Mozaik Peradaban Islam

Kisah Nabi Nuh (12): Akhir Banjir, Awal Mula Kehidupan

in Studi Islam

Al-Tabari berkata, “Di dunia ini hari ini, anak-anak Adam adalah keturunan langsung dari Nuh dan tidak ada keturunan Adam lainnya.” Lalu bagaimana dengan nasib manusia-manusia lainnya?

Ilustrasi mendaratnya bahtera Nabi Nuh di al-Judi. Foto: Getty

Setelah bahtera tiba di al-Judi, Alquran mengabadikan momen-momen yang terjadi di sana:

Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim.”

Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.”

Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.”

Nuh berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekat)nya. Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.”

Difirmankan: “Hai Nuh, turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang mukmin) dari orang-orang yang bersamamu. Dan ada (pula) umat-umat yang Kami beri kesenangan pada mereka (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa azab yang pedih dari Kami.” (Q.S Hud: 44-48)

Qatadah bin an-Numan meriwayatkan peristiwa selanjutnya, “Ketika Nuh turun dari bahtera pada hari kesepuluh al-Muharram, dia berkata kepada mereka yang bersamanya, ‘Bagi kalian yang telah berpuasa harus menyelesaikan puasanya, dan bagi kalian yang telah berbuka puasa harus berpuasa.’.”[1]

Sementara itu Ibnu Katsir berkata, “Nuh melepaskan burung-burung, dan mereka beterbangan menyebar ke muka bumi. Setelah itu orang-orang beriman turun. Nuh meletakkan dahinya ke tanah dalam sujud. Para pengikut Nuh menyalakan api dan duduk di sekitarnya. Menyalakan api dilarang selama di atas kapal, agar tidak menyalakan kayu bahtera dan membakarnya. Tak satu pun dari mereka makan makanan panas sepanjang seluruh periode banjir. Setelah pendaratan, ada satu hari puasa sebagai tanda terima kasih kepada Allah.”[2]

Lalu di manakah letak al-Judi? Ahli geografi asal Arab Ibnu Khordadbih pada abad ke-9 mengatakan bahwa lokasi gunung Judi berada di tanah Asyur (Al-Akrad, tanah peninggalan bangsa Assyria, pada era modern artinya ini mencakup wilayah utara Irak, timur laut Suriah Timur, tenggara Turki, dan pinggiran barat laut Iran). Sementara itu Yaqut al-Hamawi, seorang ahli geografi Muslim juga, berkebangsaan Yunani, pada abad ke-12 dan ke-13, mengatakan bahwa gunung tersebut berada di atas Jazirat bin Umar, di sebelah timur Tigris. Dia juga mengatakan, bahwa pada masa dia hidup, masjid peninggalan Nabi Nuh masih ada.[3]

Setelahnya, Nuh kemudian membagi wilayah bumi kepada putra-putranya, sebagaimana dikatakan oleh Amir bin Sharahil al-Sha`bi, “Ketika Nuh, keturunannya, dan semua yang ada di dalam bahtera turun ke bumi, dia membagi bumi kepada para putranya ke dalam tiga bagian.

“Kepada Sem, dia memberikan bagian tengah bumi di mana Yerusalem, Sungai Nil, Sungai Efrat, Tigris, Sayhan, Jayhan (Gihon), dan Fayshan (Pison) berada. Itu memanjang dari Pison ke timur Sungai Nil, dan dari daerah dari mana angin selatan bertiup hingga ke daerah dari mana angin utara bertiup.

“Kepada Ham, dia memberikan bagian (bumi) di sebelah barat Sungai Nil dan daerah-daerah yang melampaui wilayah tempat angin barat bertiup. Bagian yang dia berikan kepada Yafet terletak di Pison dan daerah-daerah yang melampaui tempat angin timur bertiup.”[4]

Menurut Ibnu Katsir, setelah Nuh mendarat di al-Judi dan melanjutkan hidupnya bersama orang-orang yang beriman, Alquran menutup tirai pada kisah selanjutnya. Tidak diketahui bagaimana urusan dia dengan para pengikutnya berlanjut. Yang diketahui atau dapat dipastikan adalah, bahwa pada saat kematiannya, dia meminta putranya untuk menyembah hanya kepada Allah saja, Nuh kemudian meninggal.

Abdullah bin Amr bin al-As meriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad SAW berkata, “Ketika kematian Rasul Allah Nuh mendekat, dia memperingatkan para putranya, ‘Sungguh aku akan memberimu nasihat yang jauh jangkauannya, memerintahkan kalian untuk melakukan dua hal, dan memperingatkan kalian untuk tidak melakukan dua hal juga.

‘Aku meminta kalian untuk beriman bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwa jika tujuh langit dan tujuh bumi diletakkan pada satu sisi dari suatu ukuran, dan kata-kata “tidak ada tuhan selain Allah” ditempatkan di sisi yang lain, yang terakhir akan lebih besar daripada yang pertama. Aku memperingatkan kalian untuk tidak menyekutukan Allah dan melawan kesombongan.’.” (Sahih al-Bukhari)

Beberapa tradisi mengatakan bahwa makam Nuh berada di Masjid Suci di Makkah, sementara yang lain mengatakan bahwa dia dimakamkan di Baalabak[5], sebuah kota di Irak.[6]

Adapun orang-orang beriman (bukan keluarga) yang ikut bersama Nuh diriwayatkan meninggal dan tidak memiliki keturunan, sebagaimana dikatakan oleh Al-Tabari, “Mereka yang ikut bersamanya di bahtera adalah orang-orang yang beriman kepadanya dan mengikutinya. Namun, mereka menghilang dan binasa, dan tidak ada keturunan mereka yang selamat. Di dunia ini hari ini, anak-anak Adam adalah keturunan langsung dari Nuh dan tidak ada keturunan Adam lainnya, seperti yang Allah katakan, ‘Dan Kami jadikan anak cucunya (Nuh) orang-orang yang melanjutkan keturunan.’ (Q.S 37:77).”[7]

Ulama pada masa awal Islam, Ibnu Abbas, pun mengatakan hal yang serupa ketika menjelaskan tentang ayat di atas. Ibnu Abbas berkata, “Hanya keturunan dari Nuh yang tersisa.”[8] Namun demikian, tidak semua tafsir berkata demikian, Quraish Shihab mengatakan, bahwa ada juga tafsir yang memiliki pendapat bahwa banjir bah pada masa Nuh tidak melanda seluruh bumi, sehingga memungkinkan adanya manusia lain.[9] Wallahualam. (PH)

Seri Kisah Nabi Nuh selesai.

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] Al-Tabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk: Volume 1, diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Franz Rosenthal (State University of New York Press: New York, 1989), hlm 367.

[2] Ibnu Katsir, Qisas Al-Anbiya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Muhammad Mustapha Geme’ah (Darussalam: Riyadh, e-book version), Chapter 3, Prophet Nuh (Noah).

[3] J. P. Lewis, Noah and the Flood: In Jewish, Christian, and Muslim Tradition (Leiden, 1984), hlm 237.

[4] Al-Tabari, Op.Cit., hlm 370-371.

[5] Tidak diketahui dengan pasti maksud Ibnu Katsir, di bagian Irak sebelah mana kota Baalabak berada pada masa kini.

[6] Ibnu Katsir, Ibid.

[7] Al-Tabari, Op.Cit., hlm 368.

[8] Ibid., hlm 370.

[9] Tafsir Alquran Surat As-Saffat Ayat 77, lihat Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Vol 12 (Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm 47-48.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*