Mozaik Peradaban Islam

Islam di Lombok (3): Strategi Penyebaran Islam (1)

in Islam Nusantara

Last updated on June 4th, 2018 01:48 pm

“Wayang Lombok menceritakan kisah tentang kepahlawanan dalam Islam seperti Lakon Perang Badar yang terkenal dengan sebutan ‘Awang Media’, Sayyidinâ Alî bin Abî Thâlib yang dilukiskan sebagai ‘Selander Alam Dahur’, dan Abû Lahab (si tukang fitnah) yang dinamai ‘Baktak’.”

–O–

Salah satu tokoh wayang Sasak Lombok. Prajurit andalan Wong Agung Jayengrana.

Menurut babad Lombok, Sunan Giri memerintahkan tiga orang dari muridnya yaitu: Lembu Mangkurat untuk mengislamkan Banjarmasin; Dato’ Banda untuk mengislamkan Makassar; dan Sunan Prapen, puteranya sendiri yang ditugaskan untuk mengislamkan Pulau Lombok, Sumbawa, dan Bali.[1]

Sunan Giri, dalam metode dakwahnya mengembangkan pendekatan populer seperti seni dan kebudayaan. Beliau juga diketahui  mencipta beberapa tembang tengahan dengan metrum Asmaradhana dan Pucung yang sangat digemari masyarakat karena berisi ajaran ruhani yang tinggi. Tampaknya pendekatan ini juga melekat pada murid-muridnya, sebagaimana akan kita lihat bagaimana pendekatan penyebaran Islam di Lombok dilakukan.[2]

Sunan Prapen datang ke Pulau Lombok dengan membawa sejumlah pengiring dan ulama-ulama dari Jawa. Karena di antara mereka ada yang pandai memainkan wayang, maka agama Islam menyebar di Lombok melalui kisah pewayangan. Wayang Lombok menceritakan kisah tentang kepahlawanan dalam Islam seperti Amir Hamzah, Sayyidina Umar bin Khattâb, Lakon Perang Badar yang terkenal dengan sebutan “Awang Media”, Sayyidinâ Alî bin Abî Thâlib yang dilukiskan sebagai “Selander Alam Dahur”, dan Abû Lahab (si tukang fitnah) yang dinamai “Baktak”. Bahasa yang dipakai dalam pewayangan adalah bahasa Kawi/Jawa kuno.[3]

Pada umumnya, kiai yang datang bersama Sunan Prapen dari Jawa memiliki strategi dakwah dengan cara mengislamkan raja-raja yang berkuasa terlebih dahulu. Awalnya mereka menggunakan metode dakwah non-formal, sesuai dengan kondisi saat itu. Selanjutnya, mereka melakukan pendekatan intensif terhadap elit kekuasaan, seperti pendekatan terhadap raja kerajaan Lombok di wilayah Lombok Timur beserta keluarganya. Orang pertama yang bersedia menerima ajaran Islam saat itu adalah Raden Mas Pahit, yang selanjutnya diikuti oleh sebagian besar rakyatnya.[4]

Di Lombok saat itu tengah berkuasa raja-raja kecil yang merdeka dan berdiri sendiri. Meskipun secara formal raja-raja kecil itu tergabung dalam dua buah kekuatan besar, yakni Kerajaan Bayan dan Kerajaan Selaparang. Tercatat dalam sejarah bahwa Dinasti Selaparang yang pertama kali menerima Islam.[5]

Upaya mengislamkan raja-raja di Lombok tidak mengalami kesulitan, karena mereka diberitahu bahwa raja-raja di Jawa sudah terlebih dahulu memeluk Islam, maka mereka dengan senang hati memeluk agama Islam juga. Hal ini disebabkan raja-raja di Lombok mempunyai hubungan pertalian darah dengan raja-raja di Jawa terutama kerajaan Majapahit. Hal ini dapat dibuktikan dengan catatan silsilah yang ada.[6]

