Mozaik Peradaban Islam

Islam dan Perang Dunia I (9): Greenmantle, Sang Mahdi Palsu

in Monumental

Last updated on October 30th, 2018 04:35 pm

“Untuk memecah belah Muslim, Inggris menciptakan karakter palsu yang menyerupai Mahdi, Imam akhir zaman.”

–O–

Ilustrasi Imam Mahdi berjubah hijau. Photo: Seyfullah-Design/Deviant Art

Perang Dunia I bukan sekedar perang Hard Power semata yang mengandalkan kekuatan militer, namun di baliknya, mereka juga menggunakan Soft Power seperti opini, perang psikologis, dan propaganda.[1] Dalam hal ini, ketika Jerman dan Ustmaniyah (Ottoman) memutuskan untuk beraliansi, dan lalu Ottoman mendeklarasikan fatwa jihad, Inggris tidak tinggal diam. Pada awal Perang Dunia I, pemerintah Inggris menjadi lebih sadar akan pentingnya peperangan psikologis untuk “melawan pengaruh buruk propaganda Jerman terhadap kepentingan dan prestise Inggris, khususnya di negara-negara netral”. Bahkan, direktur intelijen pasukan khusus Inggris, Brigadir Jenderal C.R. Cockerill, pada 29 November 1915 menyarankan bahwa “perang kata-kata sekarang harus mendapatkan ‘perhatian lebih sebagaimana perang ekonomi’.”[2]

Adalah John Buchan (1875–1940), orang yang berkeinginan kuat untuk mengambil peran dalam perang kata-kata ini. Buchan adalah direktur Intelijen Inggris dalam dua tahun terakhir Perang Dunia I, dan juga, seorang novelis. Pada tahun 1916 dia menerbitkan sebuah novel yang berjudul Greenmantle, latar belakang novel itu menggambarkan tentang degradasi yang sedang dialami Kesultanan Ottoman, dan dengan fokus khususnya kisah tentang  gerakan Islam radikal. Greenmantle mengungkapkan pandangan-pandangan elitis khas Barat yang menganggap bahwa Kristen Barat lebih maju ketimbang dunia Timur dan Islam. Bahkan, ia menggambarkan Muslim sebagai orang-orang yang pikirannya masih terperangkap di abad pertengahan dan percaya dengan takhayul, dan mereka dapat dengan mudah dimobilisasi dengan isu jihad.[3]

John Buchan, direktur Intelijen Inggris dalam Perang Dunia I, sekaligus pengarang novel Greenmantle. Photo: National Archives of Canada

Buchan jelas memanfaatkan novelnya sebagai media propaganda perang. Ditenggarai, bahwa dia mungkin telah dipengaruhi secara langsung oleh orientalis asal Belanda C. Snouck Hurgronje yang karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Karya Hurgronje yang dimaksud adalah The Holy War: “Made in Germany” (1915) dan Mohammedanism (1916). Dalam Greenmantle, Buchan menyampaikan detail sejarah yang menggambarkan kebaikan-kebaikan dan keunggulan-keunggulan kerajaan Inggris, dan sebaliknya dia menyajikan stereotip negatif dari kekuatan Jerman dan Ottoman. Penting untuk menyoroti tema utama novel tersebut, yaitu Jihad.[4]

 

Alur Cerita

Alur cerita dalam Greenmantle berputar di sekitar gagasan bahwa umat Islam taat kepada perintah Sultan Ottoman yang menyatakan bahwa pemimpin baru atau Mahdi telah tiba dan akan memimpin untuk sampai ke tujuan akhir mereka. Sang Mahdi merupakan keturunan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana dikutip dari dalam novel:

“Terdapat suatu kekuatan besar yang dapat menggerakkan (umat) Islam, sesuatu yang nampak jelas di permukaan. Mereka tidak merahasiakannya. Kebangkitan agama itu akan terjadi dalam suatu siklus, dan sekarang itu sedang terjadi. Dan mereka tahu cukup jelas tentang bagaimana detailnya (kebangkitan). Telah dikatakan dalam nubuwat, seorang keturunan Nabi telah bangkit, dia akan mengembalikan kekhalifahan kepada kejayaan dan memurnikan ajaran Islam.”[5]

Sebagaimana memang terjadi dalam kenyataan, yakni adanya konflik antara Jerman dan Inggris dalam Perang Dunia I, maka di dalam novelnya Buchan menggambarkan bahwa Jerman dan Ottoman merupakan aktor antagonis. Dia juga menggambarkan bahwa Sultan Ottoman diyakini oleh sebagian besar Muslim sebagai satu-satunya pemimpin dunia Islam yang memiliki otoritas agama tertinggi (Khalifah).[6]

