Mozaik Peradaban Islam

Kisah Nabi Hud (6): Qayl bin Anz, Pemimpin Kaum Ad

in Studi Islam

Last updated on September 11th, 2019 02:18 pm

Qayl bin Anz berdoa, “Aku meminta bahwa apa yang menimpa umatku harus menimpaku juga.” Dia mendapat jawaban bahwa umatnya akan mengalami kehancuran. Dia berkata, “Aku tidak peduli. Tidak ada faedahnya aku mempertahankan hidup mereka.”

Foto Ilustrasi: Desktop Nexus

Mari kita lanjutkan riwayat dari Ibnu Ishaq tentang delegasi Kaum Ad yang berada di Makkah untuk berdoa:

Telah dikatakan – dan Allah lebih tahu – ketika Marthid bin Sa’d, Luqman bin Ad, dan Qayl bin Anz berdoa di Makkah, mereka mendapat jawaban, “Keinginanmu akan dikabulkan, jadi mintalah untuk dirimu sendiri, kecuali, bahwa tidak ada jalan menuju kehidupan kekal, kematian tidak bisa dihindari.”

Dan Marthid bin Sa’d (bangsawan Ad yang diam-diam beriman kepada Nabi Hud) berkata, “Ya Allah! Berilah aku kebajikan dan kebenaran.” Dan dia diberikan itu.

Luqman bin Ad (guru atau cendekia Kaum Ad) berkata, “Berilah aku kehidupan!”

Namun dia mendapat jawaban, “Tidak ada jalan untuk menuju kehidupan kekal, jadi mintalah untuk dirimu rentang waktu (kehidupan) berdasarkan lamanya domba membuang kotoran, atau (kehidupan) babi hutan di gunung, atau tetesan air di tempat berbatu, atau (kehidupan) tujuh elang (pada masanya elang atau burung nasar, memiliki reputasi dapat hidup hingga seribu tahun, dan dalam syair-syair Arab ia merupakan perlambangan dari umur yang panjang-pen).”

Jadi Luqman memilih (kehidupan) elang untuk dirinya, dan dilaporkan bahwa dia memang hidup sepanjang umur tujuh elang. Dia lalu mengambil anak elang saat menetas dari telurnya, memelihara yang jantan untuk ketahanannya (hidupnya), hingga, ketika ia mati, dia akan mengambil (anak elang) yang lain.

Dia terus melakukan ini sampai dia mencapai (elang) ketujuh. Dikatakan bahwa setiap elangnya hidup sampai delapan puluh tahun. Ketika hanya yang ketujuh yang tersisa, putra seorang saudara lelakinya berkata kepada Luqman, “Wahai paman! Hanya usia dari elang ini yang tersisa dari rentang hidupmu.”

Dan Luqman berkata kepadanya, “Wahai keponakan! Ia adalah Labad!” Labad dalam bahasa mereka berarti “waktu” atau “takdir”.

Ketika kematian menghampiri elang Luqman dan hidupnya berakhir, elang (lainnya) terbang di pagi hari dari puncak gunung, tetapi Labad tidak muncul bersama mereka. Elang-elang Luqman itu selalu bersamanya, dan tidak pernah meninggalkannya.

Ketika Luqman tidak melihat Labad terbang bersama elang-elang lainnya, dia bangkit untuk pergi ke gunung untuk melihat apa yang sedang dilakukan Labad. Luqman menemukan dalam dirinya sendiri kelemahan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, dan ketika dia sampai di gunung dia melihat elangnya, Labad, jatuh dari kumpulan elang-elang lainnya.

Dia menyeru, “Bangkitlah, wahai Labad!” Labad mencoba untuk bangkit, tetapi tidak dapat melakukannya, karena leluhurnya telah jatuh, sehingga mereka mati bersama.

Ketika Qayl bin Anz mendengar apa yang dikatakan kepadanya dari dalam awan hujan, dia diberi tahu, “Mintalah untuk dirimu sendiri sebagaimana temanmu telah meminta.”

Dia berkata, “Aku meminta bahwa apa yang menimpa umatku (Kaum Ad) harus menimpaku juga.”

Dia diberitahu bahwa itu (apa yang menimpa Kaum Ad) adalah kehancuran, dan dia berkata, “Aku tidak peduli. Tidak ada faedahnya aku mempertahankan hidup mereka.” Jadilah azab yang menimpa Kaum Ad juga menimpanya, dan dia binasa.

Ketika Marthid bin Sa’d bin Ufayr mendengar kata-kata pengendara (unta) yang memberi tahu mereka tentang penghancuran Kaum Ad, dia berkata:

Kaum Ad melawan nabi mereka dan menjadi

kehausan (karena kemarau panjang); langit tidak membasahi mereka.

Pemimpin mereka diutus selama sebulan untuk meminta hujan

tetapi awan tebal menyusul dengan ganas.

Karena penolakan terang-terangan mereka terhadap Tuhan mereka,

kehancuran memusnahkan mereka.

Sungguh, Allah mencabut keunggulan Kaum Ad

karena hati mereka adalah gurun, kekosongan,

Dari orang yang terpercaya, bahwa mereka mengacuhkannya,

dan baik nasihat yang baik ataupun kemalangan tidaklah cukup.

Semoga jiwaku, kedua putriku dan ibu dari

anak-anakku

menjadi tebusan bagi jiwa nabi kita, Hud;

Dia datang kepada kita ketika hati cenderung

kepada tirani, dan cahaya telah memudar.

Kami memiliki berhala yang disebut Samud,

di hadapannya adalah mayat dan debu.

Mereka yang mempercayakan (diri) kepadanya, menyadarinya (kenabian Hud)

sementara kemalangan menimpa mereka yang tidak beriman.

Dan bagiku, aku akan mendatangi umat Hud

dan saudara-saudaranya ketika malam tiba.[1]


Demikianlah riwayat yang cukup panjang dari Ibnu Ishaq tentang proses kehancuran Kaum Ad. Artikel seri selanjutnya akan mencoba menggambarkan kehancuran Kaum Ad dari versi periwayat-periwayat lainnya. (PH)

Bersambung ke:

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 2, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh William M. Brinner (State University of New York Press: New York, 1987), hlm 36-38.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*