“Shalat Jumat pertama setelah penaklukan dilakukan di Katedral Hagia Sophia. Untuk mengubahnya menjadi masjid, Ustmaniyah hanya perlu menyingkirkan lonceng dan salib. Namanya pun tidak diubah, hanya penyebutannya saja menjadi ‘Ayasofya,’ supaya terdengar lebih Turki.”
–O–
Di tengah jalannya pertempuran antara Kesultanan Ustmaniyah (Ottoman) dan Kekaisaran Bizantium, terdapat satu sosok di balik layar yang juga memainkan peranan penting terhadap hasil akhir dari pertempuran. Dia adalah Sheikh Akşemseddin, ulama mistik pembimbing spiritual Sultan Mehmed II. Ketika tiga kapal Genoa dan satu kapal Bizantium yang membawa gandum berhasil menerobos armada laut Ottoman dan membawa muatan logistik mereka ke dalam kota Konstantinopel, Ottoman kehilangan banyak pasukannya. Menyusul kemunduran ini, Akşemseddin menulis surat kepada Mehmed, memberitahukan tentang ilham ilahiah yang dia dapat, bahwa dia mendapat visi tentang kemenangan Ottoman. Surat tersebut menjadi pelipur lara Mehmed dan meningkatkan moral pasukannya.[1]
Setelah tiga hari beristirahat, menjelang pertempuran puncak, Ottoman tidak menggunakan taktik serangan rahasia, ataupun serangan kejutan. Sebaliknya, mereka malah menebar kebisingan untuk menanamkan rasa takut. Mereka membawa sejumlah besar drum dan terompet — juga dentuman meriam raksasa, dan banyak meriam kecil — dalam rangka untuk menurunkan moral pasukan musuh. Pada 29 Mei 1453, tak lama setelah tengah malam, serangan puncak Ottoman dimulai. Sementara artileri kapal laut Ottoman menyerbu ke dinding benteng di sepanjang Laut Marmara dan Golden Horn, pasukan daratnya menyerang dinding barat laut kota itu.[2]
Gelombang demi gelombang pasukan sultan menderu ke dinding barat laut kota yang telah berulang kali diserang oleh meriam raksasa. Bagian ini sekarang menjadi titik terlemah pertahanan Bizantium. Pada awalnya Sultan mengirim pasukan non-regular dan sukarelawannya, namun pasukan Bizantium, yang dipimpin oleh Konstantinus XI dan Giustiniani, dapat mendorong mereka kembali. Pasukan Bizantium lebih berpengalaman dan disiplin dalam menjaga benteng mereka. Menurut salah satu saksi mata yang hadir, pasukan Ottoman menyerang “layaknya singa”, tetapi mereka tetap berhasil dipaksa untuk mundur.[3]
Pada waktu matahari terbit, Mehmed memerintahkan Janissari, pasukan elit Ottoman, untuk menyerang ke dinding benteng. Pasukan Bizantium pada awalnya menahan serangan di dinding terluar kota. Namun dalam pertaruhan terakhirnya, Konstantinus memerintahkan sebagian besar pasukannya untuk melawan dan bertarung — di ruang antara dinding luar dan dalam — dengan gerbang kota yang terkunci di belakang mereka.[4]
Di tengah-tengah pertarungan, Giustiniani terluka parah dan dia hendak dilarikan ke pelabuhan ke kapal Genoa. Tanpa pemimpin mereka, pasukan Genoa mulai kehilangan semangatnya. Konstantinus setuju untuk membuka gerbang agar Giustiniani dapat masuk ke dalam kota. Melihat gerbang kota terbuka, dan pasukan Bizantium dilanda kebingungan dan rasa panik, Janissari mengambil kesempatan untuk ikut menerobos ke dalam kota. Pasukan Ottoman lainnya berhamburan turut masuk ke dalam kota. Pasukan Bizantium terpaksa mundur, melawan sebisanya, sementara yang lainnya lebih memilih kematian dengan melompat dari atas dinding ketimbang harus menjadi tawanan perang.[5]
