Ibrahim bin Adham adalah salah satu tokoh sufi yang paling terkemuka pada abad ke 2 H. Dia menjadi gambaran ideal bagi para sufi generasi berikutnya terutama karena telah meninggalkan kemewahan pada masa mudanya.
Redaksi Gana Islamika sebelumnya sudah pernah memuat artikel tentang Ibrahim bin Adham, namun artikel tersebut merupakan bagian dari rangkaian seri artikel tentang “Orang-orang yang Membuang Singgasananya Demi Menjadi Hamba Allah”.
Kisah hidup Ibrahim bin Adham di dalam artikel tersebut hanya merupakan garis besarnya, oleh karena itu dalam artikel kali ini redaksi hendak menampilkan kisah hidupnya secara lebih menyeluruh.
Tetapi bagaimanapun, bagi pembaca yang tertarik untuk membaca artikel terdahulu itu dapat membacanya melalui tautan ini: Orang-orang yang Membuang Singgasananya Demi Menjadi Hamba Allah (2); Ibrahim bin Adham Membeli Kemiskinan Seharga Kerajaan Dunia.
Baiklah, tanpa berlama-lama sekarang mari kita simak biografi singkat dari Ibrahim bin Adham. Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Adham Mansur bin Yazid bin Djabir (Abu Ishak) al-Idjli. Dia dilahirkan di Balkh, Khurasan (daerah ini sekarang meliputi sebagian Iran, Afghanistan, dan Asia Tengah).
Dia berasal dari sebuah lingkungan keluarga yang dulunya merupakan orang Kufah (sekarang di Irak), yang merupakan bagian dari Kabilah Bani Bakr bin Wa’il. Menurut N. Hanif, penulis buku Biographical Encyclopedia of Sufis in South Asia, di antara sekian banyak versi tentang tahun kematiannya, yang paling bisa dipercaya adalah pada tahun 161 H/777-778 M.
Ibrahim bin Adham adalah salah satu tokoh sufi yang paling terkemuka pada abad ke 2 H/8 M yang kisah hidupnya banyak disampaikan dalam bentuk legenda atau anekdot, terutama tentang kisah kezuhudannya.
R.A. Nicholson – seorang orientalis pencinta Jalaluddin Rumi dan penerjemah karya-karyanya – menggambarkan sosok Ibrahim sebagai seorang zuhud dan penyendiri yang menjalani kehidupan secara praktis namun tidak melewati batas yang memisahkan kezuhudan dari mistisisme.
Sosok Ibrahim menjadi gambaran ideal bagi para sufi generasi berikutnya terutama karena kemurahan hatinya, yang diilustrasikan oleh banyak kisah tentang kebaikannya kepada sahabat dan capaian besar pengorbanan kehidupan pribadinya, yang sangat kontras dengan kemewahan yang seharusnya dia nikmati pada masa mudanya.[1]
Meski demikian, ke depan, kami tetap akan menampilkan kisah hidupnya yang dianggap sebagai legenda atau anekdot itu. Kisah-kisah seperti ini di antaranya banyak disampaikan oleh Farid al-Din Attar dalam Tadhkirat al-Awliya.
Menurut A. J. Arberry, penerjemah Tadhkirat al-Awliya ke dalam bahasa Inggris, seringkali kisah-kisah sufi dipenuhi dengan anekdot, percakapan-percakapan, dan hagiografi yang penuh dengan makna tersembunyi, yang perlu direnungkan kembali pesan dan hikmah yang terkandung di dalamnya, tidak seperti pembelajaran Islam formal pada umumnya.[2]
Dengan demikian, kisah hidup Ibrahim bin Adham tidak mesti saklek dipahami secara harfiah, karena di dalamnya banyak kisah-kisah yang bernuansa keajaiban (karamah), melainkan ia sebaiknya diresapi hikmah-hikmah dan pelajaran akhlaknya. Meskipun, tentu sah-sah saja apabila pembaca ingin memaknainya secara harfiah.
Sementara itu, dalam sumber-sumber literatur Arab terdahulu, terutama yang berasal dari Abu Nuaim al-lsfahani dan Ibnu Asakir, sketsa garis besar hidup Ibrahim bin Adham berjalan seperti ini (tanpa melibatkan legenda dan anekdot) :
Ibrahim bin Adham lahir di lingkungan komunitas Arab yang menetap di Balkh sekitar tahun 112 H/730 M, atau mungkin sebelumnya, dan hijrah dari Khurasan ke Suriah beberapa waktu sebelum tahun 137 H/754 M.
Selama sisa hidupnya dia menjalani kehidupan yang semi nomaden, kebanyakan di wilayah ini, pergi ke utara sampai sejauh ke Sungai Sayhan (sekarang di selatan Turki) dan ke selatan sampai sejauh ke Ghazza (sekarang di Palestina).
Dia tidak mau mengemis dan lebih memilih untuk bekerja menggunakan tangannya untuk mata pencahariannya, mulai dari menuai, memetik atau menggiling jagung, atau merawat kebun.
Selain itu, dia kemungkinan ikut serta dalam operasi militer di perbatasan untuk melawan Bizantium, yaitu di benteng perbatasan Thughur (di utara Suriah, di Turki modern), karena hal ini berulang kali disebutkan dalam anekdot kisahnya.
Berdasarkan catatan dari Abu Nuaim, dia dilaporkan telah ikut serta dalam dua ekspedisi angkatan darat dan dua ekspedisi angkatan laut melawan Bizantium. Dalam ekspedisi lautnya yang kedua, Ibrahim bin Adham dilaporkan meninggal karena “(penyakit) perut”. Informasi ini juga dikonfirmasi oleh catatan tidak langsung yang disampaikan oleh Ibnu Asakir.
Dia dimakamkan di sebuah pulau di Bizantium. Menurut beberapa catatan sejarah, makamnya berada di dekat sebuah benteng yang bernama Sukin, atau Sufanan. Kisah lain menempatkan lokasi meninggalnya berada di Mesir.
Sementara itu dalam berbagai catatan sejarah lain yang kurang dapat dipercaya, makamnya dikatakan berada di Tirus (Lebanon), di Baghdad (Irak), di Damaskus (Suriah), di ‘kota Luth’ (Kafr Barik), di Gua Aramaya dekat Yerusalem, dan terakhir, yang paling banyak diyakini orang-orang, di Jabala, sebuah pantai di Suriah.[3] (PH)
Bersambung ke:
Catatan kaki:
[1] N. Hanif, Biographical Encyclopaedia of Sufis (South Asia), (Sarup & Sons: New Delhi, 2000), hlm 152.
[2] Farid al-Din Attar, Muslim Saints and Mystics (Tadhkirat al-Auliya’), diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh A. J. Arberry, (Omphaloskepsis: Iowa, 2000),hlm xi, pengantar oleh A. J. Arberry.
[3] N. Hanif, Op.Cit., hlm 153.