Mozaik Peradaban Islam

Megan Lovelady (4): Nabila

in Mualaf


Nabila berkata, “Jika engkau memiliki kesalahpahaman tentang Islam, jangan membenci kami. Datang dan bicaralah dengan kami dan engkau akan melihat mengapa (Islam) itu membuat kami merasa lebih baik.”


Megan Lovelady. Foto: Janneth Gill/Herald on Sundays

Megan bekerja di sebuah kafe di Merivale, sebuah wilayah di bagian utara pinggir kota Christchurch. Meskipun dia sudah masuk Islam, Megan mengatakan, bahwa baik bos maupun koleganya tidak mempermasalahkan dan mendukungnya. Mereka mengizinkan Megan untuk salat di sela-sela jam kerjanya selama tidak ada pelanggan yang sedang menggunakannya.

Dengan salat lima kali dalam sehari, itu telah “memberikan hidupku keteraturan dan tujuan,” ujar Megan. “Dari sudut pandang orang Barat, mereka berpikir, ‘Ya Tuhan, Tuhanmu membuatmu berdoa lima kali dalam sehari – bukankah itu membutuhkan banyak waktu?’ Tapi sungguh itu hanya 25 menit dalam sehari dari 24 jam per harinya yang telah Dia berikan kepadamu.”

Megan menyukai fakta bahwa berjuta-juta Muslim salat di seluruh dunia dalam rangkaian waktu yang sama setiap harinya. “Dan hal terbaik tentang itu adalah bahwa engkau berdiri ke arah yang sama dengan orang lain. Sungguh menakjubkan, dan persatuan Islam sungguh luar biasa. Ini adalah agama yang paling cepat berkembang di dunia dan ada alasan yang sangat bagus di balik itu.”

Ketika ditanya tentang bagaimana reaksi teman-temannya, jawaban Megan adalah, “Semua temanku sekarang ada di masjid.” Maksudnya dia telah mendapat teman-teman baru sesama Muslim. Namun teman-temannya di Amerika telah membuat “komentar yang mengganggu,” yang membuatnya merasa perlu untuk menjauhkan diri dari mereka. Mereka menganggap Megan tidak benar-benar mengerti tentang bagaimana menjadi seorang Muslim, dan dia tidak benar-benar memahaminya. Meski demikian, Megan mengatakan bahwa kebanyakan temannya di Selandia Baru telah menerimanya.

Megan sekarang bahkan mengenakan niqab (salah satu jenis hijab, namun ini menutupi hampir seluruh wajah, hanya menyisakan bagian mata yang terbuka, biasa digunakan oleh wanita Arab Saudi)[1] – sebuah keputusan yang dibuat setelah sesi wawancara untuk artikel ini. Megan juga sekarang memiliki nama Arab, yakni Nabila.

Sejak mengenakan niqab, Megan bercerita, bahwa dia menjadi lebih sering diperhatikan oleh orang-orang apabila sedang keluar rumah. Belakangan ini dia naik bus, di dalamnya sudah ada sekelompok anak sekolah, lalu mereka menatapnya dan tampak “sedikit takut”.

Melihat reaksi mereka, Megan merespon dengan tenang, dia melepas penutup wajahnya dan tersenyum kepada mereka, yang disambut kembali dengan senyuman oleh mereka. Megan ingin menunjukkan, “Di balik kain itu terdapat wajah seorang wanita normal yang bersahabat.”

Megan mengisahkan, anak-anak Muslim diajari untuk menatap mata wanita – “sebuah cerminan jiwa seseorang” – dan bahwa mereka tidak perlu takut ketika tidak bisa melihat wajah wanita. Dia percaya anak-anak Kiwi juga harus diajari cara ini.

“Aku suka memakai niqab, itu membuatku merasa lebih baik. Aku merasa bahwa orang-orang di Selandia Baru membutuhkan pendidikan lebih lanjut tentang ini, bahwa di belakang niqab adalah manusia biasa.”

Megan ingat, waktu kecil dia terkena perundungan di sekolahnya. Dia baru saja pindah dari Amerika Serikat sehingga memiliki aksen yang berbeda dengan anak-anak lainnya. Dia percaya bahwa apa yang dialaminya ini adalah salah satu alasan mengapa dia dapat terhubung dengan perasaan “terasing”, mirip dengan apa yang dirasakan oleh banyak Muslim yang tinggal di negara-negara non-Muslim.

”Ini mengerikan,” kata Megan. “Hal pertama yang dikatakan ketika seseorang marah kepadamu yang seorang pendatang adalah, ‘Kembali ke negaramu!’ Ini memilukan dan aku tidak dapat percaya bahwa semua anak-anak (Muslim) harus menerima hal seperti itu.”

“Aku tidak bisa mengklaim mengetahui sejauh mana bahwa semua wanita (Muslim) ini tumbuh dan harus menanggungnya – menjadi ‘yang terasing’ dan diintimidasi karena pakaian dan kepercayaan mereka.” Megan menundukkan wajahnya dan air mata mengalir deras di pipinya.

Pada usia 16, Megan pernah mengalami tragedi yang menghancurkan hatinya. “Aku menyaksikan pasanganku bunuh diri,” katanya.

“Setelah itu, aku merasa bagaikan vas yang jatuh di tanah dan hancur. Aku mengangkat diriku kembali dan merekatkan diriku kembali, tapi itu adalah bentuk yang berbeda dan Megan bukan namanya lagi. Identitasku telah berubah, dan aku mulai menyebut diriku ‘Vee,’ untuk kata ‘Vedehlia.’.”

Dr Mustafa Farouk, Presiden Federasi Asosiasi Islam Selandia Baru. Foto: Stuff

Mendengar cerita itu Mustafa tidak terkejut, menurutnya banyak orang yang masuk Islam mungkin karena pernah mengalami tragedi dalam hidupnya. “Ada banyak orang yang mengalami penderitaan spiritual, yang mencari jalan hidup, yang dapat memberi mereka makna,” kata Mustafa.

Megan kini mengaku, bahwa mengubah keyakinannya dengan tegas dan mendalam “tidak seseram kelihatannya.”  Dia menambahkan, “Jika engkau memiliki kesalahpahaman tentang Islam, jangan membenci kami. Datang dan bicaralah dengan kami dan engkau akan melihat mengapa (Islam) itu membuat kami merasa lebih baik.”[2] (PH)

Selesai.

Sebelumnya:

Catatan Kaki:


[1] BBC, “What’s the difference between a hijab, niqab and burka?”, dari laman https://www.bbc.co.uk/newsround/24118241, diakses 19 Mei 2019.

[2] Lana Hart, “My Conversion to Islam”, Herald on Sundays News Paper, 12 May 2019.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

*