Mozaik Peradaban Islam

Islam dan Transformasi Kuliner Dunia (3): Turko-Islam

in Lifestyle

Last updated on December 26th, 2018 05:17 am

Kuliner Turko-Islamic atau Turki Islam adalah salah satu hasil evolusi dari kuliner Perso-Islamic. Dua cabang kuliner Turko-Islamic yang paling berpengaruh hingga kini adalah kuliner Ottoman dan kuliner Mughal. Kuliner Ottoman dan faham Sufisme berperan besar dalam memperkenalkan kopi ke dunia.

Oleh Zita Reyninta Sari[1]

Bibit kuliner Turko-Islamic dapat ditelusuri ke kota Baghdad di bawah kepemimpinan Harun Al-Rashid (786-809 M). Beberapa dekade sejak kota ini didirikan di tahun 762, Baghdad yang merupakan ibukota kekhalifahan Abbasiyah tumbuh pesat menjadi kota kosmopolis tempat berbaurnya berbagai bangsa dan budaya. Tidak heran, kota ini kemudian menjadi pusat pertumbuhan kuliner Persia Islami, yang berdampak besar kepada evolusi kuliner Turki.

Pada dasarnya, bangsa Turk adalah bangsa nomaden. Hidangan mereka didominasi sup, layaknya bangsa Mongol yang juga nomaden.[2] Namun setelah bangsa Turk menetap di Byzantium dan memeluk agama Islam, kuliner Turk dan kuliner masyarakat Timur Tengah mulai saling memengaruhi. Salah satu buktinya adalah dengan ditemukannya kata tutmajh yang merupakan pasta tradisional Turki di teks resep masakan Timur Tengah.[3] Kuliner Turki Islam atau Turko-Islamic pun tercipta.

Geliat kuliner Turki Islam mulai bangkit ketika Persia masih dikuasai bangsa Mongol. Setelah kekaisaran Mongol runtuh di abad ke-13 pun, perkembangannya tidak terhenti dan malah semakin melaju pesat. Menurut Rachel Laudan, ada tiga cabang kuliner Turko-Islamic yang berevolusi dari kuliner Perso-Islamic sejak masa itu, yakni kuliner Ottoman (Utsmaniyah), kuliner Mughal, dan kuliner Safawiyah. Sayangnya, tidak banyak yang bisa diketahui dari kuliner Safawiyah, selain dari fakta bahwa kuliner ini berjaya di bawah pemerintahan Syah Abbas (1587-1629 M), sehingga artikel akan fokus membahas kuliner Ottoman dan Mughal.

Meskipun sumber mengenai kuliner Safawiyah minim ditemukan, tetap dapat dipastikan bahwa ketiga cabang kuliner Turko-Islamic di atas memiliki ciri khas yang sama, antara lain roti yang tipis, semur dan sup daging kambing dan ayam, daging yang ditusuk dan dibakar, daging yang dimarinasi yoghurt, serta olahan minuman manis dari yoghurt.[4]

 

Filosofi Sufisme dalam Sajian Kuliner Ottoman

Kuliner Ottoman dikembangkan di Istanbul di bawah kekuasaan Sultan Mehmed II (1451-1481 M). Istanbul dengan cepat tumbuh menjadi kota dengan sejuta penduduk dengan 40 persen di antaranya non-Muslim. Tentu saja hal tersebut memperkaya khazanah kuliner dinasti ini. Kuliner Ottoman khususnya bergantung kepada perdagangan dan agrikultur.[5] Terbukanya jalur perdagangan di abad ke-15 antara dinasti Ottoman, Mughal, dan Safawiyah yang terbentang dari selatan Sahara hingga Indonesia jelas menambah variasi cita rasa.[6] Dalam dinasti Ottoman, makanan dinilai sebagai koneksi erat antara sang penguasa dengan rakyatnya, sebuah prinsip yang berakar dari tradisi Perso-Islamic. Para penguasa disarankan untuk membagikan roti dan garam untuk rakyatnya, hingga melahirkan istilah “memakan roti sang sultan” yang artinya “mendapatkan gaji.” [7]

Pada zaman tersebut, lahir dua penemuan penting dalam dunia kuliner, yakni nasi pilau (pilaf) dan kopi. Teknik pilau dalam penanakan nasi pertama ditemukan di Iran. Dalam metode ini, beras dicuci dengan teliti untuk membersihkan semua pati yang masih menempel. Beras kemudian direbus. Sebagai langkah akhir, beras tersebut dikukus untuk memastikan semua bulirnya matang dan padat.[8] Kadang sebelum dikukus, beras (kadang juga pasta dan jenis biji-bijian lain) ditumis terlebih dahulu dan ditambahkan kacang-kacangan, daging, sayuran, atau pewarna. Air kukusannya pun biasanya berupa kaldu berlemak.[9]

Sementara itu, kopi adalah penemuan yang erat hubungannya dengan faham Sufisme yang dominan di masa Ottoman. Penyebaran kopi berjalan seiring dengan penyebaran filosofi Sufisme, yang mengibaratkan penyatuan sebuah jiwa yang fana dengan Sang Penciptanya seperti kegiatan “memasak”.[10] Ini terlihat dari apa yang pernah dicetuskan pujangga sufi Jalaluddin Rumi ketika menggambarkan transformasi dirinya: “Kehidupanku ternyatakan dalam tidak lebih dari tiga kata: aku dulu masih mentah, lalu aku dimasak menjadi matang, dan kini aku hangus terbakar.”[11] Proses transformasi nan puitis ini dapat juga dipakai untuk menggambarkan cara pemrosesan biji kopi dari bentuk mentah hingga dapat dinikmati dalam cangkir kita.

