Mozaik Peradaban Islam

Islam dan Transformasi Kuliner Dunia (1): Perso-Islamic

in Lifestyle

Last updated on December 15th, 2018 06:01 am

Perkembangan pengaruh kuliner Islami berlangsung dalam tiga tahap, yaitu periode Persia-Islam (abad ke-8 dan ke-9), Mongol-Islam (abad ke-13 dan ke-14), dan Turki-Islam (abad ke-15). Dari ketiga periode ini, bahkan pengaruhnya masih terasa sampai sekarang, misalnya konsumsi terhadap pasta, gula-gula, dan kopi.

 

Oleh Zita Reyninta Sari[1]

Keberadaan kuliner Islami di berbagai tempat tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan ekspansi agama Islam ke berbagai belahan dunia. Ekspansi kuliner ini nantinya berpengaruh kepada cita rasa masakan khas negara-negara di Asia, khususnya Asia Tengah dan Asia Selatan.  Karakteristik utama hidangan-hidangannya antara lain penggunaan tepung gandum, penambahan rempah-rempah  yang kaya, serta camilan yang menitikberatkan kepada rasa manis. Tidak hanya itu, kuliner Islami juga berpengaruh kepada lahirnya makanan-makanan yang mendunia, seperti kopi, pasta, dan samosa.

Perkembangan kuliner Islami berlangsung dalam tiga tahap.[1] Pertama, penyebaran kuliner hasil asimilasi kultur Persia dengan Islam (Perso-Islamic) yang terbentuk di abad ke-8 dan ke-9 ke Mesopotamia barat, Afrika Utara, beberapa wilayah Eropa selatan, dan India bagian barat. Penyebaran ini membawa serta metode pemrosesan makanan, khususnya penghalusan dan distilasi gula, yang kemudian melahirkan jenis-jenis sirup yang dipakai dalam bidang medis, alkemis, dan tentunya masak-memasak. Pemrosesan gula ini juga membantu menciptakan berbagai macam minuman dan gula-gula dari kacang-kacangan, buah-buahan, dan tepung gandum, serta munculnya penambah rasa seperti air bunga mawar atau bunga jeruk. Tahap pertama ini berakhir ketika bangsa Mongol menginvasi daerah kekuasaan Islam, yang kemudian menggantikan kuliner Perso-Islamic dengan kuliner kekaisaran Mongol.

Gula merupakan bahan makanan yang berasal dari inovasi dunia Muslim. Photo: Shutterstock

Tahap kedua ditandai dengan dikuasainya jazirah Persia oleh bangsa Mongol. Pada masa ini, kuliner praktis khas bangsa Mongol yang nomaden berpadu dengan sentuhan Perso-Islamic, Turko-Islamic, dan Konfusionisme-Taoisme-Buddhisme. Ajaran-ajaran agama tersebut tidak hanya meresap ke dalam filosofi kuliner Mongol, namun juga pada beberapa aspek gaya hidup mereka. Asimilasi kuliner Mongol dan Persia Islam serta Turki Islam utamanya terjadi di daerah Iran. Hingga kini, jejak asimilasi tersebut tercetak di Asia Tengah, beberapa daerah di utara Tiongkok, serta masih sedikit terasa di Rusia.

Tahap ketiga dimulai sejak sekitar abad ke-15, yang ditandai dengan asimilasi kultur Turki dengan Islam atau kultur Turko-Islamic. Kuliner Turko-Islamic terus diperbarui dan disempurnakan seiring dengan kejayaan dinasti Utsmaniyah, Safawi, dan Mughal, dan mampu menyentuh wilayah selatan Sahara hingga Indonesia. Pada masa tersebut, lahir dua inovasi penting dalam dunia kuliner: pertama, nasi atau masakan dari jenis beras lainnya yang dimasak dengan metode pilaf (ditumis dalam rempah-rempah dan minyak dan ditanak dengan kaldu). Kedua, minuman hangat yang kini kita kenal sebagai kopi.

 

Kuliner Perso-Islamic (700-1250 M)

Masyarakat Islam dua generasi setelah Rasulullah SAW wafat di tahun 632 M, telah berhasil menguasai Timur Tengah, Afrika Utara, dan Spanyol. Percampuran wilayah-wilayah yang berbeda ini menghasilkan banyak variasi dalam bidang kuliner. Tadinya, kuliner jazirah Arab lebih banyak bergantung kepada jelai (barley), susu, mentega, dan keju yang dipadukan dengan kurma, serta daging kambing. Namun setelah jalur perdagangan dari India dan lintas Sahara terbuka, bahan-bahan makanan baru pun mulai dikenal, seperti sorgum, beras Asia, tebu, jeruk, semangka, bayam, artichoke, dan terung.

Kuliner Perso-Islamic banyak dipengaruhi oleh masakan khas Kekaisaran Persia Sasaniyah. Sebagai penganut Zoroastrianisme, orang-orang Sasaniyah sangat mengagungkan peran api dalam kegiatan memasak, menganggap hasil kebun sebagai simbol kemakmuran bumi, serta mengutamakan daging ayam dan telur sebagai bahan masakan. Ketika invasi Islam datang, filosofi kuliner Islami pun ikut memengaruhi masakan-masakan Sasaniyah, belum lagi adanya penambahan elemen-elemen dari Kerajaan Romawi, India, Tiongkok, dan kuliner lokal asal Suriah dan Irak.