Ottoman yang beraliansi dengan Jerman kemudian mendeklarasikan fatwa jihad. Fatwa tersebut menimbulkan kekacauan dan pemberontakan di daerah-daerah Muslim koloni Inggris. Inggris ingin menemukan siapa yang memanipulasi agama untuk menciptakan perlawanan, karena mereka bisa menggunakan taktik yang sama dan mencapai tujuan mereka dengan cara politik pecah belah dan menguasai mereka, dalam artian, mereka harus membagi blok kekuatan Muslim di dalam wilayah Ottoman untuk melemahkan kendali Ottoman terhadap mereka.[7]

Terlepas dari kenyataan bahwa kekaisaran Ottoman lemah pada saat itu, Inggris tetap berpikiran bahwa Islam merupakan suatu kekuatan besar yang mesti diwaspadai. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mayor Hannay, tokoh fiksi dalam novel tersebut, “Tampaknya Islam seolah-olah memiliki kekuatan yang lebih besar daripada yang kita sangka…. Aku membayangkan agama adalah satu-satunya hal yang dapat mengikat kekaisaran yang sedang runtuh.”[8]

Baik Jerman dan Inggris, terkait Muslim, sama-sama memiliki kesimpulan yang sama bahwa untuk mendapatkan kekuatan rahasia untuk mengendalikan Muslim adalah dengan cara mendesain dan memanipulasi munculnya sosok pemimpin baru dalam Islam, yakni Sang Mahdi. Oleh karena itu, umat Islam harus diasingkan dari otoritas politik dan agama Sultan Ottoman. Dalam pengertian ini, seorang pemimpin baru harus diciptakan, yang dapat mewakili karakter Sang Mahdi.[9]

Buchan memang tidak pernah bersentuhan langsung dengan masyarakat Muslim – meskipun sebelum pecahnya Perang Dunia I dia dilaporkan pernah ke Turki pada tahun 1910 dan bertemu dengan keluarga Sultan – namun dia mempelajari informasi-informasi tentang Islam, meskipun tidak sepenuhnya akurat. Misalnya, dia menggambarkan bahwa seorang Mahdi harus keturunan Nabi Muhammad, berasal dari suku Quraisy, suci, dan fasih. Greenmantle, judul novel itu, yang berarti “Jubah Hijau”, merepresentasikan pakaian yang akan dipakai Mahdi ketika bertemu dengan umat Islam.[10]

Di dalam novel, baik Jerman maupun Inggris mempersiapkan sosok Mahdi dengan karakter spesifik untuk mengelabui masyarakat Muslim. Pihak Jerman gagal mempersiapkan Mahdi mereka, sementara itu, Inggris berhasil menipu orang-orang Muslim yang bodoh. Sebagai eksesnya dalam konflik, Inggris digambarkan sebagai pihak yang lebih unggul, bahwa kemampuan militer dan intelijen mereka jauh melampaui Jerman.[11]

Bagaimanapun, kisah fiksi di dalam novel tersebut bercampur dengan fakta-fakta yang memang benar-benar terjadi di lapangan. Sehingga pada waktu itu, ketika orang membacanya, maka pikirannya akan menjadi bias untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang fiksi. Terlebih, beberapa kisah yang ada di dalam novel itu memang akan benar-benar terjadi, yakni terpecahnya masyarakat Muslim dan kemenangan Inggris dalam Perang Dunia I, sebagaimana akan kita bahas dalam artikel selanjutnya. (PH)

Bersambung ke:

Islam dan Perang Dunia I (10): Pemberontakan Bangsa Arab (1)

Sebelumnya:

Islam dan Perang Dunia I (8): Jihad dan Pan-Islamisme

Catatan Kaki:

[1] Jack C. Pano dan Roy Olton, The International Relations Dictionary (ABC-CLIO, Inc, 1988), hlm 210.

[2] Ahmed K. al-Rawi, “John Buchan’s British-Designed Jihad in Greenmantle”, dalam Erik-Jan Zürcher (ed), Jihad and Islam in World War I (Leiden University Press, 2016), hlm 330.

[3] Ibid., hlm 329.

[4] Ibid., hlm 333.

[5] Ibid., hlm 334.

[6] Ibid.

[7] Ibid., hlm 335.

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Ibid., hlm 331, 336.

[11] Ibid., hlm 336-337.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*