“Pembinaan Islam yang diutamakan di Lombok adalah kesadaran ketuhanan dan ibadah dengan pendekatan yang bersifat sufistik. Pola sufisme sinkretik dipandang efektif untuk syiar Islam saat itu dan lebih mudah diterima. Sampai dengan penghujung abad ke-17 M, Islam sudah tersebar di seluruh pulau Lombok.”
–O–
Para penyebar agama Islam di Lombok yang dimulai oleh Sunan Prapen bertindak sangat hati-hati, lemah lembut, dan tidak masuk dengan pendekatan yang revolusioner dalam misi mereka menyebarkan agama Islam. Artinya ajaran agama diajarkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan mereka yang menerimanya. Selanjutnya, apabila mereka telah berhasil mengislamkan satu desa, mereka kemudian akan berpindah ke desa lain dengan meninggalkan seorang kiai untuk menyempurnakan ajaran Islam dan mendampingi raja. Kiai yang ditinggalkan itu juga menyempurnakan ajaran agama Islam dengan cara bertahap dan demikian seterusnya.[1]
Apabila seorang raja telah masuk Islam, maka dia akan mengeluarkan titah-titah yang berkenaan dengan praktek syariat Islam kepada rakyatnya. Misalnya saja, setiap anak laki-laki yang sudah berumur tujuh tahun atau sebelum baligh, diwajibkan khitan. Begitu juga semua rakyat diperintahkan untuk merayakan hari-hari besar agama Islam, seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, perayaan bulan Muharram, bulan Shafar, bulan Sya’ban, Idhul Fitri, Idhul Adha, dan hari besar lainnya. Demikian juga peraturan yang berdasarkan Islam dititahkan oleh raja untuk menjadi undang-undang dan harus dipatuhi oleh semua rakyat.[2]
Metode yang dikembangkan agar Islam berkembang dengan cepat adalah dengan sistem berantai tiga. Maksudnya seperti ini, ketika seorang Kiai datang dari Jawa ke Lombok, maka dia diwajibkan untuk dapat mendidik sebanyak tiga orang untuk menjadi kiai lagi. Apabila ketiga orang tersebut sudah dianggap mampu dan sudah mencapai level kiai, maka masing-masing dari mereka diwajibkan untuk mencari tiga orang murid lagi, dan begitu seterusnya. Metode seperti ini ternyata seolah-olah menimbulkan kesan di masyarakat bahwa yang berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agama seperti shalat dan puasa hanyalah golongan kiai saja. Akibatnya masyarakat terbagi ke dalam dua golongan, yaitu kelompok kiai, dan dan pengikut kiai yang masih awam.[3]
Golongan yang masih awam ini mempunyai pemahaman bahwa melaksanakan ajaran Islam cukup hanya dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh kiai dan rajanya saja. Seperti merayakan hari-hari tertentu dan kewajiban membaca syahadatayn (dua kalimah syahadah) ketika menikah. Hal ini berlangsung bertahun-tahun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sehingga timbul dalam pemahaman mereka bahwa memang keadaan yang demikian itulah ajaran agama yang dikehendaki dan yang mesti dilakukan. Tidak mengherankan jika kemudian penyebar agama Islam yang datang berikutnya yang datang untuk menyempurnakan ajaran Islam yang utuh, selalu mendapatkan pertentangan dari para kiai penghulu dan tokoh masyarakat yang sudah puas dengan keadaan itu.[4]
Maka pemahaman yang berkembang di masyarakat adalah bahwa yang berkewajiban untuk melaksanakan ibadah seperti shalat dan puasa hanya kiai saja, sementara itu rakyat menyerahkan kewajiban dalam beragama Islamnya kepada kiai penghulu mereka. Sebagai perimbangannya, mereka menyerahkan semua zakat fitrah dan sedekah lainnya pada hari-hari tertentu kepada kiai mereka masing-masing, karena merasa berhutang budi pada kiai. Praktik keagamaan seperti ini masih terjadi di kalangan penganut Islam Wetu Telu.[5]
Islam yang diperkenalkan oleh Sunan Prapen dan para penerusnya nampaknya hanya menekankan konsep keimanan dan ketauhidan dengan pendekatan budaya. Pembinaan Islam yang diutamakan adalah kesadaran ketuhanan dan ibadah dengan pendekatan yang bersifat sufistik. Pola sufisme sinkretik dipandang efektif untuk syiar Islam saat itu dan lebih mudah diterima. Sampai dengan penghujung abad ke-17 M, maka tidak mengherankan Islam sudah tersebar di seluruh pulau Lombok.[6]
Penyebaran agama Islam di Lombok disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat itu. Adat-istiadat dan kesenian disesuaikan dengan ketauhidan, artinya selama hal tersebut tidak merusak ketauhidan, maka itu dibiarkan berkembang. Mereka diajarkan mengucap dua kalimah syahadat (syahadatayn) dan ikrar tawbat. Ajaran fiqh banyak ditulis dengan bahasa daerah yang bercampur dengan bahasa Kawi, digubah dalam bentuk sya’ir, selanjutnya ditembangkan dan ditulis dalam huruf Jejawen (huruf Sasak). Di setiap awal tulisan atau uraian selalu diawali dengan pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti:
“Bismillah hamba miwiti, banibut mawaning Allah kang murah hing dunie riko, hing kang asih hing akhirat. Kang pinuji tan pegat, tan ana ratu lian agung, setuhune amung Allah.” (Bismillah, hamba mulai dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah dan Pengasih di dunia dan akhirat).
Sedang dua kalimah syahadahnya berbunyi:
“Weruh ingsun norana pangeran iyaning Allah, lan weruh ingsun Nabi Muhammad utusan Allah atau Asyhadu ingsun sining weruh ansyaksini angestoken norana Pangeran sebenere hangging Allah Pangeran kan sebenere setuhune Nabi Muhammad utusan Allah.” (Hamba bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah).[7]
Kalimat tawbat-nya sendiri berbunyi:
“Ingsun anede pengampuranung Allah, hing dosa hamba ingkang agung alit, ingkang nyata ingkang samar.” (Hamba mohon ampun kepada Allah atas dosa yang sudah lalu yang nyata dan yang tersembunyi). Kemudian dilanjutkan dengan ber-istighfar tiga kali.[8] (PH)
Bersambung ke:
Sebelumnya:
Catatan Kaki:
[1] Asnawi, Respons Kultural Masyarakat Sasak Terhadap Islam (Jurnal Ulumuna, Volume IX Edisi 15 Nomor 1 Januari-Juni 2005), hlm 7.
[2] Tim Penyusun Monografi, Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat Jilid I (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977), hlm 15, dalam Asnawi, Ibid., hlm 7-8.
[3] Asnawi, Ibid., hlm 8.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Geoffrey E. Marrison, Sasak and Javanese (Leiden: KITLV Press, 1999), hlm 5, dalam Asnawi, Ibid., hlm 9.
[7] Tim Penyusun Monografi, Ibid., hlm 14, dalam Asnawi, Ibid.
[8] Ibid.