Mozaik Peradaban Islam

Invasi Prancis ke Aljazair (18): Abdul Qadir (15)

in Monumental

Beberapa anak Muslim menggambar salib, lalu meludahi dan menghamburkan sampah di atasnya. Orang-orang Kristen marah, mereka dipukuli. Hal inilah yang memicu kerusuhan besar di Damaskus pada tahun 1860.

Kerusuhan di Damaskus

Pada hari Minggu, 8 Juli 1860, di salah satu sudut kota Damaskus, beberapa anak lelaki Muslim menggambar salib di atas trotoar di daerah pemukiman orang-orang Kristen, mereka kemudian meludahi dan menghamburkan sampah di atasnya. Tindakan mereka mengundang kemarahan dari orang-orang Kristen dan anak-anak itu akhirnya dibekuk oleh mereka. Orang-orang Kristen kemudian mengadu kepada Ahmad Pasha, Gubernur Ustmaniyah (Ottoman) untuk Damaskus. Ahmad Pasha menyatakan siap bekerja sama, dan dia memerintahkan para pelakunya untuk ditangkap dan dipukuli. Keesokan harinya anak-anak tersebut dibawa ke lokasi kejadian dan dipaksa untuk membersihkan trotoar.[1]

Melihat anak-anak Muslim itu diperlakukan sedemikian rupa, para Muslim marah. Mobilisasi massa segera berjalan, dan kini mereka siap beraksi. Seluruh rangkaian kejadian itu tampaknya dibuat dengan sengaja agar seolah-olah Ahmad Pasha berusaha membela orang-orang Kristen, namun pada saat yang bersamaan membuat marah umat Islam. Dan provokasi itu berhasil. Peristiwa berikutnya yang terjadi adalah salah satu peristiwa yang paling terkenal dalam sejarah Timur Tengah modern, yakni sebuah kerusuhan besar. Selama seminggu penuh, di Damaskus terjadi penghancuran, penjarahan, dan pembunuhan besar-besaran. Sementara itu, keberadaan Abdul Qadir di Damaskus dalam upaya pencegahan agar kerusuhan itu tidak menjadi lebih buruk menjadi sangat vital. Kisah perjuangannya di tengah kerusuhan merupakan kisah kepahlawanan yang luar biasa.[2]

Mengetahui bahwa perwakilan internasional akan menjadi sasaran utama gerombolan massa yang marah terhadap keberadaan orang-orang Barat, Abdul Qadir mengirim utusan ke setiap konsul yang tinggal atau memiliki kantor di kawasan Kristen, mendesak mereka untuk segera melarikan diri ke rumahnya. Beberapa konsul sempat diselamatkan, sementara yang lainnya sudah terlanjur kena amuk massa. Salah seorang dokter Prancis yang selamat di kemudian hari membuat catatan kronologis, di antaranya dia berkata, “Pada saat-saat kejadian di tengah-tengah penderitaan yang sulit dibayangkan, bagaimanapun, surga telah mengirimkan seorang penyelamat! Abdul Qadir tiba, dikelilingi oleh orang-orang Aljazairnya, sekitar empat puluh dari mereka. Dia berkuda dan tidak bersenjata, sosoknya yang tampan tampak tenang dan mengesankan.”[3]

 

Misi Penyelamatan Orang-orang Kristen

Kehancuran yang mengerikan telah melanda daerah Kristen. Massa kota Damaskus — yang awalnya sebagian besar dari rakyat kelas bawah — mulai disusupi oleh Muslim dan Darzi (Druze) dari luar kota, mereka telah kehilangan akal sehatnya, dibungkus oleh nafsu untuk menjarah dan menghancurkan. Para perusuh pertama-tama menargetkan rumah-rumah orang Kristen yang kaya, merampas semua yang bisa dibawa pergi, bahkan hingga kayu dan ubin. Tak lama kemudian seluruh wilayah Kristen terbakar. Beberapa wanita dan anak-anak mencoba melarikan diri dari nyala api dengan berlari melintasi atap rumah yang datar, melompati gang-gang di antara setiap rumah. Gereja, rumah, dan toko semuanya dijarah, dan banyak orang terbunuh.[4]

