Mozaik Peradaban Islam

Islam dan Transformasi Kuliner Dunia (2): Pasca Invasi Mongol

in Lifestyle

Last updated on December 20th, 2018 01:18 pm

Pada masa kejayaannya (1200-1350 M), kuliner bangsa nomaden Mongol dipengaruhi oleh sentuhan Tiongkok, Perso-Islamic, dan Turko-Islamic. Penyebaran kuliner mereka tidak hanya mencakup Asia Tengah dan jazirah Persia, tapi disebut-sebut juga menjangkau Eropa.

Oleh Zita Reyninta Sari[1]

Bangsa Mongol berhasil merebut Baghdad, ibukota Kekhalifahan Abbasiyah, di tahun 1258. Sebelumnya, di bawah kepemimpinan Jengis Khan, bangsa Mongol sudah menguasai Tiongkok, Persia, serta Rusia dan sekitarnya. Luas kekuasaan mereka hampir setara benua Afrika. Dengan masuknya Baghdad ke dalam wilayah mereka, yang sebelumnya bisa dikatakan sebagai pusat kuliner Perso-Islamic,  cita rasa masakan Mongol pun semakin beragam.

 

Penyebaran Kuliner Islami-Mongol (1200-1350 M)

Area kekuasaan Mongol dilintasi oleh Jalur Sutra, jalur perdagangan internasional yang mengubungkan Tiongkok bagian utara dengan India, Persia, dan Irak, serta wilayah selatan sungai Volga di Rusia. Tidak hanya pedagang, jalur ini juga sering dilewati oleh penjelajah seperti rombongan Marco Polo dan petugas kekaisaran yang diutus untuk menjalin relasi politik. Lalu lintas yang sibuk ini mendorong bangsa Mongol untuk mendirikan ibukota pertama mereka di pegunungan Karakoram yang terbentang di perbatasan antara Pakistan, India, dan Tiongkok. Beberapa dekade kemudian, ibukota kedua di kota Khanbalik (yang berarti “kota para khan”) didirikan di tempat yang kini menjadi kota Beijing.

Salah satu karakteristik utama bangsa Mongol adalah gemar mabuk-mabukan dan banyak makan. Ibukota mereka bahkan pernah dihiasi air mancur yang memancarkan anggur asal Persia, ciu dari Tiongkok, mead (minuman beralkohol yang dibuat dari madu), dan koumiss (susu kuda betina yang difermentasi). Sebagai bangsa nomaden, kuliner Mongol sebenarnya sederhana. Masakan mereka kebanyakan terdiri dari sup (shülen) yang terbuat dari kuah tulang dan dikentalkan dengan tepung. Daging seringnya direbus, digoreng, atau diolah menjadi kebab yang dipanggang. Biasanya ditambahkan pula susu, yogurt, dan koumiss.

Kemudian, para khan (gelar kaisar Mongol) menyadari bahwa kuliner bisa menjadi aspek politik yang penting dalam pemerintahan mereka. Mereka pun mulai memperkaya kuliner imperial Mongol dengan memadukannya dengan filosofi religius setempat. Mahmud Ghazan, khan pertama yang memeluk Islam setelah menguasai wilayah Iran, dikenal sebagai salah satu tokoh yang berpengaruh. Dia adalah salah satu alasan mengapa keturunan Mongol di Asia Tengah kini mayoritas beragama Islam. Bersama tangan kanannya yang juga seorang sejarawan, Rashid al-Din, Ghazan melakukan revolusi finansial hingga agrikultur dalam pemerintahannya. Dia khususnya berinisiatif memanfaatkan lahan liar untuk meningkatkan produksi sayur mayur.[1] Sedangkan para khan di Tiongkok banyak memilih untuk tidak masuk Islam. Salah satu alasannya karena mereka tidak terlalu menyukai metode penjagalan binatang dalam Islam yang mengharuskan pengeringan darah. Mereka merasa lebih cocok dengan gaya masakan Buddhisme, namun dengan tetap mempertahankan konsumsi daging.[2]

Bisa dibilang bahwa pada masa itu, kuliner Mongol berada di antara pengaruh cita rasa masakan Tiongkok, Perso-Islamic, dan Turko-Islamic. Evolusi masakan Mongol terjadi berdampingan dengan masakan Turko-Islamic di daerah Mongol-Islam. Seperti Mongol, bangsa Turk juga dahulunya nomaden, sehingga kuliner keduanya pun mirip. Namun setelah bangsa Turk menetap di Turki dan memeluk Islam di abad ke-11, kuliner Turko-Islamic yang lebih mewah pun tercipta. Gandum yang memang menjadi makanan pokok diolah menjadi bermacam-macam santapan lezat, mulai dari bubur bermentega dan gula, puding, pastri, mie, panekuk, roti, dan aneka kue lain. Sama seperti bangsa Mongol, sup (ash) juga merupakan hidangan yang fundamental di kultur Turko-Islamic. Mereka juga mengadaptasi cita rasa Perso-Islamic, yang terlihat dari makanan manis seperti sirup, selai, dan gula-gula kacang, serta hidangan gurih seperti semur daging atau sayuran yang ditambah kacang Arab (chickpeas), minuman manis dari buah (sherbet), serta bentuk awal dari kue baklava yang mendunia.[3]