Biji kopi pertama dikonsumsi di barat laut Ethiopia sebelum akhirnya dikembangbiakan di Yaman di sekitar abad ke-6. Teknik konsumsi kopi dengan terlebih dahulu memanggang bijinya, menggilingnya, dan menyeduhnya dengan air panas ditengarai pertama dikembangkan di Iran. Kata “kopi” sendiri berasal dari bahasa Arab qahwah.[12] Kata itu kemudian diserap ke dalam bahasa Turki menjadi kahve dan masih digunakan sampai sekarang.[13]

Konon, kata qahwah awalnya merujuk kepada minuman anggur. Qahwah juga mungkin bisa dirunut dari kata qahiya yang berarti “kurangnya nafsu makan”.[14] Karena kopi dapat mengurangi dorongan alamiah untuk tidur, efeknya dianggap mirip dengan efek anggur yang bisa menekan nafsu makan. Kemiripan ini mengundang perdebatan ulama di Mekah, Kairo, dan Istanbul di abad ke-14 mengenai kehalalan minuman tersebut.[15] Meskipun begitu, hingga abad 15, para sufi tetap mempopulerkan kopi ke daerah-daerah kekuasaan Islam.[16] Di abad ke-16, kedai-kedai kopi mulai banyak didirikan, menunjukkan transisi dari konsumsi kopi yang tadinya spiritual menjadi sekular. Di kedai-kedai kopi tersebut, para intelektual saling berdiskusi dan betukar pikiran mengenai berbagai topik, dari literatur hingga politik.[17] Tidak jauh berbeda dengan fungsi kedai kopi di masa kini.

Kopi terkait erat dengan Sufisme. Photo: Getty Images/iStockphoto

Selain kopi, makanan lain juga sangat erat hubungannya dengan paham sufisme. Roti, misalnya, dianggap melambangkan tahap-tahap kehidupan manusia, mulai dari bulir gandum hingga menjadi roti yang menyatu dengan tubuh setelah dikonsumsi. Garam dipercaya dapat membawa keberkahan dan kesehatan. Nasi pilau dipercaya mewakili kekuatan api yang dapat mentransformasi dan menyempurnakan. Sedangkan telur diidentikan dengan kesuburan perempuan dan daging asin diidentikan dengan keperkasaan pria.[18]

Sebagai penguasa Ottoman kala itu, Sultan Mehmed II berperan besar dalam membangun cita rasa Turko-Islamic yang mewah dalam istananya. Nasi pilau sangat dihargai. Sup dimasak dengan daging kambing, mie, yoghurt, dan biji-bijian, dikentalkan menggunakan tepung, dan ditambahkan air lemon dan kuning telur. Jenis-jens olahan daging diantaranya: daging cincang (kofte); pangsit (mantı, hidangan yang juga ada di kuliner Mongol dan Tiongkok); pastırma, daging asap berbumbu yang diadaptasi Eropa menjadi pastrami; dan ragut. Sayur diolah dengan digoreng, dipanggang, diberi isian tertentu, atau dikombinasikan dengan bawang bombay. Kuliner Ottoman cenderung memisahkan rasa manis dan asin dan mengurangi bumbu rempah dibandingkan dengan kuliner Perso-Islamic. Uniknya, gula sering disulap menjadi karya seni seperti patung dan ukiran.[19]

Pada akhirnya, kuliner mewah dalam istana Ottoman menyebar ke dapur para rakyat, dari Kairo hingga Budapest. Kuliner Ottoman terus berkembang hingga akhirnya dinasti ini pecah di awal abad ke-20. Meskipun begitu, jejaknya tetap terkecap di Turki, Mesir, Balkan, Afrika Utara, Eropa tengah, dan Mediterania utara, terutama dalam bentuk nasi pilau, roti pita, strudel, minuman bermadu, dan lain-lain.

Bersambung ke:

Islam dan Transformasi Kuliner Dunia (4): Kuliner Mughal

Sebelumnya:

Islam dan Transformasi Kuliner Dunia (2): Pasca Invasi Mongol

Catatan Kaki:

[1] Alumni Master Sastra Inggris, University of Auckland, New Zealand

[2] Rachel Laudan, Cuisine and Empire: Cooking in World History, University of California Press, 2013. hal. 177

[3] Laila Zaouali, Medieval Cuisine of the Islamic World, University of California Press, 2007. hal xiii

[4] Laudan, ibid. hal 184

[5] Laudan, ibid. hal. 191

[6] Laudan, ibid. hal. 186

[7] Laudan, ibid. hal. 189

[8] Zaouali, ibid.

[9] Laudan, ibid. hal. 184

[10] Laudan, ibid. hal. 185

[11] Abdul Rahman Azzam, The Kingdom of Joy: Untaian Kisah Menawan dari Matsnawi Rumi, Penerbit Hikmah, 2007. hal. 86

[12] Lihat http://tsftpc.com/blog/2013/2/1/coffee-etymologie. Diakses 19 Desember 2018

[13] “kahve”, dalam http://tureng.com/en/turkish-english/kahve. Diakses 19 Desember 2018

[14] Lihat http://www.ejtaal.net, Hans Wehr 4th ed, hal. 929. Diakses 19 Desember2018

[15] Lihat https://www.bbc.com/news/magazine-22190802. Diakses 19 Desember 2018

[16] Laudan, ibid. hal. 187

[17] Laudan, ibid. hal. 190

[18] Laudan, ibid. hal. 185

[19] Laudan, ibid. hal 188-190

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*