Mozaik Peradaban Islam

Islam dan Perang Dunia I (10): Pemberontakan Bangsa Arab (1)

in Monumental

Last updated on October 31st, 2018 01:20 pm

“Di tengah sengitnya pertempuran dalam Perang Dunia I, Husein bin Ali, penjaga kota Mekkah, yang memiliki suara yang sangat penting, justru malah menolak melaksanakan fatwa jihad yang dideklarasikan oleh Kesultanan Ustmaniyah.”

–O–

Sebelumnya kita telah membahas, dalam Perang Dunia I, baik Jerman maupun Inggris sama-sama menghadapi isu yang sama terkait fenomena jihad dalam Islam. Jika Jerman hendak memanfaatkan jihad sebagai salah satu sumber kekuatan mereka, maka tidak dengan Inggris, mereka justru hendak memecah belah Muslim agar Ustmaniyah (Ottoman) yang beraliansi dengan Jerman menjadi lebih lemah. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa strategi jihad yang dilancarkan oleh Jerman-Ottoman berakhir dengan kegagalan.

Sejarawan masih berbeda pendapat perihal penyebab gagalnya strategi jihad ini. Beberapa pendapat itu di antaranya: (1) Memang benar ada gerakan jihad di wilayah-wilayah yang berpenduduk Muslim, namun ketimbang didasari oleh fatwa Ottoman, unsur nasionalismenya lebih kuat;[1] (2) Adanya sikap Apatis Muslim terhadap fatwa tersebut, karena walaupun Ottoman memegang titel sebagai Khalifah Islam — dengan sultannya Mehmed V – secara umum dia tidak dicintai oleh masyarakat Muslim;[2]  (3) Negara-negara Imperialis, utamanya Inggris, berhasil meredam gejolak perlawanan Muslim di wilayah mereka;[3] (4) Ini bahkan menurut sejarawan Jerman sendiri, Hans-Ulrich Seidt, yang mengatakan bahwa Jerman persiapannya tidak matang, sumber dayanya kurang, dan sistem pengorganisasiannya buruk;[4] dan (5) Adanya pemberontakan dari bangsa Arab di dalam tubuh Kesultanan Ottoman.[5] Pada artikel kali ini, kita tidak akan membahas lainnya, kecuali poin terakhir, karena pemberontakan bangsa Arab terhadap Ottoman menjadi salah satu titik balik dalam sejarah Islam pada Perang Dunia I yang pengaruhnya masih dapat kita rasakan sampai hari ini.

 

Pemberontakan Bangsa Arab

Persoalan kepemimpinan Arab dan Non-Arab sudah berlangsung lama sekali di dalam dunia Islam, bahkan itu sudah berlangsung dari sejak wafatnya Rasulullah SAW. Pada era tiga khalifah pertama (Abu Bakar, Ustman, dan Ustman) sentimen ke-Araban menguat, dan sempat meredup di era khalifah ke-4, Ali bin Abi Thalib, karena kebijakan beliau yang menjunjung nilai egaliterianisme dalam Islam, apapun asal sukunya.[6] Masuk ke era Dinasti Umayyah, sentimen Arab justru semakin kokoh, sebagaimana dapat dilihat dari struktur pemerintahannya yang didominasi oleh bangsa Arab.[7] Di era Dinasti Abbasiyyah, dengan mengusung ide sebagai pecinta keluarga Rasulullah – yang mengajarkan konsep egaliterianisme dalam Islam – sentimen Arabisme dimatikan. Justru inilah yang menjadi kunci dari berkembang pesatnya dinasti ini, meskipun pada pucuk kepemimpinan masih tetap Arab – yang diklaim berdasarkan keturunan keluarga Rasulullah – namun secara struktural, pemerintahannya justru secara besar-besaran menempatkan orang-orang etnis non-Arab di dalamnya.[8] Masuk ke era Dinasti Ottoman, ide dari Abbasiyyah semakin diperkuat, baik khalifah maupun orang-orang di dalam pemerintahannya sendiri, dominan bukan berasal dari bangsa Arab.[9]

Husein bin Ali, Amir Mekkah yang diangkat oleh Kesultanan Ustmaniyah pada tahun 1908, menolak fatwa jihad. Photo: The Trustees of the Imperial War Museum, London