Berbagai macam daging merah, kecuali babi dan darah, mulai menjadi semakin populer berkat perayaan Idul Adha. Berbagai hidangan daging tidak hanya sering disajikan di istana, namun juga menjadi inspirasi bagi para cendekiawan dan pujangga. Pujangga Ishaq Ibnu Ibrahim bahkan pernah menulis tentang daging isian pastri berbentuk segitiga yang dia sebut sebagai sanbusak. Sanbusak adalah nama lain dari samosa, yang merupakan suku kata pertama dari kata dalam bahasa Persia yang berarti “tiga”.

Anggur dan arak mulanya masih banyak dikonsumsi sebelum hadits Rasulullah SAW tentang  Khamr diinterpretasikan sebagai pelarangan akan minum minuman beralkohol. Anggur pun akhirnya dilarang, meski pun pelarangannya memakan proses hingga beberapa abad. Anggur masih dijajakan oleh pedagang-pedagang non-Muslim di beberapa tempat.

Gandum dianggap sebagai biji-bijian berharga. Tharid, atau roti yang disiram kaldu, menjadi populer karena disebut-sebut sebagai hidangan kesukaan Rasulullah SAW.[2] Hingga kini, tharid masih disajikan di Maroko hingga Xinjiang, rumah bagi para Muslim Uyghur. Tepung gandum dicampurkan dengan air untuk membuat sawiq, minuman yang beberapa kali disebutkan dalam hadits,[3] serta dipercaya dapat menyejukkan diri. Gandum juga dibuat ke dalam hidangan-hidangan lain seperti murri (bumbu yang terbuat roti yang telah basi), kue pastri, dan pasta kering.

Pembuatan pasta kering memakai durum, jenis gandum keras yang dikembangbiakan di Sisilia (Sicily) sejak zaman Kerajaan Romawi.[4] Pasta kering yang dibuat kebanyakan berbentuk lembaran mie tipis (fidaush) atau lembaran tebal (itriyya). Kata “fidaush” diserap ke dalam bahasa Spanyol menjadi “fideos” yang artinya mie dan menjadi “fedelini” dalam bahasa Italia.[5]Itriyya” pun diserap menjadi “tria” yang artinya pasta dalam dialek beberapa wilayah di Italia.[6]

Ciri khas kuliner Islami lain pada zaman Perso-Islamic adalah hidangan yang kaya akan warna dan bumbu rempah-rempah. Beberapa yang paling sering digunakan adalah kayu manis, cengkeh, jintan, merica hitam, dan kuma-kuma (safron). Untuk makanan manis, adas manis (anise) adalah rempah paling favorit. Untuk menambah aroma, kadang esens mawar atau bunga jeruk juga ditambahkan.

Selain rempah-rempah dan gandum, hal lain yang sangat disukai zaman itu adalah rasa manis. Berbagai hidangan mulai kue pastri goreng, minuman ringan, mie gandum, hingga nasi tanak sering ditambahkan sirup gula atau madu. Sirup, jus buah manis yang dikentalkan, jeli, dan selai buah-buahan kadang bahkan dipakai juga sebagai obat. Pemrosesan gula tebu yang ditengarai pertama datang dari India dikawinkan dengan  metode filtrasi dari Mesir, Yordania, dan Suriah. Gula hasil proses filtrasi tersebut kemudian banyak digunakan untuk membuat manisan buah-buahan yang akhirnya menjadi camilan khas di Damaskus. Pada tahun 1400, gula sudah bisa ditumbuhkan di Mesir, Suriah, Yordania, Afrika Utara, Spanyol, dan kemungkinan juga di Ethiopia dan Zanzibar, pesisir timur Afrika.

Dengan berjalannya waktu, kekuasaan Islam pun mulai melemah. Dimulai dari jatuhnya Kordoba ke tangan umat Kristiani, hingga kemudian Baghdad yang direbut bangsa Mongol di tahun 1258.  Hal ini menandai dimulainya tahap kedua ekspansi kuliner Islami, yaitu era Mongol-Islami.

Bersambung ke:

Islam dan Transformasi Kuliner Dunia (2): Pasca Invasi Mongol

Catatan Kaki:

[1] Alumni Master Sastra Inggris, University of Auckland, New Zealand.

[1] Lihat Rachel Laudan, Cuisine and Empire: Cooking in World History, University of California Press, 2013. Sebagian besar artikel ini disaripatikan dari halaman 161-174. Sumber untuk informasi tambahan telah dicantumkan sebagaimana mestinya.

[2] Lihat https://tirto.id/mengenal-tharid-hidangan-favorit-nabi-muhammad-saw-cK8S, diakses 9 Desember 2018

[3] Lihat Sahih al-Bukhari 1955, Book 30, Hadith 62, https://sunnah.com/bukhari/30/62, diakses 9 Desember 2018

[4] Lihat Dan Jurafsky, The Language of Food: A Linguist Reads the Menu, W.W. Norton & Company, 2014, hal. 126

[5] Lihat Peter Heine, The Culinary Crescent: A History of Middle Eastern Cuisine, The Gingko Library, 2018

[6] Lihat Heine, ibid.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*