Mozaik Peradaban Islam

Keterbukaan Imam Bukhari terhadap Para Periwayat Syiah (2): Asal-Usul Syiah dan Metode Pemilihan Hadis Sahih

in Studi Islam

Last updated on January 14th, 2020 01:31 pm

Dari penelitian, dapat ditemui para periwayat hadis dari berbagai jenis kelompok Syiah, mulai Syiah biasa (ringan), Syiah berlebihan (ghuluw/mufrit shadid/jalad/muhtaraq), hingga kelompok Rafidah (sejenis sempalan Syiah yang ekstrim), yang narasinya dimuat dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.

Salinan manuskrip Hadis al-Bukhari dari era Dinasti Mamluk pada abad ke-13 di Mesir. Sekarang koleksi milik Adilnor, Swedia. Foto: Danieliness

Oleh Syafiq Basri | Mantan Wartawan Tempo, Pengamat Masalah Sosial, Agama, dan Komunikasi

Banyak pendapat tentang sejarah kemunculan Syiah itu, dan Dr. Alwi bin Husin menukilkannya secara rinci melalui berbagai rujukan. Misalnya, ada pendapat yang mengemukakan bahwa mazhab itu mulai ada sejak pasca pertemuan Saqifah (Balairung) Bani Saidah, di pinggiran kota Madinah), segera setelah Rasulullah SAW wafat.

Di Saqifah itu sejumlah sahabat berkumpul dan kemudian (lewat dukungan utama Umar bin Khattab RA) mereka memilih Abu Bakar RA sebagai khalifah, sedangkan sebagian sahabat lain tidak hadir di Saqifah, dan berada di rumah Nabi SAW, menunggui jenazah beliau yang belum dikuburkan.

Mereka yang berada di rumah Rasulullah SAW itu mungkin karena merasa tidak perlu mencari pemimpin baru pengganti Nabi, berhubung mereka tahu dan meyakini sudah ada wasiat (hadis) Nabi SAW yang menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penerusnya. Para ‘pendukung’ Ali itulah kemudian yang dinamai ‘Syiah Ali’, sedangkan pendukung khalifah yang baru disebut sebagai ‘Syiah Sahabat’.

Beberapa pendapat lain, misalnya, mengutarakan bahwa, Syiah muncul pada akhir pemerintahan khalifah Usman bin Affan RA; pada Perang Jamal (Perang Unta, perang antara Khalifah Ali RA melawan Aisyah binti Abu Bakar RA, istri ketiga Nabi Muhammad SAW, bersama Talhah dan al-Zubair); berkaitan dengan Perang Siffin (antara Khalifah Ali RA melawan Muawiyah); atau pasca syahidnya cucu Nabi SAW, Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib RA beserta keluarganya di Karbala (61 H), yang gugur di tangan penguasa dinasti Bani Umayah, Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan.

Ada pula penulis lain yang mengemukakan bahwa kemunculan Syiah terjadi pada era cucu Nabi SAW yang ke-5, Imam Muhammad al-Baqir (57-114 H) dan putra al-Baqir, yang bernama Imam Jafar ash-Shadiq (cucu Nabi yang ke-6, atau generasi ke-4 keturunan Ali dan Fatimah binti Muhammad SAW)

Pada masa hidup kedua cucu Nabi SAW itu, Syiah memasuki fase pemantapan eksistensinya sebagai aliran teologi dalam Islam yang mandiri dan memiliki konsep tersendiri dalam syariah. Sejarah mencatat bahwa Jafar ash-Shadiq (lahir pada 83 H, dan meninggal pada 148 H) hidup di masa akhir Dinasti Bani Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyah.

Imam Jafar (yang merupakan Imam Syiah ke-enam dari 12 Imam), memiliki empat ribuan murid, di antaranya termasuk beberapa tokoh seperti Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Sunni Hanafi), Imam Malik bin Anas (pendiri mazhab Maliki), dan Wasil bin Ata, pendiri mazhab Mutazilah.

Berdasarkan masa hidup para perawi Syiah yang terdapat dalam dua kitab sahih (Sahihain) – bahwa tahun wafat para periwayat itu terbentang dari 65 H (684 M) hingga tahun 250 H (sekitar 864 M) – itu, menunjukkan bahwa mereka hidup sejak era Nabi SAW, sahabat, dan tabiin, hingga masa pengikut tabiin (biasa disebut atba al-tabiin atau tabiit tabiin).

Namun sejarah membuktikan bahwa tidaklah mudah meneliti perkembangan mazhab Syiah, khususnya akibat banyaknya penentangan dari pihak penguasa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, yang menganggap sekte itu sebagai ‘partai terlarang’. Selain itu, mazhab Syiah telah terpecah menjadi beberapa sekte pasca tragedi Karbala (yang terjadi pada tahun 61 H, atau sekitar 681 M).

