Mozaik Peradaban Islam

Kisah Nabi Nuh (5): Tantangan Mendatangkan Azab

in Studi Islam

Last updated on August 26th, 2019 01:40 pm

Wahai Nuh, sesungguhnya engkau telah membantah dan memusuhi kami, dan engkau memperpanjangnya. Maka datangkanlah azab yang engkau ancamkan kepada kami, jika engkau memang benar.
Ilustrasi Nabi Nuh diejek oleh kaumnya ketika sedang berdakwah. Foto: holyspiritspeaks

Pertentangan antara Nuh dengan para penguasa, orang-orang kaya, dan orang-orang kuat terus meningkat. Melihat Nuh terus mendapatkan pengikut dari golongan orang-orang lemah, mereka mencoba melakukan tawar menawar dengan Nuh, “Dengarkanlah, Nuh! Jika engkau ingin kami mempercayaimu, maka singkirkanlah para pengikutmu. Mereka lemah dan miskin, sementara kami orang-orang kuat dan kaya. Tidak ada agama yang dapat menggabungkan kami (orang kaya dan miskin).”

Nuh mendengarkan para penyembah berhala itu dan menyadari bahwa betapa mereka sangat keras kepala. Namun, dia tetap menanggapi mereka dengan lembut. Sementara, kepada para pengikutnya, Nuh menjelaskan, bahwa dia tidak akan menyingkirkan mereka, karena mereka bukan miliknya, melainkan milik Allah SWT.[1]

Nuh lalu memohon kepada mereka, “Wahai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kalian sebagai upah bagi seruanku. Apa yang kalian berikan kepadaku tiada lain pahalaku sebagai imbalannya. Upahku hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman sebagaimana yang telah mereka perintahkan.

“Sesungguhnya mereka pasti akan bertemu dengan Tuhannya pada hari kebangkitan, kemudian Allah akan membalas dan menghukum mereka, namun aku melihat kalian sebagai kaum yang tidak mengetahui.

“Siapakah yang dapat menolong dan melindungi diriku dari azab-Nya jika aku mengusir orang-orang yang beriman? Tentu saja tidak ada seorangpun yang dapat menolongku. Maka tidakkah kalian mengambil pelajaran?

“Dan aku tidak mengatakan kepada kalian bawah aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah, dan aku tidak juga mengetahui yang ghaib, dan tidak juga aku mengatakan bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat.

“Dan tidak juga aku mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina (orang-orang miskin) bahwa sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan kepada mereka. Allah lebih mengetahui apa yang terpendam di dalam kalbu mereka. Sesungguhnya aku jika mengatakan demikian benar-benar termasuk orang-orang yang zalim.”[2]

Nuh kemudian membantah argumen para penguasa dengan pengetahuan yang hanya dimiliki oleh para nabi. Akalnya lah yang telah menuntunnya untuk terhindar dari rasa sombong dan mengejar kepentingan pribadi. Para penguasa lalu mulai bosan dengan argumen-argumen yang disampaikan oleh Nuh.[3]

Para penguasa itu lalu menantang Nuh, “Wahai Nuh, sesungguhnya engkau telah membantah dan memusuhi kami, dan engkau memperpanjangnya. Maka datangkanlah azab yang engkau ancamkan kepada kami, jika engkau memang benar.”

Nuh menjawab, “Hanyalah Allah yang akan mendatangkan azab itu kepada kalian, jika Dia menghendaki agar azab itu disegerakan. Karena sesungguhnya urusan turunnya azab itu kembali kepada-Nya, dan kalian sekali-kali tidak dapat melepaskan diri dari azab-Nya.

“Dan tidaklah bermanfaat kepada kalian nasehatku jika aku hendak memberi nasehat kepada kalian, jika Allah berkehendak untuk membuat kalian sesat. Dia adalah Tuhan kalian, dan kepada-Nya-lah kalian dikembalikan.”[4]

Pertentangan di antara mereka terus berlanjut, dan adu argumen di antara kedua belah pihak menjadi berkepanjangan. Ketika semua bantahan dari para penguasa runtuh dan mereka tidak tahu apa lagi yang harus mereka katakan, mereka mulai bersikap kasar dan menghina Nuh. Meski demikian, Nuh menanggapinya dengan akhlak para nabi.[5]

Berkata pemuka-pemuka orang-orang terhormat, “Sesungguhnya kami memandang engkau berada dalam kesesatan yang nyata.”

Nuh menjawab, “Wahai kaumku, tak ada padaku kesesatan sedikitpun, melainkan aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku menghendaki kebaikan untukmu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.”[6]

Nuh terus meminta umatnya untuk beriman kepada Allah jam demi jam, hari demi hari, tahun demi tahun. Dia memperingatkan umatnya dan menyeru mereka untuk kembali kepada Allah siang dan malam, baik secara diam-diam (orang perorang) maupun terbuka.

Dia memberi mereka contoh-contoh, menjelaskan tanda-tanda Allah dan mengilustrasikan kemampuan Allah dalam pembentukan makhluk-Nya. Namun setiap kali dia berdakwah, mereka melarikan diri darinya. Setiap kali dia mendesak mereka untuk meminta kepada Allah untuk mengampuni mereka, mereka meletakkan jari-jari mereka di telinga mereka, dan mereka menjadi terlalu sombong untuk mendengarkan kebenaran.[7]

Mengenai momen ini, Alquran mengabadikannya dalam Surat Nuh Ayat 5-20:

“Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutupkan bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat.

“Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan, kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan dan dengan diam-diam….. (dan seterusnya hingga Ayat 20).” (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Ibnu Katsir, Qisas Al-Anbiya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Muhammad Mustapha Geme’ah (Darussalam: Riyadh, e-book version), Chapter 3, Prophet Nuh (Noah).

[2] Tafsir Alquran Surat Hud Ayat 29-31, dalam Jalal ad-Din al-Maḥalli dan Jalal ad-Din as-Suyuti, Tafsir Jalalain, diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh penerbit (Sinar Baru Algensindo), hlm 852-853.

[3] Ibnu Katsir, Loc.Cit.

[4] Tafsir Alquran Surat Hud Ayat 32-34, dalam Jalal ad-Din al-Maḥalli dan Jalal ad-Din as-Suyuti, Op.Cit., hlm 853-854.

[5] Ibnu Katsir, Loc.Cit.

[6] Tafsir Alquran Surat Surat Al-A’raf Ayat 61-62, dalam Jalal ad-Din al-Maḥalli dan Jalal ad-Din as-Suyuti, Op.Cit., hlm 611.

[7] Ibnu Katsir, Loc.Cit.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*