Sementara itu Abdul Qadir telah mempersiapkan sekitar seribu pasukannya, banyak di antara mereka yang mantan pejuang, bersenjata dan siap untuk bertempur. Sekarang prioritas utama mereka adalah untuk menyelamatkan orang-orang Kristen terlebih dahulu. Di tengah-tengah kekacauan ini, Abdul Qadir sendiri bergegas turun ke jalanan, memanggil orang-orang Kristen untuk mengikutinya ke tempat yang aman.[5] Dia menceritakan kisahnya dalam sebuah surat yang ditulis pada 18 Juli 1860, yang akhirnya diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Inggris dan diterbitkan oleh New York Times. “Melihat hal-hal yang begitu menyedihkan,” dia menulis, “Aku tidak kehilangan waktu untuk melindungi orang-orang Kristen yang malang ini. Aku turun ke jalanan, membawa serta orang-orang Aljazair, dan kami dapat menyelamatkan nyawa pria, wanita, dan anak-anak, dan membawa mereka pulang bersama kami.”[6]

Pemukiman Kristen di kota Damaskus setelah kerusuhan tahun 1860. Photographer tidak diketahui.

Abdul Qadir juga mengirimkan sekelompok pasukan bersenjatanya ke pemukiman Kristen, mereka berteriak-teriak, “Kami adalah orang-orang Abdul Qadir, jangan takut! Kami datang untuk menyelamatkan Anda.” Orang-orang mulai bermunculan dari tempat persembunyiannya, banyak yang kotor karena bersembunyi di saluran air dan sumur. Sejumlah pengungsi mulai menemukan jalan ke rumah besar Abdul Qadir. Dari berbagai catatan sejarah dan seperti yang digambarkan oleh Abdul Qadir, dia dan orang-orangnya tidak mendapatkan masalah berarti ketika melakukan misi penyelamatan. Reputasi orang-orang Aljazair sebagai para jihadis yang pernah berperang melawan Prancis tampaknya masih cukup ditakuti oleh massa yang sedang mengamuk.[7]

Beberapa insiden menonjol lainnya yang tercatat dalam sejarah adalah ketika Abdul Qadir pergi ke biara Fransiskan dan mendesak para biarawan untuk ikut bersamanya. Tetapi para biarawan tersebut tampaknya tidak percaya kepada Abdul Qadir, sehingga mereka menolak untuk ikut. Nahas, nyawa mereka menjadi sia-sia, karena tidak lama kemudian biara tersebut dibakar massa dan mereka berada di dalamnya. Upaya penyelamatan lain memiliki hasil yang jauh lebih baik. Di sebuah panti asuhan, yang untungnya di luar lingkungan Kristen, para biarawati, suster, dan pendeta Lazaris dengan cepat menyuruh murid-murid mereka untuk bersama-sama melarikan diri. Dengan masih menggunakan seragam, bahkan banyak di antara mereka yang tidak sempat menggunakan alas kaki, mereka bergegas. Abdul Qadir dan putra-putranya, dengan pasukan Aljazair bersenjata yang mengamankan di setiap sisi, memimpin proses penyelamatan beberapa ratus anak-anak, ditambah para biarawati dan biarawan, ke tempat aman ke rumah Abdul Qadir.[8] (PH)

Bersambung….

Sebelumnya:

Invasi Prancis ke Aljazair (17): Abdul Qadir (14)

Catatan Kaki:

[1] Elsa Marston, The Compassionate Warrior: Abd el-Kader of Algeria (Wisdom Tales, 2013), hlm 86.

[2] Ibid., hlm 86-87.

[3] Ibid., hlm 87

[4] Ibid., hlm 88.

[5] Ibid., hlm 87-88.

[6] “The Damascus Massacres.; Letter from Abd-El-Kader.”, dari laman https://www.nytimes.com/1860/08/20/archives/the-damascus-massacres-letter-from-abdelkader.html, diakses 3 Januari 2019.

[7] Ibid., hlm 88.

[8] Ibid., hlm 88-89.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*