Pada satu sisi, sejarah menulis bahwa, hadis mulai (baru) dikodifikasi pada abad ke dua hijriah, sehingga ada kalanya bisa muncul keraguan pada sebagian peneliti tentang autentisitas (keaslian) sebuah riwayat yang disampaikan secara lisan (oral history) dari generasi ke generasi sebelumnya.

Di sisi lain, hadis bergerak melalui berbagai era pergolakan politik sistem kekuasaan, serta aneka aliran teologi dalam Islam. Sehingga hal itu bisa saja menjadi peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk menyisipkan riwayat yang dinisbatkan pada (seolah-olah bahwa itu ucapan) Nabi SAW, demi memperkokoh eksistensi aliran atau pendapat yang diyakini, atau demi melanggengkan kekuasaan (politik) mereka.

Maka, dalam penelitiannya, Alwi menelusuri mata rantai transmisi (sanad) pada kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim dan menyandingkannya (diperbandingkan, dicek berulang-kali) dengan berbagai kitab Rijal al-Hadith klasik dan kontemporer.

Sebagaimana luas diketahui, sebuah tulisan (teks) hadis Nabi SAW mengandung dua unsur utama, yakni matan, atau narasi (isi) hadis, dan jalur periwayatan (sanad)-nya. Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi keduanya, agar bisa dianggap valid.

Jika tidak, maka hadis itu akan ditolak. Pengujian terhadap sanad dilakukan dengan dasar bahwa, hadis adalah salah satu sumber agama, di mana redaksi (matan)-nya akan diterima jika diriwayatkan oleh orang-orang yang terpercaya (thiqat).

Langkah yang dilakukan oleh para kritikus hadis dalam meneliti validitas sanad adalah dengan mengkaji data sejarah serta informasi akurat mengenai para periwayat yang dimuat dalam berbagai kitab al-Tabaqat dan kitab-kitab al-Rijal. Data inilah yang kemudian dijadikan sebagai pisau analisis untuk membuktikan keabsahan periwayat di mana kegiatan ini dikenal dengan kritik sanad (naqd al-Sanad).

Dalam penelitiannya, Alwi mengkaji parameter yang digunakan dalam penilaian para kritikus hadis, dan terbukti bahwa Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memuat narasi yang datang dari kelompok Syiah dengan berbagai tingkatannya, sehingga narasi mereka diletakkan pada posisi primer (ushul) dan sekunder (mutabaat).

Di antara ketelitian para kolektor hadis (seperti Bukhari dan Muslim) dalam menulis hadis dari sisi periwayatnya, mereka telah menjadikan karakter thiqah (sangat dipercaya) – yang merupakan akumulasi dari akurat (dhabit), adil (adalah) dan jujur (saduq atau sidiq) – seorang periwayat sebagai syarat utama diterima atau ditolaknya narasi yang disampaikan.

Dhabit berkaitan dengan tingkat intelektualitas, sedangkan adalah berhubungan dengan moralitas sang periwayat. Selain syarat di atas, Imam Bukhari menambahkan adanya syarat pertemuan (liqa) antara periwayat dengan gurunya, sebagai sebuah acuan diterimanya sebuah narasi.

Kolektor hadis seperti Bukhari dan Muslim bukan tidak tahu perkara mazhab (aliran) periwayat, tetapi dalam menentukan validitas sebuah riwayat mereka mendasarkannya pada prinsip-prinsip seperti kejujuran, akurasi, dan sebagainya tadi.

Hasilnya, dari penelitian itu dapat ditenggarai adanya para periwayat hadis dari berbagai jenis kelompok Syiah, mulai Syiahbiasa (ringan), Syiah berlebihan (ghuluw/mufrit shadid/jalad/muhtaraq) hingga kelompok Rafidah (sejenis sempalan Syiah yang ekstrim), yang narasinya dimuat dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.

Penelitian Alwi dilakukan dengan menelusuri mata rantai sanad pada kitab Sahih Bukhari dan Sahih Muslim yang disandingkan dengan berbagai kitab Rijal al-Hadith klasik Sunni karya banyak tokoh ahli hadis ternama seperti Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud (w. 275 H), al-Khatib al-Baghdadi (w. 463), Ibnu Khaldun (w. 636 H), Imam al-Dhahabi, Imam al-Suyuti (w. 911 H), dan lain-lainnya.

Selain itu, dirujuk pula kajian para ulama hadis kontemporer seperti al-Albani (w.1420 H) dan Shuaib al-Arnaut (w. 1438 H). Pada proses penelitian itu, Alwi kemudian menggunakan analisis mereka itu untuk mengidentifikasi para periwayat Syiah yang dimuat dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, dengan menggunakan pendekatan sejarah (historical approach) dan kamus biografi para periwayat hadis (Rijal al-Hadith). []

Bersambung ke:

Sebelumnya:

1 Comment

Leave a Reply to Sajjad Hussain Cancel reply

Your email address will not be published.

*