Menurut seorang saksi mata, Konstantinus, Kaisar terakhir Romawi, melepas jubah kekaisaran berwarna ungunya dan menyerang — dengan pedang di tangan — ke dalam barisan pasukan Ottoman.[6] Dia meninggal seperti seorang prajurit biasa. Terakhir terlihat di dekat gerbang Santo Romano, namun tubuhnya sendiri tidak pernah ditemukan.[7] Kebanyakan penulis sejarah dari abad ke-15, baik orang Timur maupun Barat, setuju bahwa dia terbunuh dalam pertempuran, tetapi karena keberadaan jenazahnya tidak diketahui (bahkan sampai hari ini), berbagai legenda yang menceritakan kisahnya kemudian bermunculan, dan berbagai situs di Konstantinopel dianggap sebagai makamnya.[8]
Dengan menunggang kuda, Sultan Mehmed II memasuki kota melalui gerbang yang sama, yang di kemudian hari oleh Ottoman disebut Topkapı (secara harfiah, artinya adalah “gerbang meriam”).[9] Sampai tengah hari, Ottoman sudah tidak mendapat perlawanan yang serius. Konstantinopel telah menjadi milik mereka. Pasukan Ottoman mencapai Katedral Hagia Sophia yang sangat besar — yang dipenuhi orang-orang sipil yang mencari perlindungan, mereka mendobrak pintu-pintunya. Para penduduk yang ketakutan dibagi ke dalam kelompok-kelompok, dibagi berdasarkan kemampuan masing-masing untuk membayar uang tebusan. Sementara itu, untuk bagian kota sisanya, Sultan Mehmed II mengizinkan pasukannya untuk menjarah selama tiga hari, selama waktu tersebut, mereka dapat mengambil apapun yang mereka mau. Dikisahkan, ketika Mehmed sendiri memasuki tempat-tempat yang telah dijarah tersebut, bagaimanapun, skala kehancuran dan pembantaiannya telah membuatnya ngeri.[10]
Shalat Jumat pertama setelah penaklukan, yang dipimpin oleh Sheikh Akşemseddin, berlangsung di basilika Hagia Sophia, Gereja Kekaisaran Kaisar Justinian, yang telah diubah menjadi masjid. Sultan Mehmed konon pertama kali masuk ke Hagia Sophia ditemani oleh Tursun Bey, yang menyaksikan ekspresi kekaguman sultan terhadap interiornya. Transformasi gereja Kristen Bizantium ke masjid Islam Ottoman hanya membutuhkan penyingkiran perlengkapan ritual Kristen – salib dan lonceng – dan menggantinya dengan perlengkapan ibadah Muslim – satu tempat imam untuk memimpin shalat, mimbar, dan menara. Ottoman bahkan tidak mengganti nama gedung tersebut, melainkan hanya mengganti penyebutannya supaya terdengar lebih Turki, “Ayasofya.”[11] (PH)
Bersambung ke:
Kesultanan Ustmaniyah Menaklukan Konstantinopel (5): Istanbul dan Perubahan Gelombang Sejarah
Sebelumnya:
Kesultanan Ustmaniyah Menaklukan Konstantinopel (3): Bantuan dari Eropa
Catatan Kaki:
[1] Caroline Finkel, Osman’s Dream: The Story of the Ottoman Empire 1300-1923 (Basic Books: 2006), hlm 40.
[2] Eamon Gearon, Turning Points in Middle Eastern History, (Virginia: The Great Courses, 2016), hlm 181, dan Gábor Ágoston dan Bruce Masters, Encyclopedia of the Ottoman Empire (Facts On File, Inc. : 2009), hlm 143.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Eamon Gearon, Ibid., hlm 182.
[7] Gábor Ágoston dan Bruce Masters, Loc.Cit.
[8] Caroline Finkel, Ibid., hlm 40-41.
[9] Gábor Ágoston dan Bruce Masters, Loc.Cit.
[10] Eamon Gearon, Loc.Cit.
[11] Caroline Finkel, Ibid., hlm 41.