“Orang-orang Kristen ini adalah tamuku. Cobalah untuk mengambil salah satu dari mereka, dan kalian akan tahu seberapa baik prajuritku bertarung. Kami akan berjuang untuk sebuah keadilan, seperti yang telah kami lakukan sebelumnya!” seru Abdul Qadir kepada para perusuh.
Pengepungan di Rumah Abdul Qadir
Ketika kerusuhan di Damaskus pecah, kota ini bagaikan wilayah liar, kekuatan dan penegakkan hukum menjadi tidak berlaku. Pemimpin agama setempat juga tidak melakukan hal apapun. Di awal pecahnya kekerasan, Abdul Qadir bergegas ke rumah sang mufti, di sana dia diberitahu bahwa mufti sedang tidur dan tidak dapat diganggu. Lebih buruk lagi, Ahmad Pasha, Gubernur Ustmaniyah (Ottoman) untuk Damaskus juga tidak mengambil tindakan apapun. Para saksi yang selamat memberi kesaksian serupa, bahwa beberapa prajurit Ottoman malah bergabung dalam penjarahan, dan bahkan mereka juga menodongkan senjata dan bayonetnya kepada orang-orang yang mencoba melarikan diri dari kebakaran. Salah seorang komandan prajurit yang berusaha menghentikan para perusuh setelahnya malah didakwa melakukan pembangkangan.[1]
Dalam suratnya, Abdul Qadir memberi kesaksian, “Orang-orang Muslim ini, dalam keadaan hiruk-pikuk, bergegas, bersenjatakan alat-alat perkakas, ke daerah Kristen, dan mulai membunuh, membakar, dan menjarah pada saat yang bersamaan. Tentara Turki datang untuk membantu mereka, dengan dalih untuk mengakhiri kerusuhan, tetapi dengan motivasi yang sama dengan para perusuh, dan membunuh, merampok, dan menjarah mereka. Beberapa orang Muslim tua berupaya menghentikan kerusuhan ini, tetapi para perwira Turki tidak menginginkan perdamaian, dan, sebaliknya, mengerahkan tentara mereka untuk memburu orang-orang Kristen yang malang, para prajurit ini dibantu oleh gerombolan perampok dari setiap kelompok.”[2]
Selama beberapa malam Abdul Qadir tidur di atas tikar di depan pintu masuk rumahnya, demi menjaga orang-orang yang mencari perlindungan. Saat fajar pada hari ketiga kerusuhan, 11 Juli 1860, dia berhadapan dengan gerombolan besar yang tahu bahwa dia melindungi orang-orang Kristen, dan mereka datang ke rumahnya meminta agar orang-orang ini diserahkan. Menurut laporan dari saksi, Abdul Qadir berdiri di hadapan mereka dan menunggu sampai mereka akhirnya tenang. Dia melakukan pendekatan dan berbicara tentang “Hukum Allah” dan mencoba menggugah rasa kemanusiaan mereka. Abdul Qadir berargumen, apakah kehormatan mereka sudah sedemikian rendahnya sehingga ingin membantai perempuan dan anak-anak yang tidak berdaya?[3]
Meski demikian, massa tetap berteriak-teriak meminta agar orang-orang Kristen diserahkan, dan bahkan mereka mengolok-olok Abdul Qadir, mengatakan bahwa Abdul Qadir sendiri seorang “pembunuh besar orang-orang Kristen.” Abdul Qadir menjawab, “Jika aku membunuh orang-orang Kristen, itu berdasarkan hukum. Mereka menduduki tanah kami dan menyerang iman kami. Jika kalian tidak mau mendengarkan aku, maka kalian seperti binatang buas di alam, yang hanya peduli terhadap makanannya.” Kerumunan itu tetap saja berteriak meminta orang-orang Kristen, sampai Abdul Qadir berkata, “Orang-orang Kristen ini adalah tamuku. Cobalah untuk mengambil salah satu dari mereka, dan kalian akan tahu seberapa baik prajuritku bertarung. Kami akan berjuang untuk sebuah keadilan, seperti yang telah kami lakukan sebelumnya!”[4]
Abdul Qadir kemudian memerintahkan untuk diambilkan kuda dan senjatanya. Ketika dia sudah naik di atas kuda, pasukannya berbaris di sekitarnya, mengacungkan senapan dan berteriak, “Allahu akbar! Allahu akbar!” Merasa kalah keberanian dan wibawa, kerumunan massa akhirnya secara bertahap menyerah dan membubarkan diri. Pada satu sisi Abdul Qadir merasa lega, tetapi di sisi lain dia kecewa. Abdul Qadir kecewa karena ketimbang melalui pendekatan yang lembut, orang-orang itu lebih menurut ketika diancam memakai kekuatan tempur.[5]
Meskipun sementara telah aman, pasukan Abdul Qadir terus berpatroli di kawasan Kristen dan membawa lebih banyak orang ke rumahnya. Meski demikian, para pengungsi ini sekarang menderita di tengah musim panas. Tidak ada yang tahu pasti berapa jumlah mereka, tetapi diperkirakan jumlahnya sekitar 4.000 orang. Mereka berkumpul di halaman dan rumah Abdul Qadir, tanpa makanan dan air, dan juga kebersihan yang memadai. Abdul Qadir memindahkan sebagian dari mereka ke rumah saudara-saudara dan teman-temannya, tetapi kondisinya masih tetap buruk.[6]
Abdul Qadir akhirnya membuat keputusan yang sulit: dia memohon kepada Ahmad Pasha. Gubernur yang sekarang sepenuhnya menyadari tentang kengerian yang telah dilepaskannya, dan balasan yang mungkin harus dia penuhi nanti. Dia kemudian menawarkan agar orang-orang Kristen itu dipindahkan ke benteng Ottoman. Dia berjanji mereka tidak akan dilindungi oleh tentara Turki, tetapi oleh orang-orang Aljazair.[7]
Namun, ketika hendak dipindahkan orang-orang Kristen masih merasa ketakutan, mereka memohon kepada Abdul Qadir agar jangan sampai mereka dibawa ke luar rumahnya melewati jalanan. Abdul Qadir bersumpah bahwa dia akan membela mereka dengan nyawanya sendiri. Dua dari konsul Eropa yang juga mengungsi di rumah Abdul Qadir menawarkan diri untuk menemani kelompok pertama, dan pasukan bersenjata Aljazair juga telah siap. Meskipun pada awalnya banyak dari para pengungsi itu yang berjalan dengan sangat ketakutan, tetapi mereka berhasil mencapai benteng dengan aman. Proses selanjutnya berjalan lebih mudah karena orang-orang Kristen sisanya sudah menjadi lebih percaya diri. Tak lama kemudian halaman terbuka benteng yang luas itu dipenuhi oleh orang-orang, aman tetapi masih menderita, karena tidak ada tempat berlindung dari matahari dan ketersediaan makanan dan air masih sangat sedikit.[8] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Elsa Marston, The Compassionate Warrior: Abd el-Kader of Algeria (Wisdom Tales, 2013), hlm 89.
[2] “The Damascus Massacres.; Letter from Abd-El-Kader.”, dari laman https://www.nytimes.com/1860/08/20/archives/the-damascus-massacres-letter-from-abdelkader.html, diakses 5 Januari 2019.
[3] Elsa Marston, Loc.Cit.
[4] Ibid.
[5] Ibid., hlm 89-90.
[6] Ibid., hlm 90.
[7] Ibid.
[8] Ibid.