Fakta lain yang dapat disaksikan sampai sekarang adalah nama beberapa desa dan kota di Lombok banyak yang mempunyai nama yang sama dengan desa dan kota di bekas wilayah kerajaan Majapahit di Jawa, seperti Surabaya, Kediri, Kuripan, Gresik, Wanasaba (Wonosobo), Mataram, dan lain-lain.[7]

Setelah raja Selaparang memeluk agama Islam, kerajaan Selaparang Hindu kemudian berubah menjadi kerajaan Selaparang Islam dan membawa spirit Islam masuk ke dalam kebudayaan suku Sasak. Sejarah dan kebudayaan Sasak mengalami proses transformasi berdasarkan kehidupan keagamaan yang dianutnya.[8]

Dengan masuk Islamnya sang raja, maka seluruh rakyat Selaparang dinyatakan masuk Islam atau harus mengakui Islam sebagai agamanya. Akibatnya, seluruh wilayah kerajaan Selaparang diklaim telah memeluk agama Islam. Sementara di tempat yang jauh dari pusat kerajaan masih terdapat penganut Islam yang masih sangat awam. Hanya pengakuannya saja yang Islam, tetapi keyakinan (aqidah) dan praktik keagamaannya masih bercampur dengan kepercayaan dan adat-istiadat lama serta agama nenek moyangnya. Seperti yang telah disebutkan dalam artikel sebelumnya, bahwa sebelum masuknya Islam, agama yang dianut masyarakat Lombok adalah agama Siwa-Budha atau yang dikenal dengan Boda.[9]

Jika digambarkan lebih terperinci, pada tahapan pertama, Islam tidak langsung secara merata diterima oleh lapisan masyarakat kelas bawah. Sebagai perbandingan, di Jawa misalnya, Islam semula hanya dipraktikkan oleh sekelompok kecil penganut Islam yang aktif dan bertugas membawa pesan-pesan Islam. Dengan demikian, sebagian besar penduduk tetap menganut kepercayaan nenek moyang mereka. Hal yang sama juga dijumpai juga di daerah lain di Indonesia, seperti di Minangkabau misalnya.[10]

Begitu pula dengan masyarakat etnis Sasak. Orang sasak Boda, khususnya yang masih tinggal di daerah pegunungan dan tempat-tempat yang terasing, pada tingkat tertentu masih melanjutkan sistem keyakinan nenek moyangnya. Kelompok masyarakat inilah yang di kemudian hari dikenal menjadi penganut Islam Wetu Telu.[11] (PH)

Bersambung ke:

Islam di Lombok (4): Strategi Penyebaran Islam (2)

Sebelumnya:

Islam di Lombok (2): Masuknya Islam

Catatan Kaki:

[1] Lalu Gde Suparman, Babad Lombok (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1934 ), hlm 195-196, dalam Asnawi, Respons Kultural Masyarakat Sasak Terhadap Islam (Jurnal Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005), hlm 5.

[2] Agus Sunyoto, Atlas Wali Songo (Pustaka IIman dan LESBUMI PBNU: Bandung, 2018), hlm  221-222.

[3] Muhammad Syamsu AS., Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya (Jakarta: Lentera Basritama, 1999), hlm 114, dalam Asnawi, Ibid.

[4] Harapandi Dahri, Wali dan Keramat dalam Persepsi Tradisional dan Modern (Mataram: IAIN Mataram Press, 2004), hlm 135, dalam Asnawi, Ibid.

[5] Muhammad Syamsu AS., Loc.Cit., dalam Asnawi, Ibid., hlm 6.

[6] Tim Penyusun Monografi, Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat Jilid I (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hlm 15, dalam Asnawi, Ibid., hlm 80, dalam Asnawi, Ibid.

[7] Asnawi, Ibid.

[8] Ibid.

[9] Fathurrahman Zakaria, Mozaik Budaya Orang Mataram (Mataram: Yayasan Sumurmas Al-Hamidi, 1998), hlm 17, dalam Asnawi, Ibid.

[10] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sajarah Wacana dan Kekuasaan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), hlm 35, dalam Asnawi, Ibid., hlm 6-7.

[11] Erni Budiwanti, Islam Sasak: Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta: LkiS, 2000), hlm 136, dalam Asnawi, Ibid., hlm 7.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*