Adalah Husein bin Ali (1855–1931), Amir kota Mekkah, yang mencoba menghidupkan kembali ide tentang hak bangsa Arab untuk memimpin. Jabatan sebagai Amir Mekkah adalah salah satu posisi yang paling bergengsi di dalam Kesultanan Ottoman. Ia memiliki tanggung jawab sebagai penjaga dua kota paling suci dalam Islam, yakni Mekkah dan Madinah. Meskipun Ottoman memiliki gubernur tersendiri di kawasan itu – Hijaz – yang bertanggungjawab untuk urusan administratif dan keamanan militer, namun Amir Mekkah memegang posisi otonom yang unik. Sebagai individu ia bertanggungjawab untuk menjaga kesucian dari dua kota suci dan memastikan bahwa ziarah haji tahunan dapat dilakukan dengan aman dan nyaman. Selain itu, Amir Mekah mesti dipilih dari lingkaran keluarga yang diklaim sebagai keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW, dan dengan demikian ia berhak mendapat gelar kehormatan Syarif. Husain bin Ali, adalah seorang syarif dari Bani Hasyim, dia diangkat menjadi Amir Mekkah oleh Sultan Abdul Hamid II pada tahun 1908.[10]

Ketika Ottoman mendeklarasikan jihad untuk memerangi Inggris, Prancis, dan Rusia pada tahun 1914, Husein bin Ali menolak untuk mengasosiasikan dirinya dengan seruan itu dengan alasan hal itu dapat membangkitkan sentimen jihad warga Mekkah, dan dia khawatir ini malah akan membuat tentara Inggris memblokade atau bahkan sampai menyerang Pelabuhan Hijaz – saat itu Inggris sudah menjajah Mesir dan menguasai jalur transportasi di Laut Merah.[11] Namun, umumnya sejarawan berpendapat bukan itu alasan sebenarnya dari Husein, sebagaimana dapat kita lihat nanti bagaimana sepak terjangnya ke depan. Husein memiliki ambisi tersendiri, dia ingin menjadi raja bagi bangsa Arab di Timur Tengah. Melihat situasi yang berkembang di tengah kecamuk Perang Dunia I, ketimbang menuruti fatwa jihad dari Sultan, secara diam-diam dia membuat perjanjian rahasia dengan Inggris. (PH)

Bersambung ke:

Islam dan Perang Dunia I (11): Pemberontakan Bangsa Arab (2)

Sebelumnya:

Islam dan Perang Dunia I (9): Greenmantle, Sang Mahdi Palsu

Catatan Kaki:

[1] Mustafa Aksakal, “The Ottoman Proclamation of Jihad”, dalam Erik-Jan Zürcher (ed), Jihad and Islam in World War I (Leiden University Press, 2016), hlm 56-57.

[2] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 283.

[3] Caroline Finkel, Osman’s Dream: The Story of the Ottoman Empire 1300-1923 (Basic Books: 2006), hlm 266.

[4] Lionel Gossman, The Passion of Max von Oppenheim: Archaeology and Intrigue in the Middle East from Wilhelm II to Hitler (Open Book Publishers, 2013), hlm 102.

[5] Eamon Gearon, Ibid., hlm 284.

[6] Lebih detail tentang masa ini lihat seri artikel “Memaknai Revolusi Imam Husein”, dari laman https://ganaislamika.com/memaknai-revolusi-imam-husein-1-warisan-agung/, diakses 29 Oktober 2018.

[7] Lebih detail tentang masa ini lihat seri artikel “Dinasti Umayyah”, dari laman https://ganaislamika.com/dinasti-umayyah-1-dinasti-pertama-dalam-sejarah-islam/, diakses 29 Oktober 2018.

[8] Lebih detail tentang masa ini lihat artikel “Kota Bundar Baghdad: Megapolitan Pertama Islam”, dari laman https://ganaislamika.com/kota-bundar-baghdad-megapolitan-pertama-islam/, diakses 29 Oktober 2018.

[9] Lebih detail tentang masa ini lihat seri artikel “Berdirinya Dinasti Ustmaniyah”, dari laman https://ganaislamika.com/berdirinya-dinasti-ustmaniyah-1-invasi-bangsa-mongol/, diakses 29 Oktober 2018.

[10] William L. Cleveland dan Martin Bunton, A History of the Modern Middle East (Westview Press, 2009), hlm 157.

[11] Caroline Finkel, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*