Di Merv, Ibrahim melihat seseorang yang hampir tenggelam di sungai. Dia berseru, “Ya Allah, selamatkanlah dia!” Orang itu mengambang di udara.
Baiklah, mari kita lanjutkan kisah Ibrahim bin Adham sebagaimana yang disampaikan oleh Farid al-Din Attar dalam Tadhkirat al-Awliya. Pada artikel sebelumnya telah disebutkan bahwa Ibrahim bertemu dengan Nabi Khidr as sebanyak dua kali, dan karena kata-katanya dia menjadi kebingungan.
Sekarang mari kita lanjutkan babak selanjutnya dari perjalanan spritual Ibrahim bin Adham:
“Siapkan kudaku!” seru Ibrahim akhirnya. “Aku akan pergi berburu. Aku tidak tahu apa yang telah menimpaku hari ini. Ya Allah, Tuhanku, bagaimana urusan ini akan berakhir?”
Kudanya dinaiki dan dia melanjutkan perburuan. Dengan cepat dia berpacu melintasi gurun, seolah-olah dia tidak tahu apa yang dia lakukan. Dalam keadaan bingung itu dia terpisahkan dari pasukannya.
Di tengah perjalanan tiba-tiba dia mendengar sebuah suara. “Bangkitlah!” Dia pura-pura tidak mendengarnya, dan melanjutkan perjalanan.
Untuk kedua kalinya suara itu muncul, tapi dia tidak mengindahkannya. Untuk ketiga kalinya dia mendengar hal yang sama, dan menyeret dirinya lebih jauh.
Kemudian suara itu terdengar untuk keempat kalinya. “Bangkitlah, sebelum engkau dibangkitkan!” Sekarang dia kehilangan seluruh kendali dirinya.
Saat itu juga seekor rusa muncul, dan Ibrahim bersiap untuk memburunya. Rusa itu berbicara kepadanya. “Aku telah diperintahkan untuk memburumu. Engkau tidak dapat memburuku. Apakah untuk hal ini engkau diciptakan, atau apakah ini yang diperintahkan kepadamu?”
“Argh, apa ini yang telah menimpaku?” Ibrahim menangis.
Dan dia memalingkan wajahnya dari rusa itu. Dia kemudian mendengar kata-kata yang sama keluar dari gagang pelana. Teror dan ketakutan merasukinya. Firman itu menjadi lebih jelas lagi, karena Allah Yang Maha Kuasa berkehendak untuk menuntaskan transaksi tersebut.
Untuk ketiga kalinya suara yang sama terdengar dari kerah jubahnya. Dengan demikian, firman itu telah disempurnakan, dan langit terbuka baginya.
Keimanan yang kuat sekarang terbangun di dalam dirinya. Dia turun, seluruh bagian pakaiannya, dan kudanya sendiri, ditetesi oleh air matanya. Dia melakukan pertobatan yang sebenar-benarnya dan ikhlas.
Menyisi dari jalan, dia melihat seorang penggembala yang berpakaian kain wol dan topi dari kain wol, menggiring dombanya ke hadapannya. Melihat lebih dekat, dia menyadari bahwa penggembala itu adalah budaknya.
Dia memberikan kepadanya jubahnya yang bersulam emas dan topinya yang berhiaskan berlian, bersama dengan domba-dombanya, dan mengambil darinya pakaian dan topinya yang terbuat dari kain wol. Semua ini dia pakai untuk dirinya sendiri.
Seluruh bala tentara malaikat berdiri menatap Ibrahim.
“Betapa kerajaan telah datang bagi putra Adham,” seru mereka. “Dia telah membuang pakaian kotor dunia, dan telah mengenakan jubah kemiskinan yang mulia.”
Dengan keaadaan seperti itu dia melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki untuk mengembara ke pegunungan dan gurun yang tak berujung, menyesali dosa-dosanya, sampai dia tiba di Merv (sekarang di Turkmenistan).
Di sana dia melihat seorang pria yang terjatuh dari jembatan dan hampir tewas, tersapu oleh sungai. Ibrahim berteriak dari jauh. “Ya Allah, selamatkanlah dia!”
Orang itu kemudian mengambang di udara sampai orang-orang yang menolong tiba dan menariknya. Mereka tercengang melihat Ibrahim.
“Orang macam apa ini?” seru mereka.
Ibrahim pergi dari tempat itu, dan melanjutkan perjalanan ke Nishapur (sekarang di Iran).[1] Di sana dia mencari tempat yang terpencil, sebuah tempat yang memungkinkan bagi dirinya untuk menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Allah.
Akhirnya dia menemukan gua (yang kelak menjadi) terkenal (karena Ibrahim pernah tinggal di sana) itu, tempat dia tinggal di sana selama sembilan tahun, setiap tiga tahun di masing-masing ceruk (artinya di sana ada tiga ceruk).
Siapa yang tahu apa yang dikerjakannya di sana sepanjang siang dan malam? Karena diperlukan seseorang yang kuat dengan kegigihan yang luar biasa untuk dapat berada di sana sendirian pada malam hari.
Setiap Kamis dia akan mendaki ke atas gua dan mengumpulkan seikat kayu bakar. Keesokan paginya dia akan berangkat ke Nishapur, dan di sana dia menjualnya.
Setelah melaksanakan salat Jumat, dia akan membeli roti dengan uang yang diperolehnya, memberikan setengahnya kepada pengemis dan menggunakan setengahnya lagi untuk berbuka puasa. Jadi dia melakukan hal ini setiap minggu.
Suatu malam pada musim dingin dia berada di ceruk gua itu. Cuacanya sangat dingin, dan dia harus memecahkan es (agar menjadi air) untuk mencuci. Sepanjang malam dia menggigil, salat sampai subuh. Menjelang fajar, dia terancam mati karena kedinginan.
Secara tidak sengaja, pikiran tentang api datang ke pikirannya. Dia melihat bulu di tanah. Membungkus dirinya dengan bulu itu, dia tertidur.
Ketika dia bangun, hari sudah siang hari, dan dia menjadi hangat. Dia melihat, dan menyadari bahwa bulu itu adalah seekor naga, matanya bagaikan cawan berdarah. Ketakutan yang amat sangat menerpanya.
“Ya Allah,” dia berseru, “Engkau mengirimkan benda ini kepadaku dalam bentuk kelembutan. Sekarang aku melihatnya dalam bentuk yang mengerikan. Aku tidak mampu menanggungnya.”
Naga itu segera bergerak menjauh, dua atau tiga kali mengusap wajahnya di atas tanah di hadapannya, dan menghilang.[2] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan kaki:
[1] Jika benar apa yang dikatakan oleh N. Hanif bahwa Ibrahim bin Adham wafat pada tahun 777-778 M, maka pada saat dia mendatangi Nishapur, kemungkinan daerah tersebut sedang pada masa-masa akhir penguasaan Dinasti Umayyah (berkuasa 661–750 M), atau awal penguasaan Dinasti Abbasiyah (berkuasa 750–1258 M).
[2] Farid al-Din Attar, Muslim Saints and Mystics (Tadhkirat al-Auliya’), diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh A. J. Arberry, (Omphaloskepsis: Iowa, 2000), hlm 67-70.