai umat Muhammad SAW, pintu-pintu surga telah terbuka lebar, bersiap menyambut kedatangan tuan-tuan. Jangan biarkan ia menunggu lebih lama! Ayolah wahai pahlawan-pahlawan Badar! Majulah pejuang-pejuang Uhud, Khandaq, dan Tabuk!”[6]
Hudzaifah terus memompa semangat prajurit Muslim, memelihara semangat tempur dan ketahanan pasukan Muslim. Meski dengan jumlah pasukan yang jauh lebih sedikit, tentara Muslim akhirnya meraih kemenangan yang gemilang. Dilaporkan, dalam Perang Nahawand, jumlah korban tentara Persia mencapai 100.000 orang, jumlah yang teramat besar.[7]
Bagi bangsa Persia, perang ini menjadi sebuah titik balik dalam sejarah mereka. Dan akan menjadi penentu bagi masa depan mereka selanjutnya. Kekaisaran Sasaniyah resmi berakhir pada tahun 651 M, ketika kaisar terakhir mereka, Yazdgird III, tewas dalam sebuah pengejaran oleh tentara Muslim di kota Marw (sekarang berada di Khurasan). Namun dia tewas bukan oleh tentara Muslim, melainkan oleh pemberontakan setempat.
Setelahnya, Persia menjadi wilayah kekuasaan Muslim, dan banyak warganya yang masuk Islam. Namun kebudayaan Persia tidak hilang akarnya, mereka terus tumbuh dan bahkan banyak diadopsi oleh orang-orang Islam, bahkan sampai hari ini.[8] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Alonso Constenla Cervantes, “Sasanian Empire”, dari laman https://www.ancient.eu/Sasanian_Empire/, diakses 20 Juli 2019.
[2] David Nicolle, Armies of The Muslim Conquest (Osprey Publishing, 1993), hlm 8.
[3] Encyclopaedia Britannica, “Battle of Nahāvand”, dari laman https://www.britannica.com/event/Battle-of-Nahavand, diakses 20 Juli 2019.
[4] Khalid Muhammad Khalid, Karakteristik Perihidup 60 Sahabat Rasulullah, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Mahyuddin Syaf, dkk (CV Penerbit Diponegoro: Bandung, 2001), hlm 240.
[5] Encyclopaedia Britannica, Loc.Cit.
[6] Khalid Muhammad Khalid, Op.Cit., hlm 240-241.
[7] Encyclopaedia Britannica, Loc.Cit.
[8] Alonso Constenla Cervantes, Loc.Cit.