Sementara itu, kuliner Mongol yang berkembang di wilayah Tiongkok, lebih banyak mengambil elemen dari perpaduan masakan Konfusionisme-Taoisme-Buddhisme yang banyak menggunakan biji-bijian dan beras.[4] Sup Mongol yang ingin diberi sentuhan Tiongkok akan ditambahkan tepung ketan, bihun, lobak putih, kubis, dan jiaozi isi daging kambing. Jiaozi memang berasal dari Tiongkok dan biasanya berisi daging babi, namun kini menjadi salah satu penganan yang populer di dunia. Di Jepang (dan dalam bahasa Inggris), dia disebut gyoza. Di Indonesia dia dikenal sebagai pangsit berkulit tebal yang berisi daging sapi atau ayam cincang. Bahkan ada yang berpendapat bahwa jiaozi dibawa oleh Marco Polo dari Tiongkok dan diadaptasi menjadi pierogi khas Polandia[5]. Bagaimanapun modifikasinya, para ahli sepakat bahwa penyebaran jiaozi memang dipicu oleh ekspansi bangsa Mongol.

Pangsit atau Jiaozi, makanan Tiongkok yang berisi daging babi. Berkat pengaruh Mongol-Islam makanan ini menjadi populer di dunia, dan isinya berganti menjadi daging ayam atau sapi. Photo: lostlaowai

Bangsa Mongol menciptakan jalur-jalur perdagangan baru agar kuliner mereka terus lestari. Tidak hanya melalui darat, perdagangan juga berlangsung lewat laut. Marco Polo menulis tentang pelabuhan “Zaitun” yang dia sebut sebagai pelabuhan yang makmur dan megah, semegah Alexandria. Pelabuhan itu sebenarnya adalah kota multikultural Quanzhou di tenggara Tiongkok, yang merupakan bagian dari Jalur Sutera Maritim (Maritime Silk Road) yang juga mencakup Selat Malaka. Kapal-kapal dari Asia Tenggara, India, dan Irak berlabuh di Zaitun/Quanzhou setiap harinya, mengirimkan berton-ton gula dan bahan makanan ke Khanbalik. Dari Quanzhou juga lah Mongol menyerang Kerajaan Singosari di tanah Jawa, yang ujungnya berbuah kegagalan.[6]

Di bawah kepemimpinan Mongol, shülen tetap menjadi makanan utama, namun sering disesuaikan dengan cita rasa Tiongkok atau Persia sesuai selera. Makanan penting lainnya adalah mie dan pasta. Mie ala Turki (tutmajh) disajikan dengan saus yoghurt dan bawang putih. Sedangkan mie ala Tiongkok biasanya dibuat dari biji-bijian. Pasta seringnya dibentuk kotak seperti ravioli dan diisi daging dan lemak kambing. Minuman keras tetap menjadi minuman terpenting. Arak disebut dalam dokumen Mongol dengan menggunakan bahasa Arab, menunjukkan adanya karakteristik Islami. Pengaruh Perso-Islamic ditunjukkan dengan banyaknya makanan-makanan bergula, seperti selai dan jeli. Selain itu, bangsa Mongol juga senang meminum teh yang dicampur susu dan sedikit garam.[7] Ada kemungkinan bahwa kegemaran masyarakat Inggris meminum teh dengan susu berasal dari sini.

Setelah kejayaan yang berlangsung hingga nyaris seabad, kekaisaran Mongol mulai goyah di sekitar tahun 1330. Akhirnya bangsa Mongol resmi meninggalkan Khanbalik di tahun 1368. Jejak kuliner mewah Mongol, Turki, dan Persia ikut lenyap di sebagian besar tanah Tiongkok. Yang tinggal hanyalah metode mengolah makanan menjadi manisan. Namun, pengaruh kuliner Mongol masih terasa di wilayah lain. Masyarakat Asia Tengah masih memasak dengan gaya Mongol-Islami, seperti dengan menggoreng dan merebus pangsit, menanak nasi dengan gaya pilau, membuat selai buah tin, dan lain-lain. Di Tiongkok utara, Muslim Hui masih membuat sup daging kambing, mie kuah, dan roti mantou dengan bumbu minimalis. Sedangkan di Rusia, masih disajikan pangsit bulat isi daging (pel’meni) yang mengambil inspirasi dari hasil perpaduan kuliner Mongol-Turki.

Dengan berakhirnya kekuasaan Mongol, berakhir pula lah dominasi kuliner nomaden dengan sentuhan Islami. Setelahnya, dominasi kuliner Islami selalu bersumber dari masyarakat yang menetap, terutama Turko-Islamic.

Bersambung ke:

Islam dan Transformasi Kuliner Dunia (3): Turko-Islam

Sebelumnya:

Islam dan Transformasi Kuliner Dunia (1): Perso-Islamic

Catatan Kaki:

[1] Alumni Master Sastra Inggris, University of Auckland, New Zealand.

[1] Lihat http://greatthinkers.pasca.ugm.ac.id/home.php?k=6&j=26&cat=profile, diakses 14 Desember 2018

[2] Rachel Laudan, Cuisine and Empire: Cooking in World History, University of California Press, 2013. hal. 137

[3] Bahasan lebih lanjut mengenai kuliner Turko-Islamic akan dimuat di bagian ketiga

[4] Rachel Laudan, ibid. hal. 177

[5] Lihat http://www.polskafoods.com/polish-food/facts-history-about-pierogi, diakses 13 Desember 2018

[6] Jack Weatherford, Gengis Khan and the making of modern world. Crown/Archetype, 2005. hal 213

[7] Lihat https://www.discovermongolia.mn/mongolian-traditional-food-and-beverage, diakses 13 Desember 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*