“Inggris berjanji untuk menyediakan logistik, senjata, dan dana kepada Husein untuk pemberontakannya melawan Ustmaniyah dan mengakui kekhalifahan bangsa Arab.”
–O–
Ketika Ottoman (Ustmaniyah)-Jerman mendeklarasikan Jihad untuk melawan Inggris-Prancis-Jerman, Husein bin Ali menolak melaksanakannya karena dia tengah dalam pertimbangan pribadinya, apakah akan terus mengabdi kepada Ottoman, atau mencari alternatif lain.[1] Max von Oppenheim, agen Jerman, yang sudah kita bahas sebelumnya, gesit bergerak menemui Faisal, salah satu putra Husein yang paling berpengaruh, yang di kemudian hari akan menjadi Raja Irak dan Suriah. Oppenheim berusaha memenangkan hati keluarga Husein untuk turut serta dalam jihad. Namun sayangnya dia kalah cepat dibanding T.E. Lawrence, atau lebih dikenal dengan sebutan Lawrence of Arabia, seorang agen Inggris, yang terlebih dahulu masuk ke dalam lingkaran keluarga Husein. Oppenheim tidak tahu bahwa keluarga Husein sudah terlebih dahulu membuka komunikasi dengan Inggris.[2]
Pada bulan Juli 1915, Husein tampaknya sudah mantap untuk membelot dari Ottoman, dia mengirim surat kepada komisaris tinggi Inggris di Mesir, Sir Henry McMahon. Dalam suratnya dia memberitahukan syarat-syarat apa saja yang dapat membuatnya untuk dapat bergabung dengan Inggris dan melancarkan pemberontakan melawan pemerintahan Ottoman. Inilah awal mula dari korespondensi antara Husein-McMahon yang berlangsung hingga Maret 1916, dengan total pertukaran sebanyak 10 surat.[3]
Inggris menerima gagasan pemberontakan bangsa Arab ini, selain itu mereka juga berpikir dengan adanya gerakan ini, ada kemungkinan Inggris dapat menarik kelompok Muslim lainnya untuk juga bersekutu. Oleh atasannya McMahon diinstruksikan untuk menindaklanjuti inisiatif Husein. Masalah paling rumit yang dibahas dalam surat-menyurat mereka adalah pembahasan terkait pembagian batas-batas teritorial. Husein, yang mengklaim mewakili semua etnis Arab, meminta pengakuan Inggris atas negara Arab merdeka yang mencakup Semenanjung Arab, provinsi-provinsi di Suriah Raya (termasuk Lebanon dan Palestina), dan provinsi-provinsi di Irak — yang pada dasarnya adalah wilayah-wilayah yang berbahasa Arab, dan itu sampai ke daerah di sebelah timur Mesir — sebagai timbal balik atas komitmen mereka untuk memimpin pemberontakan bersenjata melawan Ottoman.[4]
Atas permintaan Husein, Inggris berusaha melindungi kepentingan masa depannya sendiri di kawasan itu serta sekutunya, Prancis. Husein diberitahu bahwa daerah-daerah yang berada di sebelah barat garis Damaskus-Homs-Hama-Aleppo (lihat peta di bawah ini) tidak dapat dimasukkan ke dalam negara Arab yang diusulkan karena penduduknya tidak sepenuhnya orang Arab. Inilah titik awal dari perselisihan pembagian teritori yang akan terjadi di depan, Husein tidak tahu, bahwa alasan sebenarnya McMahon menolak adalah karena pesisir Suriah sudah diklaim terlebih dahulu oleh Prancis.[5]
Sepanjang proses surat-menyurat ini, baik Husein maupun McMahon sama-sama bersikeras akan pendapatnya masing-masing. Pada akhirnya, masalah itu ditunda untuk didiskusikan lebih lanjut sampai setelah perang. Namun, Husain menegaskan bahwa dia tetap mempertahankan pendapatnya bahwa pesisir Suriah pun termasuk bagian dari Arab. Begitu pula dengan McMahon, dia berusaha untuk mengamankan kesepakatannya dengan Husain dengan meminta posisi khusus untuk Inggris di provinsi Irak, yakni di Baghdad dan Basra. Husein bersikeras bahwa wilayah-wilayah itu merupakan bagian integral dari warisan Arab, tetapi dia menyetujuinya dengan alasan bahwa itu hanya bersifat sementara sampai pemerintahan yang stabil dapat didirikan. McMahon menerima tuntutan teritorial Husein, menyatakan siap untuk menerima hasil negosiasi di kemudian hari terkait Suriah dan kehadiran Inggris di beberapa bagian Irak, dan berjanji bahwa “Inggris siap untuk mengakui dan menegakkan kemerdekaan Arab di semua wilayah yang berada di batas-batas yang diusulkan oleh Syarif dari Mekkah.”[6]
Selain setuju untuk mengakui negara Arab yang merdeka setelah perang, Inggris berjanji untuk menyediakan logistik, senjata, dan dana kepada Husein untuk pemberontakannya melawan Ottoman dan mengakui kekhalifahan bangsa Arab yang akan dideklarasikan. Husein, sebagai timbal baliknya, berkomitmen untuk melakukan pemberontakan bersenjata habis-habisan dan mendeklarasikan bahwa Ottoman merupakan musuh Islam. Kedua belah pihak tampaknya telah sepakat. Ambisi Husein telah dijamin oleh kekuatan besar, dan Inggris telah memperoleh sekutu Muslim yang sangat berharga.[7]
Dengan tercapainya kesepakatan antara Arab-Inggris, jihad yang dikobarkan oleh Ottoman-Jerman sekarang tengah merangkak menuju kegagalan yang fatal. Dapat dibayangkan akan seperti apa reaksi dunia Muslim ketika penjaga dua kota suci Islam, yang juga masih keturunan Nabi malah menolak berjihad, melakukan pemberontakan, dan menyatakan bahwa Ottoman adalah musuh Islam. Sebuah jihad yang diprakarsai oleh pemerintahan Ottoman yang diketahui secara umum “tidak beragama” dan diarahkan hanya terhadap negara-negara kafir tertentu (Inggris-Prancis-Rusia), dan sementara pada sisi lain didukung dan diarahkan oleh negara kafir lainnya (Jerman), tidak terlalu meyakinkan untuk dikobarkan dan tidak berhasil membangkitkan “Fanatisme Islam.” Proyek jihad Jerman-Ottoman yang awalnya digagas oleh Max von Oppenheim akan berujung kepada kegagalan besar.[8] (PH)
Bersambung ke:
Islam dan Perang Dunia I (12): Pemberontakan Bangsa Arab (3)
Sebelumnya:
Islam dan Perang Dunia I (10): Pemberontakan Bangsa Arab (1)
Catatan Kaki:
[1] William L. Cleveland dan Martin Bunton, A History of the Modern Middle East (Westview Press, 2009), hlm 157.
[2] Lionel Gossman, The Passion of Max von Oppenheim: Archaeology and Intrigue in the Middle East from Wilhelm II to Hitler (Open Book Publishers, 2013), hlm 101-102.
[3] William L. Cleveland dan Martin Bunton, Ibid., hlm 157-158.
[4] Ibid., hlm 158.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm 159-160.
[7] Ibid., hlm 160.
[8] Lionel Gossman, Ibid., hlm 102.