“Di tengah kecamuk Perang Dunia I, Ustmaniyah memutuskan untuk bergabung dengan Jerman dan Austria-Hongaria untuk melawan Rusia, Inggris, dan Prancis. Apa yang menjadi alasan Ustmaniyah sesungguhnya?”
–O–
Pecahnya Perang Dunia I pada bulan Agustus 1914 secara umum disambut dengan rasa percaya diri akan kemenangan dan kegembiraan oleh orang-orang Eropa, di antara mereka yang merayakannya, itu didasari oleh gelombang perasaan patriotik dan mimpi-mimpi tentang kemenangan. Hanya sedikit di antara mereka yang membayangkan berapa lama atau bagaimana perang tersebut dapat menjadi bencana bagi bangsa-bangsa besar di Eropa, dan sebagian besar malahan percaya bahwa negara mereka dan sekutunya akan menang dalam hitungan bulan. Perang itu disambut baik secara patriotis, sebagai tindakan defensif yang dipaksakan oleh kepentingan nasional, atau secara idealis, sebagai salah satu hak untuk menegakkan perlawanan terhadap tirani, kesucian perjanjian, dan moralitas internasional.[1]
Pada artikel seri pertama telah dijelaskan bahwa kekuatan Kesultanan Ustmaniyah (Ottoman) sedang melemah di Eropa, hingga akhirnya mereka dijuluki The Sick Man Of Europe (orang sakit di Eropa). Selain itu, Ottoman juga kehilangan banyak wilayah kekuasaan mereka di berbagai tempat, yaitu Libya pada tahun 1911 (wilayah terakhir mereka di Afrika Utara, direbut oleh Italia), Balkan pada tahun 1912-1913, dan Kuwait pada tahun 1913 (memerdekakan diri di bawah dukungan Inggris).[2]
Sementara itu dengan situasi Perang Dunia I yang tidak menentu, dan tampaknya masih jauh dari berakhir, dan juga didesak oleh krisis ekonomi, Ottoman membutuhkan aliansi dari salah satu blok – blok Central Powers (Kekuatan Tengah) terdiri dari Jerman dan Austria-Hongaria, dan blok The Allies (Sekutu) terdiri dari Rusia, Inggris, dan Prancis – yang bertikai agar keselamatan mereka terjamin. Dalam situasi seperti ini, keterlibatan dalam perang adalah pilihan yang tidak dapat dihindari oleh Ottoman, mereka harus memilih untuk bergabung ke pihak mana. Sampai di sini pemetaannya menjadi lebih jelas dan dapat menjawab pertanyaan yang diajukan pada artikel seri pertama, yaitu kenapa Ottoman memasuki perang dengan berada di pihak Central Powers?[3]
Pilihan Ottoman untuk bergabung dengan Central Powers sebenarnya jauh dari kondisi ideal. Ottoman hanya bersikap pragmatis dari situasi yang tengah berkembang, dan mereka bermain dua kaki, hal itu paling tidak dapat dilihat dari rekam gerak mereka, sepanjang tahun 1914, perwakilan dari pemerintahan Ottoman telah melobi Prancis dan Inggris agar mereka dapat masuk ke dalam blok The Allies. Namun baik Paris maupun London menolak tawaran ini. Intinya, Inggris dan Perancis tidak ingin terbebani oleh negara yang lemah dan jelas-jelas sedang sakit.[4]
Sebaliknya dengan Jerman, mereka justru menginginkan aliansi dengan Ottoman. Bagi Ottoman, pilihannya merapat ke Jerman karena memang tidak ada pilihan lain lagi, namun tidak bagi Jerman, mereka justru melihat bahwa ini adalah bukti kepiawaian berdiplomasi mereka di masa sebelum dan ketika berlangsungnya perang.[5] Jerman telah menjadi penasihat modernisasi militer Ottoman dari sejak tahun 1830-an. Dan sejak tahun 1880-an, orang-orang yang nantinya akan menjadi petinggi di Committee of Union and Progress (CUP) – atau biasa disebut Young Turks (Turki Muda), organisasi pergerakan yang menginginkan Ottoman menjadi negara konstitusional dan parlementer, telah bolak-balik ke Jerman untuk pelatihan militer.[6]
CUP sendiri sejak tahun 1909, ketika Sultan Abdulhamid II digulingkan, praktis telah menjadi penguasa di Ottoman. Abdulhamid II digantikan oleh Sultan Mehmed V, adiknya sendiri. Meskipun demikian, segala keputusan terkait jalannya pemerintahan kini sudah berada di tangan CUP. Enver, salah satu petinggi CUP yang kelak nantinya akan menjadi Menteri Perang Ottoman pada Januari 1914 dan namanya menjadi Enver Pasha (Pasha, gelar militer atau politik tingkat tinggi di Ottoman), sejak tahun 1909-1911 telah menjadi atase militer Ottoman di Berlin.[7]
Sebagai balasannya, bantuan Jerman kepada Ottoman telah membuat industri domestik Jerman berkembang, khususnya pada sektor persenjataan dan baja. Investasi Jerman yang paling besar dan bergengsi di Kesultanan Ottoman adalah pembangunan jalur kereta api Berlin-Baghdad, yang mana sebagian besar lokomotif, gerbong, dan relnya disediakan oleh Jerman. Selain itu, Jerman mendapat konsesi pendapatan dari dua jalur utama seluruh wilayah Ottoman, yakni Konya-Baghdad dan Baghdad-Teluk Persia, masing-masing diberikan pada tahun 1888 dan 1903. Atas hal itu, Jerman sudah cukup senang dibayar dengan hitungan per kilometer. Kaiser Wilhelm II adalah satu-satunya kepala negara Eropa yang diterima oleh Sultan Abdulhamid II dalam kunjungan ke Istanbul pada tahun 1889, dan Istanbul dan Suriah pada tahun 1898. Namun, terlepas dari itu semua – dan mungkin yang paling penting – Ottoman memiliki sejumlah besar hutang terhadap Jerman.[8] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] John Graham Royde-Smith dan Dennis E. Showalter, “World War I: 1914–1918”, dari laman https://www.britannica.com/event/World-War-I, diakses 29 September 2018.
[2] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 281.
[3] Ibid.
[4] Ibid., hlm 282.
[5] John Graham Royde-Smith dan Dennis E. Showalter, “World War I: The Turkish entry”, dari laman https://www.britannica.com/event/World-War-I/The-Serbian-campaign-1914, diakses 12 Oktober 2018.
[6] Caroline Finkel, Osman’s Dream: The Story of the Ottoman Empire 1300-1923 (Basic Books: 2006), hlm 265.
[7] Ibid.
[8] Ibid., hlm 266.